Sebenarnya Debby merasa berlebihan jika ulang tahunnya yang ke-68 dirayakan di halaman belakang. Namun, sepertinya cuaca sore hari itu mendukung. Meski mendung, tampaknya hujan tidak akan turun sampai tengah malam nanti. Ini adalah hari kelima Debby sejak kedatangan Debby di rumah. Karena itu, ia sudah merasa sangat dekat dengan Rini hingga terasa seperti anak perempuannya sendiri. Saat Rini merayunya mengadakan pesta ini, Debby akhirnya tak bisa lagi menolaknya. Rini turut mengundang ibunya untuk pesta ini, namun baru bisa datang setelah matahari terbenam.
Adam pulang lebih awal dari biasanya. Dengan sigap ia ikut membantu mempersiapkan meja dan memindahkan beberapa barang ke halaman belakang. Dari dapur, Debby terlihat bahagia sekali mempersiapkan masakan bersama Rini.
Bu Hilda datang tepat seperti yang ia janjikan. Ia datang sendiri dengan taksi sampai di depan rumah. Ini menjadi kesempatan pertamanya bertemu dengan Debby. Ia mengatakan, "Tak pernah kusangka akan berbesan dengan orang luar negeri."
Debby tertawa gelak menanggapinya. Ia berpaling bertanya pada Adam, "Oh, ya, kapan kalian mendaftarkan pernikahan?"
Adam menatap Rini sebelum menjawab. "Aku sudah mengambil cuti untuk besok. Kalau Rini bersedia cuti dari toko kue, kami akan mendaftarkan pernikahan besok."
"Adam, bukankah aku sudah bilang kalau aku sudah tidak bekerja di toko kue lagi? Jadi, kita bisa melakukannya besok."
"Memangnya sudah?"
Rini memang sudah mengatakannya pada Adam hari Senin minggu ini. Entah saat itu Adam sudah tertidur atau belum, tapi Adam sempat menanggapinya dengan gumaman yang Rini anggap Adam mendengarnya. Dua hari lalu, adalah hari terakhirnya bekerja di toko kue itu. Ia meminta maaf karena tidak bisa berhenti sampai akhir bulan, padahal hanya menyisakan dua hari. Tapi manajernya dengan baik hati menerima pengunduran dirinya.
Bagi Rini, ini adalah keputusan yang berat. Ia sudah bekerja lama di toko kue itu dan mengenal manajernya dengan baik. Apalagi, ia harus berhenti bekerja saat toko kekurangan pegawai dan ia tak bisa menyarankan seseorang untuk bekerja di situ. Sebaliknya, manajernya malah mendukung keputusannya dan mendoakan agar ia tetap sehat sampai persalinan dan melahirkan anak-anak yang sehat.
Sejatinya, ia sudah tak ingin lagi berdebat dengan Adam mengenai apa pun. Ia tidak mau Adam pergi lagi dari kehidupannya. Ketika Adam kembali lima hari yang lalu, Rini memeluknya seakan tak mau melepaskannya. Saat tidur, ia meminta agar Adam tetap berada di sampingnya dan terus mendekapnya. Bahkan saat Adam ingin berangkat kerja, Rini memeluk Adam cukup lama dan meminta Adam menciumnya beberapa kali. Ia mencoba melepaskan segala keegoisannya demi pria yang ia inginkan itu.
"Bagus lah kalau kau sudah berhenti." Perkataan Adam merenggut Rini kembali ke kenyataan. "Omong-omong, kau belajar memasak ini dari mana?" Adam menunjuk seekor ayam betut yang baru saja ia pindahkan dari dapur.
"Kak Amanda," jawabnya.
"Wah, ada untungnya aku meminta Amanda menemanimu di sini."
Cuaca malam itu benar-benar seperti yang diprediksi. Hujan sama sekali tidak turun, meski angin berembus lebih kencang. Hawa dingin malam ini mengingatkan Rini akan malam di vila. Memang tidak sedingin malam itu, tapi ia suka dengan hawa yang seperti ini. Di meja yang ditata di halaman belakang itu, hanya Debby dan Bu Hilda yang menikmati anggur. Sepertinya itu adalah anggur yang dibawa dari Australia. Adam sudah ditawari untuk ikut minum, namun menolak dengan alasan Rini tak bisa ikut minum.
