Enam Puluh

71.2K 4.8K 462
                                    

Hari berganti, Araya memaksakan dirinya untuk cepat-cepat pulang agar dia bisa menyiksa bajingan keparat yang menyebabkan nyawa Niko menghilang. Tak tanggung lagi, ketika baru memasuki rumahnya; Araya langsung mengambil tongkat baseball milik Viano dari dalam lemari kaca.

Tanpa basa basi, gadis yang masih memakai perban tersebut turun menuju ruang bawah tanah, giginya bergemeletuk. Demi Tuhan, dia akan mencabik-cabik Radit sampai pria itu memohon kematian.

Viano sendiri mengambil tubuh Kiano dari pengasuhnya dan ikut membawa pria kecil itu mengikuti langkah Araya. Kiano kegirangan, menepuk-nepuk lembut wajah Viano seraya mengoceh, Viano mengusap bibir Kiano yang terdapat air liur. Bayu mendesah, tuannya tidak waras, membawa bayi ke ruang penyiksaan serta menghirup aroma darah.

Kembali pada Araya, dia menendang jeruji besi tempat di mana Radit berada. Mata Araya menyala menandakan ia sedang berada di ujung kemarahan, emosinya meluap-luap saat melihat Radit tersenyum mengejek melupakan bagaimana keadaannya beberapa waktu ke depan. "Lo masih bisa ketawa?" Desis Araya.

"Padahal lo udah di buang oleh orang tua kandung lo sendiri, Radit."

Radit terkekeh, meludahkan segumpal darah pekat, "Apa yang harus gue takutin? Sekarang gak ada lagi Niko yang ngelindungi lo, Araya." Nafas Araya memburu, mendengar nama Niko keluar dari mulut bajingan itu membuatnya muak setengah mati. Tongkat baseball Araya angkat tinggi-tinggi, smirk menyeramkan terbit.

Ia mengincar sesuatu yang tak akan membuat Radit mati dengan mudah namun sangat menyakitinya.

Brukk

"ARGHHHH...." teriakan Radit menganggetkan Kiano yang sedang menarik-narik rambut Viano, tubuh bayi kecil itu bergetar, dia memeluk leher Viano erat.

Viano terkekeh, mengusap punggung Kiano lembut, "Tuan...kesehatan mental tuan muda akan terguncang...." bisik Bayu frustasi.

Viano memiringkan kepala, "Kiano harus lihat Bundanya membalaskan dendam,"

Iya, Bayu sadar kok bahwasanya Viano itu tidak waras.
"Lain kali jaga burung lo dan tutup mulut bau busuk itu Radit bajingan." Kepala Araya menoleh ke belakang, melihat keberadaan Viano seraya memeluk tubuh Radit.

"Nafas lo nakutin anak gue," sambung Araya mendesis. Masih menahan rasa sakit, Radit ikut menatap ke depan, matanya melebar, apa lagi ketika tanpa sengaja manik matanya bertabrakan dengan manik Kiano.

"Jaga mata lo!"

Araya menendang tubuh Radit, memutus paksa sambungan matanya dari menatap Kiano, Araya tak sudi. "K--kembaliin dia Araya!"

"Diam!" Araya membentak seraya menekan perut Radit menggunakan kakinya, "Ini pertama dan terakhir kalinya lo natap Kiano, dia anak gue, anak Niko juga!"

Mendengar Araya membuat Radit tertawa, "Niko? DIA UDAH MATI!"

"BANGSAT." Teriak Araya kencang, dia secara membabi buta menghantam tongkat baseball ke tubuh Radit. "Lo iblis Radit, sekarang nikmatin kemarahan gue..." bisik Araya.

Kini Araya melemparkan tongkat baseballnya, ia akan menghajar Radit dengan tangan kosong agar Radit tidak cepat mati atau merenggang nyawa. Pria brengsek itu harus merasakan sakit dari pada kematian.

Viano tersenyum kemudian meninggalkan ruangan, sayup-sayup ia mendengar teriakan Radit serta bunyi dentuman berkali-kali. Mata Viano turun melihat Kiano; terlihat bayi berkulit putih serta pipi bulat tersebut mengisap jempolnya, matanya tertutup menampilkan betapa lentik bulu matanya.

Viano mencium kening Kiano, bagaimana bisa bayi ini tertidur nyenyak padahal tadi di sana sangat berisik.
Bayu merasa firasat buruk, ia seperti menemukan Viano versi lebih kecil lagi.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang