Empat Puluh Empat

62.5K 9K 1.3K
                                    

"Engga! Om Nono ga boleh pergi!" Teriak Araya ketika melihat pria yang sangat ia sayangi ingin pergi entah ke mana yang pasti adalah tempat yang tidak bisa ia jangkau.

Wajah Viano pucat dan lemas, layaknya seperti mayat hidup. Hari ini adalah peringatan kematian Arununtuk ke tujuh tahun. Hari di mana dia kehilangan jiwanya, hari ketika tali kewarasannya mulai terkikis. Viano menatap sendu kepada anak semata wayangnya di gendongan sang Ibu.

Hala juga ikut sedih, memeluk erat tubuh cucu yang terus memberontak ingin di lepaskan. Josh mengangguk pelan ke arah Viano; meyakinkan anaknya untuk pergi, Araya akan aman bersama mereka.

Air mata membanjiri wajah Araya, anak itu terlihat putus asa, ingin menggapai tubuh Viano namun tak bisa. "Lepas Nek! Aya mau sama Om Nono! Mau ikut!!" Amuknya.

"Nanti ya, Om Nono lusa pulang kok." Hala berusaha memberi pengertian. Bukannya tenang, Araya semakin histeris, "ENGGA, JANGAN PERGI NANTI AYA BAKAL BENCI OM, BENCI, BENCI BANGET!!!" Teriaknya kencang. Membuat beberapa orang menatap ke arah mereka. Viano terdiam, hatinya sedikit nyeri tetapi sungguh ia tidak sanggup berada di negara ini, dia harus pergi agar tidak teringat bayang-bayang kesakitan itu lagi.

Tanpa kata Viano berbalik, "OM JANGAN, SINII...PELUK, CIUM AYA, GA BOLEH PERGI HUAAAAAA.....OM NONO...."

Josh mengambil alih Araya kemudian memeluk tubuh anak kecik itu, membiarkannya memberontak seraya memukul dan menendangnya.

"ARAYA BENCI, BENCI, BENCI, BENCI BANGET, GA MAU KETEMU OM NONO LAGI!!!"

"HUAAAA...POKOKNYA GA BOLEH TEMUIN ARAYA LAGI, ARAYA BAKAL USIR!!!"

Langkah Viano terhenti, dia berbalik melihat keberadaan pasangan orang tuanya serta jantung hatinya, wajah menangis anak itu sangat mirip dengan Arun. Viano tak kuat lagi, dia berbalik untuk melanjutkan langkahnya menuju pesawat, tanpa mau berbalik lagi.

"Araya...benci Om Nono...." suara lirih Araya terdengar lalu tiba-tiba tubuh anak itu lemas, matanya tertutup, kehangatan tubuhnya juga tiba-tiba menghilang. Hala dan Josh panik, "ARAYA!" Mereka berteriak panik.

Viano yang sedikit sudah jauh tersentak, ia masih mendengar teriakan kedua orang tuanya dan berbalik, menatap Josh yang menggoyang-goyangkan tubuh Araya serta Hala sedang menghubungi seseorang dari ponselnya.

Ikut panik, Viano berlari menyusul ketika dia mendekat, jantungnya terasa ingin lepas dari posisinya. Bibir anaknya sedikit membiru, lantas Viano ikut berjongkok; mengambil alih tubuh Araya untuk ia peluk.

"...sayang?" Panggilnya pelan. Viano membuka jaket yang membungkus tubuhnya untuk dia lilitkam ke tubuh Araya.

Lutut Viano semakin lemas ketika anak kecil itu tak merespon, memeriksa nafasnya menggunakan jari gemetarnya, "Araya sayang....anak kesayangan Papa...." gumamnya pelan.

Jari Viano tidak merasakan adanya nafas berembus.

Air mata mulai menetes, Josh terdengar memaki beberapa orang yang menjadikan mereka sebagai tontonan, Hala ikut andil dalam mengancam mereka semua hingga petugas medis datang.

Tubuh Araya masih Viano dekap, "Sayang, iya...Papa ga akan pergi, bangun ya nak...jangan buat Papa takut...."

Tangan Araya terjatuh tak berdaya, Viano menatap kedua orang tuanya dan menggeleng, tiba-tiba senyuman gila terbit, "Engga! Ga bisa!" Bentaknya.

Petugas medis segera memasang tabung oksigen lalu memasangkan maskernya ke hidung Araya kecil.

"Pistol? Pa, tembak Vian sekarang!"

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang