Bab 3

46.5K 2.3K 61
                                    

Normal pov...

"Sampean ada hubungan apa sama Gus Alif?" Alesya menatap curiga Reya.

" aku sama dia itu sepupuan, bapak aku sama umi nya Gus Alif itu saudaraan, lebih tepatnya aku adik sepupunya" Reya menjawab dengan santai.

"Jadi kamu Ning?"

"Nggak lah, umi nya Gus Alif itu budhe aku, keluarga kita itu bukan keluarga kiyai, tapi budhe di jodohin sama pak de. Lain kali aku ceritain detailnya"

"Sampean mau nemenin aku jaga ndalem?" Lanjut Reya.

"Boleh"

Mereka berdua pun lanjut membersihkan halaman yang luas itu.














***













Alesya dan Reya memasuki ruang tamu ndalem. Kemarin saat ke ndalem Alesya tidak memperhatikan ruangan. Ada kaligrafi yang terpajang di dinding dan juga ada 2 figora besar foto Abah yai bersama keluarga besar.

"Ini foto Abah yai sama semua cucu, cucu menantu, dan cicitnya saat pernikahan Ning Delia 1 bulan yang lalu" ucap Reya yang berdiri di samping Alesya.

"Ini Ning Ulya cucu pertama Abah yai, yang di gendong itu Gus Amar cicit satu-satunya Abah yai, dan ini Gus Rafa suaminya Ning Ulya. Ini Ning Zaza, Ning Wawaf, yang pakai baju pengantin itu Ning Delia sama Gus Zein, terus ini Ning Yana, Ning Adeffa, Gus Alif, Gus Ali, Gus Wafi, Gus Reano, Gus Hanan, Gus Yanan, Gus Faza, Gus Azril, Gus Araf, Gus Juna, Gus Wildan, dan terakhir Gus Zelvin suami Ning Adeffa. Mereka semua itu panya karakter dan sifat yang beda-beda" jelas Reya sambil menunjuk tiap orang yang ada di foto itu.

Setelah masuk di ruang keluarga atensi Alesya jatuh pada salah satu bingkai foto di ruang keluarga itu, padahal disana banyak bingkai foto.

"Ini..?" Ucap Alesya sambil menunjuk bingkai foto. Di foto tersebut ada Abah yai Kholil, Gus Alif, Gus Juna, dan seorang gadis tanpa mengenakan hijab.

"Itu Ning Adeffa, dia nggak berhijab, menurut kamu pasti aneh, tapi dia sangat baik kok. Kalau kamu ketemu sama dia, kamu bakal fikir dia unik dan aneh" Reya sangat bersemangat untuk menjawab pertanyaan Alesya seputar cucu Abah yai Kholil itu.

"Assalamualaikum"

"Waalaikum salam, loh Ning Delia? Kapan masuknya?" Yang datang adalah Ning Delia.

"Barusan, kalian asik ngobrol sih" Ning Delia ikut duduk di karpet bersama Alesya dan Reya.

"Mbak nya santri baru ya?" Tanya Ning Delia saat melihat Alesya.

"Iya Ning, saya Alesya"

"Ning Delia ke sini sama siapa?" Reya bertanya saat tidak melihat orang lain yang datang selain Ning Delia.

"Sama Kak Adeffa"

"Terus dia dimana?" Reya kembali bertanya.

"Di kamarnya, terus katanya mau masak, kamu kan tahu Bik Dila itu nggak suka kalau ada mbak ndalem yang sentuh dapurnya. Mangkanya Kak Adeffa datang buat masak"

"Eh... Ya Mbak Alesya ngambil jurusan apa nih?" Sambung Ning Delia dengan ramah pada Alesya.

"Tahfiz Ning"

Mereka terus berbicara entah apa yang mereka bicarakan sampai lupa akan waktu, tapi hal itu terliaht sangat seru.

"Ngobro terus, nih makan brownies" suara Adeffa yang menegur mereka bertiga sambil membawa sepiring brownies.

"Beli apa bikin Kak?" Tanya Delia sama bil mencomot sepotong brownies di piring yang baru saja di letakkan di meja oleh Adeffa.

"Iyalah bikin, menurut lo!!" Adeffa menjawab dengan sewot. Alesya cengok dengan perilaku Adeffa.

"Sampean Alesya ta? Kenalin Adeffa" Adeffa mengulurkan tangannya dan Alesya hanya menatap tanpa berkedip.

"Nggih Ning" dengan ragu Adeffa menjabat tangan Adeffa.

"Celuk en wae Adeffa, Ndak usah nganggo embel-embel Ning, risih nek kupengku"

"Nggih Adeffa"

"Nggak usah sopan-sopan kalik" yang tadinya menggunakan bahasa Jawa sekarang bahasa Indonesia. Adeffa itu emang bar-bar dan random.

"Aku mau ke akntor, tadi izin cuman sampai jam makan siang, assalamualaikum" pamit Adeffa.

"Waalaikum salam"

"Maaf ya Mbak Alesya, Kak Adeffa emang kayak gitu" ucap Ning Delia tidak enak pada Alesya.

Normal pov end....

Alesya pov...

Jam setengah sepuluh malam dan masih terdengar suara tabuhan rebana dari arah pondok putra dan berbarengan dengan suara merdu yang melantunkan mahalul qiyam.

"Suaranya Gus Juna teh meni merdu pisan" kata Ayu. Ternyata ini suara Gus Juna.

"Udah, emang Gus Juna yang paling cocok jadi penerus pesantren" kata Salwa.

"Gus Alif lah yang paling cocok" balas Nada sedikit sewot.

Dari pada mendengar pertengkaran di antara mereka lebih baik aku mendengarkan lantunan mahalul qiyam di depan kamar.

"Heh! Jangan terlalu di hayati nanti suka loh sama Gus Juna" ucap Reya yang entah datang dari mana sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil.

"Ih... Apaan sih, aku ke sini mau cari ilmu yang barokah, bukan mau cari jodoh" ucapku dengan kesal menatap Reya.

"Iya deh... iya. Tapi aku serius kamu jangan menghayati banget suara Gus Juna, nanti suka" karena tidak ingin menanggapi ocehan Reya aku pergi ke halaman belakang pondok putri sambil membawa Al Qur'an kecil untuk nderes hafalanku.

Di sini ada sebuah bangku panjang dan gazebo, aku lebih memilih duduk di bangku kayu ini.

Sejenak aku berhenti dan menatap langit malam yang dihiasi beribu-ribu bintang, mengagumi ciptaannya yang indah, tidak kusangka di pinggiran ibukota Jakarta bisa melihat suasana langit yang seindah ini.

Rasanya ingin ku ambil satu bintang untuk ku dari langit sana, tapi sayang aku tidak mampu untuk itu.

Aku sama sekali tidak menyangka bisa mondok di sini karena ini sangatlah jauh dari kampung halamanku. Nama yang aku perkenalkan pada Gus Juna waktu itu bukanlah nama panggilan asliku, nama panggilanku adalah Lara bukan Alesya. Kampung halamanku di Tuban Jawa timur, lebih tepatnya rumahku bertepatan di desa Wonosari kecamatan Senori kabupaten Tuban. Desaku adalah daerah paling selatan kabupaten Tuban sekaligus berbatasan langsung dengan kabupaten Bojonegoro. Keluargaku pun berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahku seorang guru di madrasah ibtidaiyah yang ada di desaku dan Ibuku seorang guru PNS. Aku punya kakak laki-laki dan adik laki-laki.

Diusiaku yang baru 7 tahun aku sudah di pondokan di salah satu pondok pesantren yang ada di Senori bersama kakakku yang pada waktu itu mengenyam pendidikan Tsanawiyah.

Saat Tsanawiyah aku mondok di daerah Lasem dan Aliyah aku mondok di Jombang, aku kuliah S1 juga di Jombang, barulah S2 aku kuliah di universitas Airlangga Surabaya itu pun karena mendapat biasiswa sekaligus mondok juga. Selama 24 tahun hidupku aku habiskan belajar di pondok pesantren, pulang kerumah bisa 1 tahun sekali atau 2 kali. Dan di sini aku ingin fokus menghafal Al-Qur'an, daerah yang sangat jauh dari orang-orang yang aku kenal.

Aku punya bisnis restoran dengan kakakku, hasil dari bisnis itu aku makan untuk mundur di sini.

Aku tidak pernah punya keinginan yang harus kita capai di tahun ini, aku hanya mengikuti kemana takdir akan membawaku.

Sudah lah.. lebih baik meneruskan nderes..

Alesya pov end....














































































TBC








Tuban, 10 September 2021

Assalamualaikum My Destiny (END & LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang