Bagian 33

227 13 0
                                    

Mungkin karena dorongan perasaan kedua anak kembar dalam kandungannya yang ingin bersama ayah mereka, Rini sudah tanpa ragu lagi mengiakan tawaran Adam untuk tinggal bersamanya. Ia menyampaikannya saat mereka sedang makan malam. Tapi Rini heran karena Adam memintanya untuk tinggal mulai malam ini juga. Apa yang membuatnya terburu-buru sekali untuk itu? Pria itu tidak berpikir untuk melampiaskan nafsunya pada seorang wanita hamil seperti dirinya, kan?

"Setidaknya izinkan aku ke panti asuhan dulu untuk bilang pada Bu Hilda," ucap Rini sambil memindahkan piring makan malamnya ke tempat cucian piring. Adam sudah berdiri di belakangnya sedang mencuci piring kotor yang sudah terlebih dahulu dipindahkan ke sana.

"Kau bisa meneleponnya," kata Adam tanpa melihat Rini. Ia fokus sekali menghilangkan noda membandel di piring-piring itu.

"Lalu aku harus bilang apa?" Rini agak ragu untuk melanjutkan perkataannya. Jadi, ia memelankan kalimatnya, "Kita, kan, belum resmi menikah."

Adam akhirnya menatap Rini dan menghentikan kegiatan cuci piringnya. Air dari keran masih mengalir dalam keheningan.

"Mau mendaftarkan pernikahan besok?"

"APA?" pekik Rini sambil matanya melotot.

"Aku serius."

Rini kini menyipitkan matanya yang tadi terbelalak lebar sekali. Ia memperhatikan setiap perubahan pada raut wajah pria itu secara seksama. Tentu saja wajah serius Adam membutuhkan kepastian Rini saat itu juga. Tapi setidaknya ia tak perlu menutup keran dulu. Rini lupa ingin mengatakan apa lagi setelah ia turut melihat tangan Adam menutup keran itu. Matanya sudah kembali normal lagi meski ia kembali memperhatikan wajah Adam lagi.

"Maksudku, kamu menerima cincinku," kata Adam berusaha mengeluarkan apa saja yang terpikirkan saat itu.

"Kau memohon agar aku tak menolak cincinmu. Karena itu aku tidak melepaskan cincin ini."

Sebenarnya bukan itu alasan Rini tak menolak Adam. Entah bagaimanapun Rini hanya tak bisa menolak pria itu. Selain karena Rini membutuhkan pria itu, ia juga tahu pria itu bersungguh-sungguh untuk bertanggung jawab. Tapi kalau soal menikah secepat itu, itu hal lain yang belum mereka bahas hari ini.

Tampak mata ketakutan kembali terlihat di wajah Adam. Rini menarik napasnya untuk meredam emosinya. Karena ia tidak mau melihat wajah ketakutan Adam lagi hari ini.

Ia berusaha melembutkan ucapannya, "Kita belum membicarakan pernikahan, Adam."

Pria itu melemaskan bahunya yang sempat tegang.

"Baiklah, aku bersedia tinggal di sini dulu. Soal pernikahan, kita bahas lagi nanti."

Rini merasa pusing dengan pembicaraannya itu. Ia melenggang ke toilet dan segera mencuci mukanya dengan air saja. Ia melihat pantulan wajahnya yang masih ditumbuhi jerawat. Wajah cemas bercampur gugup. Ia sudah menyetujui untuk tinggal di sini mulai malam ini. Itu berarti, ia akan tidur bersama Adam lagi setelah malam itu. Ia menatap perutnya yang besar dan mengelusnya. Dalam hati ia menyampaikan perasaan bimbangnya kepada jabang bayinya.

Keluar dari toilet, Rini kembali ke dapur mencari Adam. Tapi pria itu tidak ada di sana. Ia mencari ke kamarnya juga tidak ada. Pandangannya mencelus ke luar tapi mobil Adam masih ada di sana. Saat ia mulai kebingungan mencari pria itu ke mana lagi, pria itu keluar dari ruang menonton dengan pakaian santainya. Sebuah kaus putih polos dengan celana panjang untuk olahraga.

"Kau sudah ganti baju?" tanya Rini.

Adam mengangguk tanpa kata. Ia berjalan ke dapur masih tanpa kata.

Rini penasaran kapan pria itu mengganti pakaiannya. Padahal ia tidak terlalu lama ketika berada di toilet. Tidak mungkin ia berganti pakaian secepat itu.

"Masuklah," ujar Adam yang baru kembali sambil membawa sepiring kue keju di tangannya. Ia membukakan pintu ruang menonton dan mempersilakan Rini masuk duluan.

Ruangan itu sudah digelapkan. Terasa sekali nuansa bioskop di dalamnya. Pengeras suaranya juga terdengar seperti yang ada di bioskop. Rini baru sekali menonton film di bioskop. Jadi ia merasa takjub ketika melihat ruangan di rumah ini menyerupai gedung bioskop. Hanya saja, di sana hanya ada satu set sofa dan juga ruangan tidak terlalu besar.

"Wah." Rini tidak sadar mengungkapkan keterkagumannya itu.

Adam menyuruhnya duduk di sofa yang sudah ia panjangkan bagian bawahnya. Sofa itu sudah menjadi kasur besar yang hampir sama seperti kasur di kamar Adam. Benar-benar tidak ada gunanya memiliki TV di depan kasur juga.

Tapi semua sambatan Rini sebelumnya terjawab setelah film itu mulai. Adam mengulurkan tangannya melewati tengkuk Rini. Tentu saja tak ada penolakan dari Rini. Dalam sekejap ia merasa nyaman berada di posisi seperti itu. Bau badan Adam yang membuatnya semakin merasa jauh lebih nyaman. Desir napas Adam mengalir lembut di dekat dahinya. Membuat poni Rini beberapa kali berayun. Adam benar. Ia kini tahu bedanya TV yang ada di sini dan yang ada di ruang keluarga itu. Dengan semua kenyamanan itu, Rini terlelap.

Ia terbawa kembali ke mimpinya yang melihat dua anak kembar di sebuah taman. Tapi sosok-sosok yang ada di mimpinya itu kini tampak semakin jelas. Pria yang sedang bermain bersama anak-anak itu adalah Adam. Tampak sekali kegembiraan Adam bermain bersama anak-anak itu seraya sesekali menghadap ke arahnya tersenyum. Rini tanpa sadar tersenyum melihatnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang