Keengganan Rini berbicara yang terjadi saat ini setidaknya sudah lebih dari sepuluh menit sejak Adam menjalankan mobilnya keluar dari rumah sakit. Meski beberapa kali Adam sudah mengajaknya bicara, namun tetap saja Rini diam seribu bahasa. Rini masih kesal dengan sikap Adam beberapa saat yang lalu. Sikapnya yang seakan menyembunyikan Rini dari ayahnya itu bukan sikap yang bertanggung jawab dan cenderung kekanakan.
Adam adalah orang yang mengajaknya menikah. Atau dengan kata lain mengajaknya masuk ke dalam keluarganya. Bagi Rini, bertemu dengan calon mertuanya adalah sesuatu yang mendebarkan. Ia bahkan sempat membayangkan dengan bangganya memamerkan perutnya yang berisi calon anggota baru keluarga tersebut. Apakah Adam tidak berpikiran sama seperti Rini? Sebab itu, Rini sama sekali tidak ingin bicara dengan Adam sementara ini.
Menurut Rini, tidak hanya Adam saja yang bersikap kekanakan. Dr. Andreas yang mendukungnya melakukan itu juga tidak jauh berbeda. Rini adalah pasiennya. Buat apa dia menyembunyikan kebenaran soal pasiennya?
Mungkin karena Adam sudah merasa permasalahan ini serius, ia menghentikan mobilnya. Rini sendiri merasa ini perlu. Ia ingin pria itu mengatakan semuanya dan fokusnya hanya padanya.
"Rini, aku tahu. Menyembunyikanmu dari ayahku memang melukaimu. Tapi mengenalkanmu padanya di saat ini justru akan lebih melukaimu."
Rini akhirnya berucap. "Bagaimana bisa?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya. Kau tidak kenal ayahku." Mata Adam bertemu dengan mata Rini dengan pancaran kekhawatiran tergambar di sana. "Tidak. Kau tidak tahu keluargaku."
"Adam, karena aku tidak tahu, kau harus memberitahuku. Kenalkan aku dengan keluargamu. Tidak ada yang salah, kan?"
"Salah, Rini."
"Apa salahnya?" Rini menelengkan kepalanya, lalu berkata, "Apa keluargamu keluarga konservatif? Sehingga tidak akan menerima hadirnya bayi di luar nikah seperti yang sekarang terjadi di antara kita?"
Adam dengan cepat menggeleng. "Tidak. Bukan begitu," tegasnya.
Adam lalu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Keluarga Adam memang memiliki aturan dalam menikahkan anggota keluarga laki-laki. Tapi, bukan termasuk konservatif seperti yang Rini maksud. Selain itu, meski ABB Group baru dibangun oleh kakeknya, tapi sejak lama keluarganya itu memiliki aturan ini. Biasanya keluarga akan memilih siapa calon menantu mereka. Jika seorang laki-laki memiliki calonnya sendiri, hal itu harus mendapat persetujuan dari keluarga. Persetujuan ini yang berat. Karena keluarga juga akan menilai wanita pilihan laki-laki tersebut. Karena peraturan ini juga, ayah Adam tak dapat menikahi ibu kandung Adam, Debby, di masa mudanya. Keluarga menilai menikahkan anak laki-lakinya dengan orang asing adalah sesuatu yang buruk bagi masa depan keluarga. Berbeda dengan anggota keluarga perempuan yang bebas menikah dengan siapa saja. Beginilah sulitnya terlahir di antara keluarga konglomerat. Setidaknya peraturan ini sudah dipatuhi keluarganya secara turun temurun selama lebih dari sepuluh generasi.
Mungkin karena melihat Adam yang bergelut dengan pikirannya sendiri, Rini terlihat semakin kesal. Ia menyilangkan kedua tangannya di atas perutnya yang buncit.
Tidak mau membuat urusan ini semakin runyam, Adam menjelaskan intinya saja. "Keluargaku memiliki aturan yang rumit dalam pernikahan anggota keluarga laki-laki."
"Lalu?"
