Lima Puluh Empat

55.3K 8.6K 4.2K
                                    

Tadi setelah memeriksa CCTV secara paksa, iya, Araya memaksa kepala sekolah untuk menunjukkan rekaman atau dia akan mengadu kepada Viano bahwa ia di perlakukan tidak adil. Tentu saja si kepala sekolah pasrah, membiarkan anak muridnya mengakses rekaman CCTV padahal hal ini di larang.

Eka juga sudah ikut bersama Araya, ia hanya ikut-ikut saja sebab di tarik Bela. Sudah sedari tadi Araya menahan hasratnya untuk memukuli si pelaku, dia menunggu sampai pulang sekolah saja agar mudah dan puas.

Duduk di atas kap mobil, Araya menunggu para kawanan hama itu untuk keluar dari koridor.

Bela menyenderkan tubuhnya ke pintu penumpang sembari mengunyah permen karet, dia melihat ke sana ke mari hingga orang yang mereka tunggu muncul seraya tertawa.

"Noh makhluknya datang."

Berdiri tegak, Araya berjalan anggung ke arah kumpulan orang di sana.

Dia menghadang mereka semua agar berhenti berjalan, "Hai bitch..." sapanya.

Tangan Araya perlahan mendekati Floren, bibirnya tersenyum manis membuat gadis itu merinding. Ia melihat ke kanan kiri, menunggu pembelaan dari Radit dan Devano tetapi tampaknya kedua pria itu masih saja diam entah karena apa.

"Lo itu beneran ga tau situasi ya?" Bibir Araya melengkung ke bawah petanda sedih di buat-buat. Tangan Araya mencapai rambut Floren, ia segera menariknya, mengubah raut sedih pura-pura tadi, dengan kejam Araya menarik rambut gadis itu hingga dia menjerit kaget.

"Padahal gue belum mau bongkar kebusukan lo, tapi lo sendiri yang minta buat gue bongkar, hmm?"

"Araya!" Panggil Devano dan Radit secara bersamaan.  Mereka ikutan kaget padahal berpikit bahwa Araya hanya akan berbicara baik-baik.

Baik-baik 'sih ini menurut Araya. Bela menyusul, mendorong bahu Radit agar tak mendekat pada Araya, sedangkan Eka membuka ponselnya untuk merekam kejadian tersebut, nanti jika Radit atau Devano memukul maka mereka memiliki bukti fisik.

"Mau mukul Dev 'kaya waktu itu?" Araya memiringkan kepalanya sambil terus menarik rambut Floren, "Flo, kacung lo kemana dah? Tumben ga keliatan, apa mereka udah skip temenan sama lo?"

Floren menggeram, masih merasakan sakit di rambutnya.

"Di tinggal pasti," jawab Araya mengangguk-anggukkan kepalanya seolah paham. Dia melihat ke arah Floren, "Siapa mau temenan sama jalang 'kaya lo coba? Udah berapa kali celup?"

"Araya!" Bentak Devano.

Memegang telinganya, Araya menoleh kesal, "Dev, santai jangan teriak dong, nanti nyesel udah neriakin gue."

Jambakan di rambut Floren semakin Araya tarik, "Akhh..." ringis Floren sedih, matanya mengeluarkan cairan bening.

Radit ikut maju, "Syutt, diem Dit, no ikut campur oke?" Tahan Bela.

"Tadi...lo yang kunciin gue di kamar mandi, hebat banget ya..."

Melihat Devano sekilas, Araya menyeringai, "Pacar polos-polos nyesatin lo duluan kok cari ribut, jadi gue pinjem dulu ya."

Kemudian Araya menyeret Floren, masih terus menjambaknya menuju belakang sekolah. Sebelum benar-benar pergi, Araya menolehkan kepalanya ke belakang, "Masih inget alamat yang gue kasih? Mending lo cek sekarang juga sebelum nyesel banget."

"Akh...sakit Araya, plis lepasih huhu...." mohon Floren, "Lepas your ass, makan nih akibat kelakuan sok keren lo."

Eka mengikuti langkah mereka, tadi dia sedikit kaget mendengar perkataan Araya tentang sebuah alamat. Menggeleng pelan, Eka berusaha mengeyahkan pikirannya.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang