Sembilan Belas

121K 16.6K 2.4K
                                    

Telinga Araya sedikit pegang mendengar isakan tangisan Floren. Setelah berdebat tadi, Arvin menyuruh Devano untuk mengikutinya; sedangkan Niko memilih untuk mengantar Susan menuju kamarnya agar beristirahat.

Jadinya, Araya dan Floren duduk berhadapan di ruang tamu sembari menunggu. Tetapi ketika dua menit menunggu, suara tangisan Floren menganggu pendengaran Araya.

Oleh sebab itu dia menatap malas pada cewek yang sibuk mengusap air matanya, serta merta menahan isakan agar tidak bocor keluar. "Lo berisik banget." Decak Araya.

Floren mendongak dengan air mata berlinang membasahi pipi pucatnya. Araya sedikit mengasihani keadaan Floren, namun hanya itu saja, dia tidak ada niatan sama sekali untuk menenangkan hati gelisahnya. Masa bodoh, tidam ada untung baginya.

"K--kamu ga t--tau gimana rasanya...hiks..."

"Ya emang ga tau, ga mau tau juga lebih tepatnya." Sahut Araya.

Araya mengambil ponsel dan membuka chat dari beberapa orang, membalas satu persatu pesan mereka. Cewek itu menyandarkan tubuhnya ke senderan sofa, menghiraukan tatapan menusuk Floren. Araya heran, mengapa coba Floren sebenci itu padanya, padahal sudah lama dia tidak mengusik kehidupannya. Malah kebalikannya, sekaranglah Floren mengusik kehidupan Araya.

"....ini semua karna kamu," gumam Floren.

"Kalau kamu ga berubah, kejadian ini ga akan pernah terjadi..."

Araya meragukan pendengarannya lagi dan lagi, kejutan apa ini, Araya ingin tertawa saja. Berapa kali dia melihat sifat asli dari karakter novel sampah milik Ila ini.

Karakternya melenceng, mungkin dari hal tersebut Araya tidak akan lagi berpatokan pada alur novel. Semua kacau. Jika masih terus berpatokan pada alur, akan ada hal tidak menguntungkan baginya di masa depan nanti. Setidaknya Araya harus memutar otak dari sekarang.

"Kalau lo di benci--------jangan sangkut pautkan sama perubahan gue dong. Om Arvin benci sama lo karna itu lo, bukan karna gue."

Mendengar perkataan pedas Araya, semakin membuat hati Floren sakit. Dia mengepalkan tangan, rasanya sangat berbeda ketika di kehidupan keduanya saat baru pertama kali menjadi Floren.

Mata Floren menangkap seorang pria menuruni tangga, tak lain adalah Niko. Menggunakan kesempatan tersebut, Floren menitikkan air mata dan mengeluarkan suara isakan lumayan keras agar bisa terdengar jelas oleh Niko. Araya menatap jijik akan kelakuan si pencari perhatian itu.

Niko sudah berdiri melihat air mata Floren membasahi dress biru selututnya. Saat itu, Floren sudah berharap Niko akan menghampirinya, kemungkinan besar juga Niko akan mulai jatuh hati karena melihat wajah menangis Floren sekarang ini.

Namun,

Mengapa tidak ada tanggapan?

"Gue....minta maaf,"

Ketika Floren mendongak, dia terbelak melihat pemandangan di depannya. Di mana Niko berlutut menatap Araya dengan sedih.

'Sialan, apa....apaan ini?!'

Batin Floren berteriak.

Araya terdiam kaku, mengapa Niko melakukan hal seperti ini. "Lo ngapain sih? Berdiri, heh." Paniknya.

Bukannya berdiri, Niko malah meletakkan kepalanya ke paha Araya membuat cewek itu membeku seketika; jantung Araya rasanya berdegup sangat kencang.

Niko mengambil tangan Araya untuk dia letakkan di atas kepalanya, hal tersebut mengisyaratkannya untuk segera mungkin menenangkan jantungnya sekarang juga. Niko ini...berbahaya untuk jantung.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang