Juntaian film mulai terputar beriringan dengan bunyi alat pemutarnya yang bising. Proyektor jadul keluaran 1961 itu memancarkan gambar bergerak pada dinding usang berwarna putih yang mulai menguning. Pada gambar itu tersorot seorang anak perempuan menggandeng tangan orang yang sedang merekamnya berlarian di sebuah taman nan hijau. Senyum anak itu manis sekali. Anak itu menunjuk ke satu arah. Di sana berdiri seorang anak laki-laki yang memiliki bentuk mata dan hidung sama persis dengan anak perempuan tadi. Anak laki-laki itu melambai ke arah orang yang merekamnya.
Terdengar teriakan manis dari anak laki-laki itu cukup lantang. "MAMA."
Di titik itu Rini terbangun dari tidurnya.
"Lagi?" ujarnya dalam hati, namun sepertinya bibirnya juga dengan lirih mengucapkan itu.
Ia membaringkan badannya ke kanan dan meraih ponselnya yang ia letakkan di sebelah bantalnya. Ia tidak bisa jauh dari benda pintar itu kapanpun.
Udah jam tujuh? Ia bergumam setelah melihat jam di layar utama ponselnya. Entah gumamannya kali ini keluar dari mulutnya atau tidak.
Rini bangkit dari kasurnya yang tipis. Kasur dengan kerangka besi itu memiliki tingkat. Rini tidur di tingkat bawah. Di atasnya, sesama anak panti asuhan, ada Bela yang masih tertidur dengan selimut acak-acakan menutupi sebagian badannya. Ia menaiki dua tangga besi dari rangkaian kasur itu untuk manggapai Bela.
PLAK!
Dengan satu tamparan yang cukup keras ia berhasil membangunkan Bela. "Udah jam tujuh. Bangun!" kata Rini sambil beranjak turun dari tangga.
Bela memang bukan gadis yang sulit bangun pagi. Tapi, seharusnya dia bangun lebih pagi hari ini. Karena ini hari Kamis, gilirannya menanak nasi untuk sarapan. Ia mengeluh karena baru saja ditampar Rini yang lebih tua dua tahun darinya itu.
Sambil mengusapi pipinya berulang kali Bela berkata, "Aku udah masak nasi dari dua jam yang lalu."
"Oooh," kata Rini dengan nada meledek.
Rini turun dari tangga itu dengan melompat. Karena biasa ia lakukan setelah membangunkan Bela, jadi ia tidak pernah salah mendarat. Lagipula tingginya hanya sekitar 50 cm.
Ia kini berjalan menuju pintu kamar yang hanya diisinya dengan Bela saja.
Seharusnya kamar ini dapat menampung empat orang. Semenjak keuangan panti asuhan itu memburuk saat Rini baru masuk SMA, panti asuhan itu sudah tidak menerima anak baru lagi. Kira-kira sudah hampir tujuh tahun lamanya.
Di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Rini menoleh ke arah kasur Bela kembali. "Kamu enggak ada kuliah hari ini?" Pertanyaan yang diucapkan dengan tegas itu bernada penuh perhatian. Seperti dari kakak kepada adiknya.
"Nanti jam sembilan berangkat, Kak," ucap gadis itu lirih.
Karena Bela tampak masih mengantuk, jadi Rini tidak berniat mengganggunya lagi. Ia berjalan keluar kamar dan menuju dapur panti asuhan yang menyatu dengan ruang makan.
Terlihat dari bekas piring yang menumpuk, ia menyimpulkan kalau anak-anak yang bersekolah sudah selesai sarapan. Sepertinya mereka sudah berangkat ke sekolahnya masing-masing.
Dari sebuah lorong yang menyambungkan ruangan itu dengan kamar anak laki-laki, datang Endra. Ia tak memakai baju seragam sekolahnya. Yap. Sudah hampir dua minggu ia tidak ke sekolah karena sakit tifus yang ia alami. Rini sebagai anak tertua di panti asuhan merawat Endra ketika sedang tidak ada urusan.
"Udah enakan, Ndra?" tanya Rini.
Untuk anak kelas 2 SMP, Endra memiliki postur yang lebih tinggi dari anak seumurannya. Tapi ia terlihat jauh lebih kurus belakangan ini. Penyakit itu benar-benar menghabisinya.
"Udah enggak panas, kok, Kak."
"Mau Kak Rini buatin teh hangat?"
"Enggak usah, Kak. Kakak belum sarapan, kan? Kakak sarapan dulu aja, aku bisa buat sendiri."
Perkataan Endra itu serasa menenangkan sekali bagi Rini. Entah sejak kapan anak itu punya sifat pengertian. Memang sejak bangun tidur tadi Rini merasakan perutnya lapar sekali.
Ia berjalan melalui Endra yang berjalan berlawanan arah dengannya. Ia mengambil piring dan mulai menyendok nasi dari dalam mesin penanak dengan centong. Biasanya ia memang tidak banyak makan. Begitu pula hari ini.
Di piring yang sama, ia menuangkan sayur sop dan juga sepotong ayam goreng yang sepertinya sudah dingin. Semua hidangan itu adalah buatan Bu Hilda, pengurus panti asuhan, dibantu oleh beberapa anak panti yang sudah ditentukan gilirannya. Seperti hari ini Bela yang mendapat giliran menanak nasi.
"Aku balik ke kamar, ya, Kak," kata Endra. Entah sejak kapan anak itu sudah selesai membuat teh hangatnya sendiri.
Dengan perginya Endra, Rini tinggal sendirian di ruang makan yang sangat luas itu.
Kursi-kursi plastik dengan warna yang berbeda-beda itu semuanya kosong. Selain satu kursi yang kini diduduki Rini.
Sambil menyantap sarapannya, otak Rini memutar kembali cuplikan mimpinya pagi ini. Berarti ini sudah kali keempat proyektor jadul itu memancarkan gambar bergerak hitam putih yang sama di mimpinya. Permasalahannya adalah, siapa anak-anak itu?
Pertama kali ia memimpikan itu adalah hari Rabu pekan lalu. Hari di mana ia terbangun di sebuah kamar hotel mewah dengan kasur yang empuk dan selimut tebal membalut tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...