"Adam, kau sudah tidur?" tanya Rini hampir seperti bergumam.
Ia bertanya seperti itu setidaknya setelah lewat satu jam dari kalimat terakhir Adam. Adam sendiri masih belum tertidur sepenuhnya. Pikirannya masih kalut karena pertengkarannya dengan ayah dan ibu tirinya. Itu sebabnya ia tidak bisa tidur. Namun, ia bisa lebih tenang karena di dekapannya ada orang yang ia kasihi. Wanita tegar itu membantunya untuk bersikap lebih tenang.
"Belum," jawab Adam agak lama berselang.
"Aku tidak bisa tidur," katanya.
Adam melonggarkan dekapannya sehingga ia bisa melihat wajah Rini dalam keremangan di dalam tenda itu. "Apa ada sesuatu yang biasanya membantumu untuk tidur lebih mudah?"
Suara dekut burung hantu terdengar dari kejauhan. Mungkin dari atas ranting pohon di taman tak jauh dari rumah.
"Entahlah. Tapi, aku mau mendengarmu bercerita. Siapa tahu aku terlelap tanpa sadar."
Mendengar saran Rini, Adam langsung menyetujuinya. Ia memundurkan tubuhnya untuk memberi jarak, lalu mengambil kembali lampu kecil yang tadi ia singkirkan. Saat lampu menyala, terlihat jelas wajah Rini yang malang. Matanya terlihat kembali sembap seperti sore tadi. Sepertinya dia baru saja menangis di dalam dekapan Adam selama kurang lebih satu jam ini.
"Kau baik-baik saja?" tanya Adam dengan penuh kelembutan. Namun, wajahnya juga diliputi kekhawatiran setelah melihat raut wajah Rini.
Rini hanya menjawab dengan anggukan. Adam mencoba mencari cerita yang pantas untuk dibicarakan tengah malam begini. Meski ia sering sekali tidur bersama perempuan, tapi obrolan ringan di atas kasur di tengah malam seperti ini jarang sekali terjadi. Bahkan ketika malam itu tidur dengan Rini, tidak terjadi obrolan apa pun di tengah tidur lelap mereka setelah seks.
"Kau ingat sewaktu aku seperti menghilang dari hadapanmu selama sebulan lebih? Sebenarnya aku berada di Australia hampir selama itu." Adam membuka ceritanya. Rini menggeliat di lengannya mencoba mencari posisi ternyaman untuk mendengar cerita. "Aku sempat bertemu ibuku setelah sekian lama. Kami minum anggur segar dari tempat pengolahan miliknya langsung. Ibu juga membuatkanku kukis cokelat kesukaanku saat masih kecil."
Wajah Rini terlihat ceria mendengar soal kukis cokelat. "Kau suka kukis cokelat?"
"Waktu kecil, ya. Sebenarnya sekarang aku tak terlalu suka lagi. Tapi, karena Debby sudah membuatkan dengan susah payah, aku tetap menghabiskannya." Adam melihat ada sesuatu hingga di rambut Rini. Ia menghalaunya, lalu melanjutkan ceritanya. "Untuk pertama kalinya, aku cerita tentang dirimu kepada Debby. Dia turut bersuka cita mendengarnya. Padahal, saat itu aku masih ragu akan pengakuanmu. Kalau bisa kubilang, Debby-lah yang sepenuhnya meyakinkanku untuk dengan tulus menerimamu dan anak-anak kita ke dalam kehidupanku."
"Begitu, ya? Berarti, aku harus berterima kasih pada ibumu jika bertemu nanti."
"Ya, itu harus. Debby pasti akan menyukaimu. Tidak seperti orang tuaku di sini."
Adam langsung merasa bersalah karena mengungkit kembali masalah tadi siang yang tentunya membuat Rini masih bersedih. Jadi, dengan sedikit panik, Adam menambahkan, "Itu karena Debby lebih punya ikatan perasaan denganku. Dia memahamiku sepenuhnya."
Terlihat Rini tersenyum manis diterangi cahaya lampu kecil di antara wajah mereka berdua. Adam masih tidak mengerti apa senyuman itu ada artinya atau tidak. Karenanya, ia tak berani melanjutkan berkata lebih jauh.
Di tengah keheningan, Rini berseru, "Kau tahu mengapa aku bisa tahu lebih dulu jenis kelamin anak-anak kita?"
Adam menggeleng beberapa kali. Untuk menegaskan ketidaktahuannya itu, Adam menambahkan, "Tidak sama sekali."