"Minum saja, tidak usah sungkan padaku."
"Aku sungkan pada anak-anak kita," celetuk Adam dengan nada menggoda.
Rini dengan gemas mencubit perut Adam. Dua orang tua mereka tertawa gemas melihat kelakuan anak-anak mereka itu. Sejak kemarin, Rini sudah mulai berani bertindak seperti ini pada Adam karena menilai sudah tidak ada api kemarahan lagi dalam diri Adam. Ia bersikap seperti sebelum kemarahan besar itu terjadi. Beberapa kali juga Rini mencubit-cubit hidung Adam saat mereka berdekapan sebelum tidur.
Pesta malam itu berakhir setelah Bu Hilda tumbang terlelap di atas meja. Debby membantunya pindah ke ruang menonton yang untuk sementara dijadikan kamar tamu. "Kalian berbincanglah lebih banyak," ucap Debby yang membantu Bu Hilda berjalan meninggalkan halaman belakang.
"Jadi, besok kita mendaftarkan pernikahan?" tanya Rini.
"Ya. Apa kau tidak bisa?"
"Bukan begitu. Sebentar lagi hari ulang tahunmu. Menurutku, sebaiknya kita melakukannya tepat di hari itu. Bagaimana?"
"Aku malah tidak mau. Kalau begitu, di tahun-tahun mendatang kita akan merayakan dua hal di tanggal 4 Oktober."
Rini bergumam sebentar. "Begitu, ya."
Adam mulai memindahkan piring-piring kotor di meja ke tempat cuci piring di dapur. Ia langsung mencucinya satu persatu. Rini memandanginya dari dekat selama ia mencuci piring. Selama Adam tidak bersamanya, ia merasa kesepian karena harus makan dan mencuci piring sendiri di malam hari. Sesuatu yang kini bisa ia syukuri setelah merasa sesal saat jauh dengannya.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Adam yang berhenti mencuci piring.
"Aku hanya suka saja melihatmu."
Adam menyengir. Ia lalu melanjutkan mencuci piring.
"Maaf, ya, waktu itu membuatmu marah."
"Rini, kau sudah mengatakan itu puluhan kali. Tolong, jangan membuatku berhutang kata maaf padamu lebih dari ini."
Rini menggeleng. "Kau tidak salah."
"Oh, kau suka ya aku tinggal?"
"Bukan begitu. Tapi, saat kamu enggak di sini, aku baru merasa kalau aku butuh kamu."
Adam tergelak. Sepertinya itu piring terakhir yang harus ia cuci. Setelah mencuci tangannya, ia melepaskan sarung tangan dan celemeknya. Ia lalu menghampiri Rini dan memepetnya ke wastafel cuci piring. Di sana mereka berciuman dengan hangat.
Sejak malam pulangnya Adam, Rini mempelajari hal baru saat berciuman. Hal itu adalah permainan lidah. Setelah lima hari, permainannya itu sudah lebih baik. Lidah mereka saling beradu dengan mantap dan tak ada yang ingin saling melepaskan. Dengan sedikit isapan pada lidah Rini, Adam membuat Rini hilang pikiran hingga tanpa sengaja mendesah. Suara berdeham menghentikan permainan mereka di dapur. Itu Debby yang sedang mengambil air.
"Maaf, mengganggu," ucapnya seperti tanpa dosa.
Karena merasa malu, Rini langsung berjalan ke kamar meninggalkan Adam yang masih di dapur. Ia mengambil handuk dan baju ganti, lalu bergegas ke kamar mandi. Merendam dirinya di air hangat dalam bak mandi. Namun, pikirannya melayang ke momen beberapa menit yang lalu di dapur. Saat ia memejamkan matanya, ia tanpa sadar berciuman dengan udara yang ia kira sedang berciuman dengan Adam. Parahnya, ia melakukan itu dengan penuh nafsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...