Rini mengelap kaca di hadapannya yang berembun dengan sebelah tangannya. Tampaklah wajahnya yang lebih tenang daripada beberapa saat yang lalu. Mandi air panas di malam hari memang mampu menenangkan pikiran dan membuat tubuh menjadi rileks.
Ia mengolesi wajah cantiknya dengan krim malam yang ia beli secara daring ketika ada diskon bulanan. Krim itu juga sebenarnya sudah hampir habis. Jadi perlu berusaha dengan jari telunjuknya mengorek bagian dalam wadah krim itu untuk mengambil sisa-sisa krim yang menempel.
Setelah pria itu meninggalkannya begitu saja di ruangan dr. Andreas, Rini hanya bisa menangis saja. Dokter berkulit sawo matang itu menenangkannya. Ia mengatakan kalau biasanya Adam tak bersifat seperti itu.
Mungkin dokter itu tahu lebih banyak soal Adam ketimbang dirinya. Tapi penilaian Rini soal pria itu, sudah tak bisa diganggu gugat. Sudah menjadi hal yang mutlak baginya kalau Adam adalah pria yang tak bertanggung jawab. Ia bahkan lari dari kenyataan.
Saat ia meluapkan semua rasa kesalnya itu, dr. Andreas malah mengeluarkan hal yang tak mau ia dengar soal pria itu. Dr. Andreas mengungkapkan banyak sisi baik Adam padanya. Ia tahu ia butuh hiburan. Tapi bukan ini yang ia mau.
Dr. Andreas yakin kalau Adam hanya butuh waktu saja untuk memikirkan semuanya sendiri. Setelah itu, pasti Adam akan menemuinya dan bertanggung jawab atas anak-anak yang ia kandung itu.
Tentu saja Rini tak percaya. Ia langsung meninggalkan mobil dr. Andreas yang mengantarnya sampai halte bus tanpa mengucap terima kasih. Ia baru menyesali hal itu saat sudah berada di panti asuhan.
Rini berjalan keluar dari kamar mandi begitu semua pakaian ia kenakan di tubuhnya. Tadi ia sempat melihat pantulan tubuhnya di cermin. Perutnya memang sudah membuncit sedikit.
Saat memasuki kamarnya, ia melihat Bu Hilda sudah duduk di pinggiran kasurnya. Pengurus panti asuhan itu pulang lebih awal dari perjalanan dinasnya setelah mendengar kabar Rini hamil. Ia tampak sedikit khawatir setelah mendengar cerita Rini yang baru pulang beberapa jam yang lalu.
Selain karena cara Rini yang bercerita, mungkin Bu Hilda juga merasa sulitnya membesarkan Rini. Sehingga saat ia tahu pria itu seakan tak mau bertanggung jawab, Bu Hilda mengutuknya terang-terangan.
"Ibu mendukung kamu kalau kamu memang mau melahirkan anak-anak itu."
Wajah wanita gemuk itu masih sembab setelah menangis terharu beberapa waktu lalu.
"Tapi, kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu, kan?
Rini sebenarnya tidak sanggup berkata-kata lagi. Tapi bibirnya yang tipis itu terbuka. Jadi ia hanya mampu mengangguk pelan saja.
"Aku cuma masih bingung, Bu. Mau tinggal di mana setelah panti ditutup."
Rini mulai sesenggukan di depan wanita itu.
"Aku tidak tahu apakah bisa bekerja selama hamil atau tidak. Uang dari kerja paruh waktuku pasti tidak akan cukup untuk kebutuhan hidup."
Tatapannya agak kosong setelah kalimatnya berakhir.
Semua pikiran kini menumpuk menjadi satu dalam kepalanya. Ia tentu tak mau menggugurkan kandungannya yang menurutnya perbuatan buruk karena sama saja membunuh seseorang.
Tapi karena lelaki itu tidak mau bertanggung jawab, ia jadi tidak tahu bagaimana caranya menghidupi dua anak kembarnya nanti. Apalagi panti asuhan tempatnya akan segera ditutup akhir tahun ini.
"Sudah, kamu istirahat saja. Nanti Ibu bantu carikan bantuan," kata Bu Hilda sambil tersenyum di akhir.
Rini merebahkan tubuhnya di kasur. Tanpa sadar ia terlelap.
Ia memulai hari barunya lagi seperti tidak terjadi apa-apa. Meski ia sadar perutnya semakin membesar dan kehidupan sedang bertumbuh di sana. Tidak hanya satu, tetapi dua.
Ia menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak panti asuhan dengan dibantu Bu Hilda. Beberapa kali ia harus menahan mualnya. Padahal Bu Hilda sudah menyuruhnya untuk memuntahkannya saja. Tapi tidak bisa karena memang tidak ada yang bisa ia muntahkan.
Pagi itu Rini sarapan dengan agak sulit. Akibatnya Rini makan hanya beberapa suap saja. Beberapa anak panti asuhan ada yang menanyakan mengapa keadaan Rini. Bu Hilda menjawab kalau Rini sedang tidak enak badan saja.
Setelah anak-anak yang bersekolah pergi ke sekolahnya masing-masing, Rini langsung ke kamarnya. Rasanya ia lemas sekali pagi ini. Tidak ada enerji sama sekali yang bisa ia pakai bahkan untuk duduk sekalipun.
Meski sudah terbaring di kasur, ia tak bisa tidur. Ia hanya mengelus perutnya.
Ia ingat detak jantung kedua janinnya yang ia dengar dari alat di ruang periksa kemarin. Kalau bisa, rasanya ia ingin mendengarnya lagi. Sepertinya tanpa alat memang tidak bisa.
Sekejap bayangan pria itu terlintas di pikirannya. Ia berusaha untuk segera menghapus bayangan itu sekarang.
Tidak ada waktu untuk memikirkan pria yang tak mau bertanggung jawab sepertinya. Ini adalah waktunya untuk bersemangat menjalani hidup menanti kelahiran bayi kembarnya.
Rini sepintas terpikir untuk menelepon manajer tempatnya bekerja paruh waktu. Ia ingin memohon untuk dijadikan pegawai penuh agar dapat uang lebih banyak. Untuk sementara waktu, mungkin hanya itu harapannya untuk memiliki pekerjaan penuh.
"Begitu, ya ... Ya, aku juga minta maaf selalu merepotkanmu."
Sambungan telepon itu terputus.
Rini menghela napasnya dengan berat.
Ia menyesal melakukan hal itu. Memang saat itu ia dalam pengaruh alkohol dan tentunya tak akan menduga terjadi hal ini. Tapi ia hanya bisa menyalahkan dirinya saat ini.
Pria itu juga. Seharusnya dia tanggung jawab.
Ia mulai mengutuk hasil pemeriksaan sperma pria itu. Pasti ada yang salah dengan pemeriksaan itu atau sebagainya.
Tidak mungkin tiba-tiba ada janin yang muncul di rahimnya tanpa pembuahan dari sperma. Ia juga tidak mendapatkan donor sperma atau semacamnya. Ia mendapat sperma setelah melakukan hubungan seks dengan pria itu. Tidak ada pria lain yang melakukannya dalam waktu dekat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...