Kepulan asap tipis yang membumbung dari sebuah cangkir kopi beraroma harum sekali. Buih di permukaan kopi robusta itu perlahan sudah semakin menepi ke dinding cangkir itu. Setelah menghirup aromanya sekali dengan hidungnya yang indah itu, Adam berjalan kembali ke sofa ruang tamu rumahnya. Di depan sofa, sebuah laptop layar utama menampilkan wajah seorang wanita yang sedang melakukan panggilan video dengannya.
"Lanjutkan, Amanda," ujar Adam setelah bokongnya menempel dengan sofa itu.
"Sampai mana tadi?"
Suara Amanda terdengar dari pelantang telinga nirkabel yang terpasang di telinga Adam sejak tadi. Sebenarnya tanpa meminta wanita itu berhenti saat ia bikin kopi tadi, ia tetap bisa mendengarnya.
"Hadiah," jawab Adam ragu.
"Oh, ya. Hadiah. Kau tidak jadi membelikannya pakaian bayi yang dia mau, kan?"
Adam mengerutkan dahinya setelah meletakkan cangkir kopinya di meja. Di meja itu sudah ada dua cangkir kosong bekas kopi sebelumnya.
"Ya, begitulah."
"Bagaimana kalau membelikannya?" jawab Amanda ringan. Ia terlihat sedang minum dari gelasnya di layar laptop.
"Tidak akan pernah."
"Kalau begitu kau tidak akan pernah membuatnya luluh." Lagi-lagi nada bicara Amanda seperti tanpa beban. Apa sebenarnya ia tidak sadar sedang bicara dengan siapa?
Meski Adam adalah seorang atasan yang tak begitu mementingkan hirarki seperti itu, tapi tetap saja dia bicara tanpa mengenal lawan bicara. Selain itu, Adam juga memakluminya karena pembicaraan ini adalah permintaannya. Ia ingin berkonsultasi secara pribadi pada sekertarisnya itu.
Adam menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangannya naik turun beberapa kali.
"Tapi kalian pergi menikmati pemandangan malam, kan?"
"Ya, aku mengikuti semua saranmu." Adam berhenti bicara sejenak untuk meminum kopinya. "Tapi nyatanya dia belum memberi jawaban padaku."
"Aku sudah bilang, dia butuh waktu berpikir."
Amanda terlihat sibuk membenahi barang di sekitarnya yang tak terlihat di layar laptop Adam.
Adam hanya mengamati pergerakan wanita itu saja tanpa memberi reaksi apapun.
"Oh, iya, Adam. Maaf, aku tidak punya banyak waktu malam ini. Aku harus tidur lebih awal karena ada janji temu dengan dokter kandungan besok."
Benar. Amanda baru saja mengumumkan kehamilannya beberapa hari yang lalu. Ia terlihat bahagia ketika membagikan kabar itu di ruangan Adam, mengingat ia sudah menanti kehadiran momongan setelah menikah lebih dari dua tahun.
"Oh, benar juga. Kau sudah menghubungi dr. Andreas?"
"Sudah. Terima kasih, ya."
Tadinya Adam ingin memutus sambungan telepon itu. Tapi tiba-tiba Amanda menambahkan.
"Suamiku juga membutuhkan waktu agak lama untuk membuatku jatuh hati. Intinya teruslah berjuang."
Adam tertawa agak canggung mendengar saran dari wanita itu.
"Begitu, ya?" tanya Adam sambil menggaruk pelipisnya.
"Ya. Kami para wanita butuh dimengerti."
Adam ingin sekali menceritakan apa yang mengganggu pikirannya pada Amanda. Ia memang sudah yakin dengan anak dalam kandungan Rini. Tapi satu yang kini ia pikirkan adalah ia tidak tahu apakah ia mencintai Rini atau tidak.
Salah kalau ia menikahi Rini hanya karena rasa bersalahnya telah membuat gadis itu hamil. Setelah bayi mereka lahir, perjalanan hidup mereka tidak akan berhenti begitu saja. Jika motifnya menikahi Rini hanya karena tanggung jawabnya sebagai ayah dari anak-anak itu, berarti ia tidak bertanggung jawab kepada Rini.
Cinta satu malam memang indah. Tapi tidak benar-benar ada cinta di tengahnya. Hanya ada nafsu dan gairah saja.
Namun melihat Amanda yang sudah bersiap untuk mematikan sambungan panggilan videonya, ia tak jadi mengungkapkan pikirannya.
Permasalahannya kini adalah Adam harus mulai mencintai Rini. Memang mencintai seseorang itu bukan hal yang mudah dan bisa ia lakukan dalam waktu yang singkat. Adam, entah kenapa, selalu merasa senang saat bersama dengan Rini di beberapa kesempatan belakangan ini. Tapi rasanya itu bukan cinta. Ia hanya nyaman saja dengan gadis itu.
Seorang gadis yang tidak pernah ia temui sebelumnya sepanjang hidupnya. Rini adalah gadis yang unik. Gadis yang kuat sekali terhadap bir dan wiski, tetapi lemah terhadap anggur merah. Gadis yang sama sekali tidak malu mengenakan pakaian tidurnya di tempat umum. Gadis yang memakan empat bungkus hamburger berukuran besar dengan cepat. Rini adalah gadis itu. Gadis yang membuat Adam merasa ia bukan Adam yang biasanya ketika bersamanya.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana perasaan Rini kepadanya? Mereka berdua sama sekali tidak saling mengenal sebelum malam itu. Tidak ada sesuatu apapun yang mengaitkan keduanya. Wajar jika Rini juga tidak mencintai Adam.
Adam menutup sambungan teleponnya dengan Amanda setelah wanita itu berkata ia juga tak punya solusi untuk itu. Tetapi Adam sangat menghargai wanita itu karena mau mendengarkan ceritanya.
Ia menutup laptopnya lalu mengambil cangkir kopinya. Terpantul wajahnya di permukaan kopi hitam itu. Raut wajah yang tak pernah ia tampilkan sebelumnya terlihat di sana.
Pikirannya kembali ke beberapa jam yang lalu saat masih bersama Rini. Beberapa kali gadis itu mengelus perutnya yang membuncit. Rasanya ingin sekali Adam melakukan itu.
Ia menghabiskan kopinya, lalu membawa semua cangkir kosong di atas meja dan segera mencucinya hingga bersih.
Kata-kata Debby setelah makan malam itu tiba-tiba terdengar kembali di tempatnya berdiri sekarang. Tentu Debby tidak ada di sana. Hanya ingatannya saja yang menyuarakan nasihat Debby soal keajaiban di kepalanya.
Benar. Keajaiban. Hanya itu yang mereka perlukan. Janin yang Rini kandung itu adalah keajaiban. Tentu ada saja cara keajaiban itu menyatukan kedua orang tuanya dalam ikatan cinta.
Namun, kini ia hanya membiarkan sang waktu dulu yang bertindak. Tidak mungkin keajaiban itu bisa langsung menyatukannya dengan Rini secepat kilat. Ia akan memberi waktu terlebih dahulu pada Rini untuk berpikir. Ia hanya bisa berharap yang terbaik saja saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...