Sepertinya kalimat tadi tak cukup menjelaskan intinya. Adam bergumam cukup panjang sambil menggaruk keningnya yang ia kerutkan.
"Kau tidak sedang cari alasan, kan?" tanya Rini agak mendesak.
"Tidak, Rini. Tolong beri aku waktu untuk memikirkan cara untuk menjelaskannya."
Rini mengembuskan napasnya dengan berat. "Sebenarnya ada sesuatu yang terus kupikirkan sejak kau melamarku kemarin dan sempat ingin kukatakan padamu tapi aku tidak berani."
"Apa?" tanya Adam di tengah pikirannya yang berbelit. "Menolak ajakanku untuk menikah."
"Bukan itu." Rini menatap mata Adam lekat-lekat. "Aku hanya berpikir apakah aku ini orang yang layak untuk kau nikahi?"
Mungkin itu adalah inti dari sesuatu yang ingin Adam sampaikan juga. Secara pribadi, Rini adalah orang yang ingin Adam nikahi. Wanita itu tengah mengandung bayi kembarnya. Tapi, keluarganya tentu saja akan menolaknya. Di situ pertanyaan Rini terjawab. Dari sudut pandang keluarga Adam yang memegang teguh aturan pernikahan itu, Rini bukan orang yang layak untuk Adam nikahi. Rini bukan siapa-siapa. Apalagi kalau sampai keluarganya tahu latar belakang Rini yang tinggal di panti asuhan. Mana mungkin keluarganya akan setuju.
Secara diplomatis Adam memberi jawaban, "Rini, kau adalah ibu dari anak-anakku. Tentu kau wanita yang sangat aku inginkan menjadi istriku." Adam meraih sebelah tangan Rini lalu menggenggamnya erat. Ia melanjutkan, "Meski awalnya hubungan kita tidak dimulai dengan cinta, tapi bersama dengan tumbuhnya calon anak-anakku di rahimmu, perasaan cintaku padamu juga tumbuh."
Rini tampaknya berusaha untuk tidak berucap dulu. Ia seperti ingin mendengar semua perkataan Adam hingga tuntas. Di sisi lain, Adam masih kebingungan untuk menjelaskan soal peraturan keluarganya.
"Tentu aku punya kebanggaan mengenalkanmu pada keluargaku. Juga anak-anak yang sedang kau kandung. Tapi, aku butuh waktu untuk menjelaskan banyak hal pada keluargaku. Dr. Andreas sudah tahu semua ini karena ayahnya juga bekerja untuk keluargaku. Karena itu, dia membantuku menyembunyikanmu. Kalau sampai ayahku tahu tentang dirimu tanpa ada penjelasan apa-apa dariku, aku yakin dia akan melukaimu. Itulah keluargaku."
"Lalu, sampai kapan aku harus menunggu? Bukankah aku sudah menunggumu lebih dari sebulan agar kau yakin bahwa bayi dalam kandunganku ini adalah anak-anakmu?"
"Rini, untuk menjelaskan itu semua, harus ada kesempatan yang tepat. Aku tidak bisa sekonyong-konyong mengatakan kalau kau hamil anakku dan aku akan menikahimu. Sampai kesempatan itu hadir, aku mohon teruslah berada di sisiku dan percayalah padaku."
Rini kembali mengembuskan napasnya dengan berat lagi. "Adam, bukannya aku memaksamu untuk segera menikahiku. Dan bukan juga tidak mempercayaimu. Aku hanya ingin kau tidak menyembunyikanku dari keluargamu. Itu saja. Sama sepertimu, aku juga punya keinginan untuk menunjukkan calon buah hati kita, calon anggota baru keluarga ini. Aku ingin sekali mengenal keluargamu."
Adam menggaruk kepalanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Tapi untuk memperkenalkan Rini saat ini sama sekali bukan ide yang baik.
"Baiklah. Aku akan menjelaskan soal dirimu sedikit-sedikit pada ayahku besok. Aku tidak akan menyembunyikanmu."
Rini tidak mengatakan apa-apa lagi dan raut wajahnya tetap penuh kebingungan. Ia terlihat mengusap perutnya yang buncit sambil menatap kosong ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...