"Sebenarnya, beberapa kali aku bermimpi melihat sepasang anak kembar yang menuntunku berjalan di sebuah taman yang luas. Si anak laki-laki selalu bergerak dengan lincah dan gagah berani. Sedangkan si anak perempuan memiliki hati yang besar dan selalu melindungi adiknya." Rini mengalihkan pandangannya ke langit-langit tenda. Terlihat ia mengelus perutnya beberapa kali, lalu melanjutkan, "Awalnya, dalam mimpiku hanya ada kami bertiga. Lalu, perlahan sosok pria masuk dalam mimpi itu. Lama-lama, sosok itu semakin jelas kuketahui sebagai dirimu. Aku selalu terharu melihatmu dalam mimpiku menjaga anak-anak ini."
Adam tersenyum lebar sambil mendengus. "Mimpimu aneh," komentarnya.
Dengan cepat Rini menoleh ke arah Adam dengan wajah sebal. "Tapi itu adalah kenyataan."
"Menurutku mimpi tetap lah mimpi."
"Tapi itu nyata. Setelah diperiksa, memang benar jenis kelamin mereka laki-laki dan perempuan, kan?"
"Ya, mungkin itu hanya kebetulan," ucap Adam setengah bercanda.
Namun, ada sesuatu yang membuatnya tersadar. Entah apa itu, tapi sepertinya satu hal yang jauh berada di dalam dirinya atau ingatannya. Suatu seperti suara genderang yang perlahan semakin terdengar. Tidak, itu adalah suara degup jantung. Ingatannya kembali ke beberapa hari yang lalu, saat ia terlelap di ruang tamu saat hendak menjemput Rini. Ia bermimpi sedang menengahi pertengkaran antara dua anak laki-laki. Ia tidak pernah melihat keduanya.
"Hei, apa mimpimu itu tidak salah?" tanya Adam setelah sekian lama. "Bukankah dua orang anak laki-laki?" tanyanya lebih lanjut.
Rini tersenyum manis menatap Adam. Ia terkesan meremehkan dengan senyumannya itu. "Apa maksudmu, sih?"
"Kalau kau pernah mimpi seperti itu, aku juga pernah mimpi menengahi perkelahian dua anak laki-laki. Bukan anak laki-laki dan perempuan."
"Aku tidak mengerti maksudmu. Tadi kaubilang mimpiku hanya kebetulan?"
"Tapi, karena kedengaran masuk akal, jadi bukan tidak mungkin mimpiku yang benar, kan?" Adam berusaha mengelak. "Mungkin anak-anak itu dua-duanya laki-laki?"
"Menurutku, mimpimu yang aneh. Kalau memang menengahi pertengkaran anak laki-laki, itu bisa jadi orang lain, kan? Apa kau tidak terpikir begitu?"
Adam menggaruk keningnya. "Sudahlah, cukup membahas mimpi."
"Baiklah," ujar Rini. Ia menguap cukup lebar setelahnya. "Besok kau berangkat jam berapa?"
"Oh, itu. Biasanya sekitar jam setengah sembilan."
"Berarti tidak perlu bangun terlalu pagi."
"Kau salah. Aku selalu bangun pagi untuk berolahraga."
"Begitu? Jam berapa? Aku harus bersiap untuk membuatkanmu sarapan."
Adam ingin menjawab, "Tidak perlu." Tapi, ia berpikir ulang. Tidak ada salahnya duduk menunggu sarapan jadi. "Mungkin jam tujuh. Tapi, aku lebih terbiasa sarapan setelah olahraga."
"Oke, bos," ucap Rini sambil menegakkan tangan kirinya di sekitar pelipisnya membentuk sikap hormat.
"Kau sendiri bagaimana? Tidak mau ikut olahraga? Kemarin kau bangun cukup siang."
"Oh," ucap Rini kebingungan. "Maaf, ya. Aku terbiasa bangun jam segitu. Tapi, mulai besok, aku akan membiasakan bangun lebih pagi." Rini terlihat serius dengan ucapannya. "Selain itu, sulit untukku berolahraga dalam keadaan seperti ini," tambahnya sambil mengelus perutnya.
"Baiklah. Tidak masalah untukku. Jangan terlalu memaksakan diri."
"Terima kasih," ucapnya dengan tersipu. "Lalu, kau baru akan pulang sorenya, kan?"
"Ya, mungkin sampai jam lima. Kau bebas melakukan apa saja di rumah selama aku tidak ada."
Rini menggeleng. "Aku akan bekerja di toko roti pada siang hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...