Bagian 8

452 19 0
                                    

Rini terbangun karena dering ponselnya yang ia letakkan di samping bantalnya. Bukan deringan alarm karena ia sudah melewatkan deringan alarm berkali-kali.

Itu adalah deringan karena Bela meneleponnya.

"Kenapa, Bel?" ujarnya seketika setelah mengangkat telepon itu.

Sebelumnya ia sempat melihat jam di layar ponselnya menunjukkan pukul delapan pagi.

"Baru bangun, Kak?" tanya orang di ujung sambungan telepon.

"Iya."

Suara Rini agak sedikit serak. Ia memutuskan untuk ke dapur mengambil minum.

"Ibu dan ayahku hari ini ada urusan mendadak di rumah saudaranya. Aku sendirian di rumah sampai malam. Mau ke sini?"

Di dalam hatinya ia ingin segera mengiakan. Tetapi dengan kondisi kesehatannya yang sedang tidak baik sejak hari sidang skripsi itu membuatnya memutuskan tidak langsung menjawab.

Sudah lima hari ini ia tidak bisa makan dengan baik. Setiap makanan yang berusaha ia telan, tidak lama kemudian akan ia muntahkan. Perutnya benar-benar merasa tidak nyaman.

Selama lima hari ini ia hanya memakan buah-buahan. Bu Hilda yang khawatir akan kesehatannya menyuruh anak panti asuhan lain membelikannya jeruk dan mangga masing-masing sekeranjang. Ia hanya dapat memakan buah-buahan itu saja.

"Mereka ninggalin satu mobil. Jadi aku bisa jemput Kak Rini pakek mobil itu."

Rini hanya mengangguk-angguk sembari minum air dingin langsung dari botolnya. Padahal ia tahu kalau Bela tidak bisa melihat anggukannya itu. Tapi tidak lama setelah ia memasukkan botol air minum itu kembali ke kulkas, ia menyetujui tawaran Bela tadi.

Ia lupa bilang soal keadaannya yang sedang tidak sehat pada Bela. Tapi pasti Bela akan mengerti kalau nanti ia sampai di panti asuhan. Ia tahu kalau ia hanya butuh teman saat ini.

Satu jam setelah menelepon, Bela sudah berada di kamarnya dengan Rini di panti asuhan. Saat itu ia tertawa melihat pakaian Rini yang tampak kesempitan.

Rini mengaku baru membeli pakaian itu beberapa minggu yang lalu. Ia juga baru dua kali memakainya untuk bepergian. Tubuhnya benar-benar membengkak belakangan ini.

Bela langsung mengajaknya bergegas. Mereka sudah berada di mobil beberapa saat kemudian.

Ini bukan pertama kalinya Rini mengunjungi rumah orang tua asuh Bela.

Sejak Bela diadopsi, orang tua asuh Bela selalu mengundang Rini setiap malam pergantian tahun. Selain itu, di beberapa kesempatan tertentu ia juga selalu mendapat undangan makan malam. Jadi, Rini bisa dibilang dekat dengan orang tua asuh Bela.

"Bel, jendelanya buka aja, ya?"

"Kenapa, Kak? AC-nya kedinginan, ya?"

Sebenarnya bukan karena benda itu terlalu dingin. Tapi benda itu menyebarkan bau yang tidak enak ke seluruh penjuru mobil ini. Hidungnya tidak bisa menerima bau seperti itu belakangan ini.

"Bukan," kata Rini sedikit meluruskan.

Ia ingin bilang aroma pendingin itu tidak enak. Tapi tidak jadi karena Bela sudah lebih dulu bicara.

"Kalau gitu buka saja. Aku lupa kalau Kakak lagi sakit."

Rini sedikit terkejut Bela tahu kalau dia sedang sakit.

Ia bertanya, "Kok kamu tahu?"

Bela menjawab sederhana, "Bu Hilda bilang ke aku."

"Tapi udah enakan, kok," kata Rini agar Bela tidak khawatir akan kondisinya.

"Emang belum periksa ke dokter, Kak?"

"Cuma sakit perut biasa. Nanti juga sembuh."

"Hmm...."

Kedua saudara sepengasuhan itu tertawa cekikikan ketika memasuki rumah. Mereka mentertawakan video yang Bela putar di ponselnya. Video belakangan mendapat perhatian masyarakat luas.

Bela mengambilkan susu kaleng merek kesukaan Rini dari kulkas untuk kemudian menyajikannya bersama camilan-camilan yang sudah ada di kamarnya. Ia sendiri mengambil teh hijau dalam kemasan botol untuk dirinya sendiri.

Meskipun Bela sudah menyuruhnya ke kamarnya terlebih dahulu, tapi Rini tetap mengekor pada Bela. Gadis itu memang masih malu-malu. Ia merasa bersalah ketika sempat membenci Bela lima tahun lalu karena mendapat orang tua asuh.

"Nih, Kak. Film ini baru masuk Netflix," katanya saat menunjukkan judul film di televisi pintarnya.

"Kayaknya seru."

"Nonton, nih?"

Rini mengangguk dan Bela menekan tombol mulai.

Bela membuka tutup botol minumannya dan beberapa toples camilannya. Rini mengambil bantal besar berbentuk bulat berwarna hijau, lalu mendudukinya.

Ia membuka kaleng susunya setelah layar mulai menampilkan wajah-wajah pemain filmnya. Ketika ia mulai meneguk minuman yang menjadi salah satu minuman kesukaannya itu, tercium lagi bau tidak sedap.

Ia berusaha mengabaikannya dan tetap meneguknya. Tidak lama baunya semakin terasa pekat dan membuatnya terbatuk-batuk. Minuman itu sebagian keluar dari mulutnya.

Ia langsung lari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya ke toilet.

Bela tidak lama menyusul.

Dalam kekhawatiran, Bela bertanya, "Kenapa, Kak?"

"Mungkin susunya basi."

Bela memiringkan wajahnya. Ia menjelaskan kalau ia baru membeli susu itu dua hari yang lalu dan langsung ia masukkan ke kulkas. Tidak mungkin minuman kaleng itu bisa basi secepat itu.

Lagi-lagi Rini muntah.

Kali ini lebih parah dari yang pertama. Ia sampai meneteskan air mata dari kedua ujung matanya.

Bela berusaha memijat lembut tengkuk Rini. Mungkin itu bisa membuatnya lebih baik.

Namun Rini semakin menjadi. Semua isi perutnya benar-benar ia keluarkan.

"Kak, ke dokter, yuk."

Rini langsung menolak ajakan Bela dengan menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Setelah merasa tidak ada yang ingin ia muntahkan lagi, Rini beralih ke wastafel untuk mencuci mulutnya dengan air. Tapi di wastafel ia kembali muntah.

Bela bertanya dengan raut wajah yang menyiratkan rasa penasaran yang mendalam, "Kak, kapan Kakak terakhir mens?"

Rini tersentak dan langsung duduk di kloset.

"Kenapa tanya begitu?"

Bela memiringkan kepalanya ke kanan. Lalu setelah menegakkannya kembali ia mengangkat kedua bahunya.

"Entahlah. Aku rasa Kakak ...." Bela tidak menuntaskan perkataannya. Ia membuat gerakan tangan di depan perutnya.

Mata Rini membulat, sedangkan pupilnya mengecil.

Ia baru ingat kalau ia sudah lama tidak datang bulan. Apakah ini tandanya ....

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang