Proyektor tua keluaran tahun 1961 itu mengeluarkan bunyi yang amat bising. Jauh lebih bising dari sebelumnya. Suara dari gambar berjalan itu tidak terdengar sama sekali karena tertumpuk oleh suara proyektor itu sendiri.
Meski begitu, menikmati gambarnya saja sudah cukup.
Gambar bergerak yang memancar dari proyektor itu menampilkan anak perempuan yang sedang menggandeng anak laki-laki yang kesulitan berjalan.
Dari kaki anak laki-laki itu mengalir darah. Tidak terlihat lagi tangis di wajah anak laki-laki itu yang sebelumnya menangis pijar. Ia terlihat lebih kuat setelah mendapatkan kekuatan dari anak perempuan itu.
Suara kembali terdengar. "Papa, maaf. Aku membuat adikku terluka."
Bahasa Inggris anak perempuan itu indah.
Pria bertubuh tinggi dengan kumis tipis yang menghiasi wajah tampannya itu tidak menyalahkan anak perempuan itu sama sekali.
Ia malah mengelus kepala anak itu dengan lembut sambil mengatakan, "Terima kasih sudah menenangkan adikmu."
Pria itu lalu mendudukkan anak laki-laki tadi dan melihat lukanya lebih dekat.
Ia sempat membersihkan luka anak laki-laki itu dengan sarung tangannya yang berwarna putih.
Entah sejak kapan pria itu memegang plester luka. Ia membuka pembungkusnya, lalu menempelkannya pada bekas luka anak laki-laki itu.
"Maaf, ya," ucap anak perempuan yang kembali menatap saudara kembarnya itu.
Anak laki-laki mengangguk meski senggukan kecil sempat terjadi beberapa kali.
Rini terbangun karena rasa sakit di kening sebelah kanannya yang baru saja terbentur kerangka tempat tidurnya yang terbuat dari besi.
Ia duduk di pinggir kasurnya dengan susah payah karena perutnya yang membesar semakin hari semakin berat.
Rambutnya yang halus itu ia gunakan untuk mengusap bagian keningnya yang terbentur tadi. Ia meringis menahan sakit di keningnya itu.
Begitu melihat jam dinding di kamarnya, ia berjalan terburu-buru ke kamar mandi.
Pantulan wajahnya di cermin membuatnya amat muak dengan wajahnya sendiri. Ia kesal dengan rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang tadinya mulus itu kini ditumbuhi jerawat di beberapa titik.
Produksi hormon androgen di dalam tubuhnya memang meningkat sangat parah beberapa minggu belakangan.
Ia memegang sebuah jerawat yang tampaknya baru saja muncul. Ia yakin sekali tadi malam kotoran menyebalkan itu belum hadir di sana. Kalau berhitung dengan cermat, itu adalah jerawatnya yang ke-12 sejauh ini. Entah apakah itu akan bertambah lagi atau tidak.
Setelah mandi dan mempersiapkan dirinya sendiri dengan pakaian rapi, Rini menuju ke ruangan Bu Hilda terlebih dahulu untuk meminta izin pergi.
Hari ini ia mendapat panggilan wawancara dari sebuah kantor berita kecil setelah sif kerja paruh waktunya berakhir. Beruntung kantor berita itu memanggilnya di jam yang tepat. Ia tak perlu meminta izin kepada manajer toko kue untuk mengubah sifnya.
Ia menatap dirinya sendiri di cermin yang menempel pada lemari di ruangan Bu Hilda.
"Besar banget, sih," ucapnya mengeluh.
Ia sudah menggunakan baju yang lebih longgar dari biasanya. Tapi tetap saja, perutnya itu tidak bisa ia tutupi lagi.
Semua perusahaan yang sebelumnya sempat memanggilnya wawancara juga langsung mencoret namanya begitu melihat perut besarnya itu. Kali ini ia berharap baju yang lebih longgar ini bisa menutupinya.
"Berangkat ke toko kue, Rin?" tanya Bu Hilda begitu memasuki ruangannya.
Rini terkesiap dan langsung berbalik badan.
"Iya, Bu."
"Tapi, kok, bajunya begitu?"
Rini kembali melihat ke pantulan dirinya sendiri di cermin.
"Oh, aku juga mau ada panggilan wawancara lagi, Bu. Makanya pakai baju ini."
Bu Hilda menatapnya dengan penuh kecemasan.
Setiap kali ditolak perusahaan meski ia sudah datang untuk wawancara, Rini selalu menangis di pangkuan Bu Hilda. Mungkin karena itu Bu Hilda merasa cemas padanya.
"Kali ini perusahaan apa?"
"Kantor berita kecil. Job desk-nya, sih, cuma editing artikel harian. Bukan jurnalis."
Bu Hilda mengangguk pelan menanggapi pernyataan Rini.
"Enggak usah cemas, Bu. Rini yakin dapet, kok, kali ini," kata Rini penuh rasa optimis.
"Terserah kamu, deh." Bu Hilda tampaknya sudah enggan mengomentari gadis itu lagi.
Rini segera berpamitan.
Seperti biasa, jam kerja paruh waktunya hanya hingga jam makan siang saja.
Sejak tahu kondisi kehamilannya, manajer toko kue itu memang hendak memberhentikan Rini dengan alasan kesehatan. Tapi Rini yang butuh uang tetap ingin bekerja.
Meski mulanya sangat berat karena ia terus merasa mual selama memanggang kue, ia mampu melewatinya dengan ketenangan.
Kini di usia kandungannya yang ke-17 minggu, ia sudah tidak merasakan mual lagi di pagi hari. Ia sudah bisa merasakan indra penciumannya seperti sedia kala.
Dengan semua kesibukannya mencari kerja, ia sudah melupakan pria yang menghamilinya. Pria itu nyatanya tidak ingat kalau mau melakukan tes DNA dengan janin yang ia kandung. Seharusnya ia muncul saat kandungannya memasuki minggu ke-12.
Lagipula tidak ada untungnya bagi Rini menunggu pria itu. Ia hanya menunggu keberuntungan mendatanginya agar ada sebuah perusahaan yang menerimanya bekerja penuh.
Namun keberuntungan itu tampaknya masih belum sampai padanya hari ini. Kantor berita yang ia datangi itu juga menolaknya begitu ia memasuki ruang wawancara.
Bahkan kalimat pertama dari direktur personalia kantor berita itu benar-benar langsung menanyai kondisi Rini tanpa basa-basi.
Ia tahu perut besarnya itu sudah tak bisa ditutupi lagi.
Meski usia kandungannya baru 17 minggu, karena ia mengandung bayi kembar, ukuran perutnya terlihat lebih besar daripada wanita yang mengandung satu bayi saja.
Rini menangis di halte bus yang paling dekat dari kantor berita itu. Tidak ada satupun orang di halte bus itu. Hanya ada dia yang duduk di kursi yang menghadap ke jalan.
Beberapa bus yang seharusnya ia naiki sudah lewat dua kali. Tapi ia masih berada di dalam halte bus menangis.
Ia sempat mengajak janin dalam kandungannya berbicara.
"Doakan ibumu ini agar sehat selalu, ya, Anak-anak. Ibu juga ingin bertemu dengan kalian."
Di tengah tangisnya itu, Rini dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang memakai masker menutupi hidung dan mulutnya serta kacamata hitam.
Wanita yang terlihat seperti pekerja kantoran itu sebenarnya tak mengeluarkan satu katapun. Tapi ia menjatuhkan dompetnya di hadapan Rini.
Dengan spontan Rini langsung mencoba memungut dompet itu. Perutnya yang membesar itu mempersulitnya.
Wanita itu mengangkat sebelah tangannya menyuruh Rini tak usah melakukannya. Sepertinya ia tahu kalau Rini kesulitan membantunya. Jadi ia mengambil dompetnya sendiri.
Rini memasuki bus yang datang berikutnya. Wanita itu juga melangkah memasuki bus yang sama dan duduk di kursi paling belakang. Sedangkan Rini duduk di kursi yang tak jauh dari pengemudi bus.
Sekilas Rini merasa pernah melihat wanita itu. Ia merasa tidak asing dengan cara berjalan wanita itu. Sayangnya wanita itu memakai masker dan kacamata hitam. Membuatnya tak bisa mengenalinya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...