Dua Puluh Empat

107K 14.6K 1.4K
                                    

Floren menggigit bibir bawahnya cemas, Araya seakan-akan selalu memperingatinya dengan beberapa kejadian yang baru-baru ini terjadi.

Kegusaran Floren juga tak sampai di sana saja. Dia sekarang masih terus mengingat siapa pelaku pembunuhannya saat semuanya belum terulang seperti ini. Agaknya Floren sangat mengenal suara dari dua orang saat itu, tetapi Floren tidak bisa memastikannya. Masih ragu.

Menyiramkan air ke wajahnya, Floren berusaha berpikir lurus seperti biasa, tidak harus sepanik ini; sebab ia adalah karakter utama, protagonis dunia ini. Mau sejuta usaha apapun Araya menyingkirkannya tak akan bisa semudah itu, dia sudah di berikan armor baja dari penulis asli. Benar. Seperti kehidupan sebelumnya.

Jika Araya tak bisa di jatuhkan mentalnya oleh orang lain, seharusnya dia akan hancur jika itu keluarga terdekatnya, bukan?

Floren menatap dirinya di pantulan cermin. Wajahnya sempurna untuk menarik perhatian lawan jenis, jadi Floren tak akan menyia-nyiakan hal bagus seperti ini untuk memanfaatkan para figuran idiot itu.

Mengambil beberapa lembar tisue kering, mengusap wajahnya lembut penuh kehati-hatian sebab wajahnya adalah harta beharga tak ternilai baginya. Barulah setelah itu Floren keluar dari kamar mandi, berjalan menghampiri Jia; salah satu kacung milik Floren.

Jia menoleh menatap Floren lekat, memberikan tatapan cerah seperti biasa. "Gue yakin kali ini Araya bakal di keluarkan." Floren meringis sebagai balasan, "Jangan bilang gitu, nanti ada yang salah paham."

"Bodo amat. Lagian juga satu sekolah ga suka kehadiran Araya kok!" Sungut Jia berapi-api.

Mereka menyusuri koridor untuk kembali ke kantin lagi.

"Jia, aku suka Araya kok. Dia baik, loh." Bantah Floren. Jia mendengus ke arah Floren, mengabaikan kata-kata temannya itu.

"Padahal selama ini lo di siksa dia, tetep aja lo ngebelain manusia setengah setan itu."

Floren tersenyum kecut. Memukul lengan Jia pelan, "Ihhh....omongan kamu kasar banget."

Dari balik dinding tempat mereka berjalan muncul seorang pria yang tersenyum manis. Bersedekap dada, menghentikan Floren dan Jia, mata pria itu bersinar dingin berbeda dengan bibir tersenyumnya. "Padahal kalian ikut menikmati fasilitas mewah dari keluarga Kesuma. Harusnya tau diri." Ujarnya.

Alis Jia menukik, berkacak pinggang lalu menunjukkan senyum remeh. Berbeda dengan Floren, pupil mata perempuan itu bergetar merasakan ada bahaya di sekitar pemuda di depannya.

"Anak keluarga Kesuma ada dua, pasti mereka banyak donasi untuk kenyamanan Arga doang." Bantah Jia keras kepala.

Berkacak pinggang, Jia menuding wajah pemuda itu. "Lo ngapain juga sih perduli sama omongan gue? Osis emang segabut itu ya?!"

Tanpa mau mendengar jawaban lagi, Jia langsung menarik tangan Floren untuk pergi menjauh; meninggalkan pemuda yang menatap menusuk punggung mereka. Tak ayal tangannya ikut mengepal, bibirnya menipis membentuk garis tipis, lalu dia terkekeh mengerikan.

"Serangga menjengkelkan...."

-o0o-

Araya kadang bingung, apakah akibat dari perubahannya akan menimbulkan butterfly effect. Sejauh ini memang sudah cukup terlihat kekacauan, namun jika terus mengikuti alur novel maka nyawa beharganya menjadi taruhan.

Selama Araya melamun memikirkan efek samping dari perubahannya; Lucas diam sembari memakai seragam baru yang di baru saja di beli oleh petugas UKS. Punggung Lucas hanya terdapat bekas kebiruan saja jadi tidak perlu sampai membawanya ke Rumah Sakit seperti perkataan Araya.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang