Mata Araya berubah menjadi tatapan kosong sesaat melihat ke arah mejanya, tubuhnya ikut terdiam kaku. Suasana kelas sedikit berisik mencemoohnya. Ini...masih pagi.
Araya menghela nafas panjang. Kata orang tidak baik marah-marah karena mempercepat penuaan, tetapi melihat hal ini rasanya Araya tidak perduli akan penuaan dini. Mejanya penuh sampah bungkus makanan ringan, bahkan ada bekas saos di mejanya.
"Meja lo mencerminkan pemiliknya." Hina salah satu teman sekelasnya. Araya melirik; seraya tersenyum congkak, dia memeluk jaket milik Niko erat. "....cupu ya kalian semua." Kata Araya.
Kakinya melangkah ke arah mejanya, menunduk untuk melihat lebih dekat lalu tertawa seakan menghina.
Brukkk
Dalam satu kali tendangan, meja miliknya sudah berubah terbalik. Berpura-pura kaget, menutup mulutnya dengan satu tangan lalu menatap sekitar. "Aduh, kaki gue kepleset." Suara Araya terdengar seakan merasa bersalah namun berbeda ketika melihat sudut bibirnya yang tertarik menyeringai.
"Sayang banget itu cuman meja, gue pengennya kalau itu....kepala kalian."
Orang yang berada di kelas seketika melangkah mundur, melihat suara dan wajah menyeramkan Araya seketika menyiutkan nyali mereka.
Selama ini Araya memang menyeramkan namun entah mengapa kali ini tingkat seramnya semakin bertambah. Bahkan ketika Araya diam saja mereka sedikit takut untuk mengajaknya berbicara.
"Percuma label sekolah elit, isinya sampah semua."
Senyuman menghina tersungging di bibir merah muda Araya. Tanpa terduga pula, cewek itu mendekati siswi berambut bob yang bersuara pertama kali tadi. Araya membawa jaket Niko untuk menutupi daerah mulut--------matanya menyipit seperti sedang tersenyum, "Lo pasti berpikir gue bakal terguncang karna masalah sepele itu 'kan; berbuat kekacauan lalu lo masukin ke forum sekolah buat permaluin gue,"
"Mungkin nanti gue bisa protes komite sekolah perihal ini."
Keheningan meningkat, suasana kelas menjadi suram mendengar perkataan Araya. Komite sekolah, berarti kejadian hari ini tidak akan selesai begitu saja.
"Menurut kalian semua....apa mereka bakal diam saja jika salah satu anak donatur terbesar melapor tentang kejadian ini?"
Tentu saja tidak. Siapa yang berani melawan kekuasaan dan uang di belakang Araya, bukan satu orang saja mendanai atas namanya. Namun ada empat orang berdiri menyokong di punggungnya. Araya sangat tau hal tersebut dan dia bisa memanfaatkannya untuk menekan para hama seperti sekarang.
"Sebaiknya kalian semua diam, melanjutkan sekolah seperti tikus mati. Satu jari gue, bisa ngehancurin seluruh kehidupan kalian." Araya tersenyum lalu menurunkan jaket Niko dari bibirnya, menatap malas pada mejanya.
Hendak keluar kelas namun batal karena kehadiran Devano di sana, menatapnya penuh hinaan yang jelas. "Harta milik lo sekarang ga akan di bawa mati, jangan sombong." Kata Devano pedas.
Kali ini Devano yakin bahwa Araya akan terguncang seperti biasa. Tak sesuai perkiraannya, Araya malah tersenyum, "Setidaknya ini harta gue, bukan harta lo. Jadi, bukan urusan lo." Balas Araya.
Devano terdiam kaku, wajah tersenyum Araya tadi memiliki arti berbeda. Seperti menghinanya balik akan suatu hal.
"Minggir...jangan rusak pandangan gue lagi." Decak Araya sambil mendorong tubuh Devano menjauhi pintu.
-o0o-
Layaknya hari libur, Araya menikmati bolosnya di rooftop--------beruntung sekali ada sofa usang di sana. Araya duduk memejamkan mata, merasakan semilir angin menerpa seluruh wajahnya, menerbangkan helai-helai rambut panjangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Araya! [End]
Teen FictionYang engga vote, durhaka kalian...masuk neraka jalur vvip🙏 [Chapter lengkap] __________________ Selesai mengerjakan skripsi, Rana merebahkan tubuh di atas kasur sederhananya. Sebelum dia terlelap merehatkan tubuh; Rana menyempatkan diri untuk memba...