Lambaian tangan seorang wanita tua terlihat dengan jelas di matanya. Wanita itu cukup tinggi hingga ia tidak perlu mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk melambai meski tempat itu ramai orang. Dari lambaiannya saja, pria itu sudah bisa yakin wanita tua yang melambai itu adalah orang yang menunggunya.
"Debby, kau kah itu?" ucap pria itu menyapanya dengan pelafalan bahasa Inggris aksen Inggrisnya.
Wanita itu mengangguk ketika ia berjalan semakin mendekat.
Keduanya berpelukan melepas kangen. Sudah 15 tahun lamanya mereka tidak bertemu. Bandara Adelaide ini menjadi tempat keduanya terakhir bertemu.
Tidak salah jika wanita tua itu meneteskan air mata sembari memeluk pria yang menjadi lebih tinggi darinya itu.
Di penghujung musim dingin seperti ini, Bandara Adelaide tidak biasanya ramai dengan pengunjung. Alasannya tentu saja karena akan berlangsungnya pertandingan kriket di Adelaide Oval.
"Wah. Bocah laki-laki kecilku telah tumbuh menjadi pria Inggris dewasa," ucapnya dengan aksen Australia.
Terakhir bertemu dengannya, pria itu memang masih berusia 12 tahun. Karena semakin sibuk dengan sekolahnya hingga sekarang bekerja, ia jadi lebih sulit untuk datang ke Adelaide. Dahulu, setiap libur musim panas, ia pasti meluangkan waktu untuk ke Adelaide.
Sebenarnya ia beberapa kali mengunjungi Australia dalam beberapa tahun belakangan. Tapi karena urusan pekerjaan yang hanya berputar-putar di Sydney dan Melbourne, ia tak sempat mengunjungi Adelaide yang ia cintai karena merupakan kota kelahirannya. Namun pada kesempatannya kali ini, ia akhirnya bisa berkunjung.
Melihat wajah wanita tua itu, ia tampak agak sedikit bersedih. Beberapa garis keriput sudah mulai tampak di wajah yang dulunya menawan itu. Setidaknya ingatannya merekam seperti itu.
Usia wanita itu memang sudah mendekati 70 tahun. Tapi, ia masih terlihat sehat. Bahkan warna pirang di rambutnya masih lebih banyak daripada ubannya.
"Maaf, penerbanganku dari Sydney sedikit terkendala."
Tanpa pria itu menjelaskan, Debby sudah tahu. Ia melihat di papan pengumuman bahwa penerbangan pria itu dari Sydney ke Adelaide tertunda. Meski bukan karena cuaca, ia sempat khawatir akan keselamatan pria itu. Khawatir belum bisa bertemu kembali.
"Adam, aku rindu sekali padamu."
Setelah mengatakan itu, Debby kembali memeluk pria itu sekali lagi.
Debby memimpinnya menuju ke tempat ia memarkir mobilnya. Adam yang membawa koper besar dan sebuah ransel berjalan santai mengikuti wanita itu.
"Kau belum membuang sedan tua ini?" tanya Adam dengan nada ledekannya. Sedan itu setidaknya sudah ada sejak dia masih kecil.
"Jangan meremehkan sedan tua yang bisa berjalan ratusan mil ini." Debby memang berbicara dengan nada candaan juga. Tapi ia merasa seperti salah bicara. "Maaf, aku menggunakan kata mil. Aku dengar orang Inggris belakangan ini lebih menggunakan mil daripada meter."
Adam tertawa mendengarnya. "Aku lebih suka menyebut kata 'meter'."
Debby membawa sedan tua itu dengan berhati-hati. Usianya yang sudah tidak muda lagi membuatnya jauh lebih pelan ketika mengemudi. Tadinya Adam sudah menawarkan diri untuk menyetir. Tapi tentu saja wanita itu menolaknya.
Mereka tiba di sebuah restoran sederhana di dekat pusat kota Adelaide. Adam mengatakan kalau ingin makan di suatu tempat yang spesial di kota Adelaide. Karena itu Debby membawanya ke restoran itu.
Sebenarnya makanan itu tidak bisa masuk dalam kategori spesial. Makanannya tidak jauh berbeda dari makan siang biasa di Australia yang selama sebulan lebih ini selalu melewati lidah Adam.
Tidak ada kesan artistik juga yang muncul di restoran itu. Dengan kata lain, Adam menilai itu adalah restoran biasa.
Debby tampak tak mau mengungkap alasannya mengapa ia bilang restoran itu spesial.
"Deborah Breton?"
Suara pria tua terdengar dari dalam restoran saat Adam dan Debby baru saja meninggalkan restoran dan sedang berjalan menuju sedan tua Debby.
Keduanya lantas berbalik badan. Debby tampak terkejut dan sempat memekik. Ia menyebut nama panggilan akrabnya pada pria tua itu, lalu memeluknya di luar restoran.
"Kau ada di kota? Menonton kriket?" Pertanyaan beruntun di ajukan pria tua itu.
"Oh, tidak. Aku baru saja menjemput putraku di bandara."
"Oh, kau bocah Inggris itu? Kau tampak sudah dewasa," kata pria tua itu dengan aksen Inggris yang payah.
"Hai." Adam memembalas sapaannya.
Adam berusaha mencari-cari sosok pria tua itu di dalam ingatannya. Dia tahu wajah itu saat muda. Tapi lupa siapa namanya. Panggilan akrab Debby untuk pria itu tidak membantu ingatan Adam.
Melihat Adam yang tampak tidak mengingatnya, pria itu menyebutkan namanya sambil menyalami tangan Adam.
Setelah berbasa-basi cukup lama, pria itu berkata kalau ia harus segera kembali ke dalam. Jadi ia juga mempersilakan Debby dan Adam melanjutkan perjalanannya.
Debby tinggal di daerah suburban yang agak jauh dari pusat kota Adelaide. Jika dengan cara menyetir Debby, perjalanan dari restoran tadi sampai rumahnya akan menghabiskan waktu satu jam lebih. Karena itu, kali ini Debby membiarkan putranya itu menyetir.
Meski sudah lama tidak berkunjung ke sana, Adam masih ingat jalur mana saja yang harus ia tempuh. Ia merasakan nostalgia saat mobil yang ia kemudikan melewati waduk Millbrook. Ia sempat berhenti untuk mengambil foto di pinggir waduk.
Sekitar lima menit kemudian Adam sudah memarkirkan sedan tua itu di halaman sebuah rumah semi permanen.
Perkebunan anggur mengelilingi rumah itu.
Sebenarnya rumah itu hanyalah rumah singgah Debby saja. Rumahnya masih sedikit lebih ke utara lagi. Tapi karena tujuan Adam adalah perkebunan anggur, jadi Debby membawanya ke sana.
"Sudah lama sekali aku tidak melihat rumah rapuh ini." Adam masih saja meledek Debby.
"Terakhir kau ke sini, saat kau baru lulus SD, ya?"
Adam hanya mengangguk.
Mereka berdua memasuki rumah semi permanen itu.
Meski hanya sebuah rumah singgah, rumah itu tidak terlihat seperti rumah yang terbengkalai. Perabotan yang tertata rapih dan bersih itu menjadi buktinya. Lantainya juga terlihat bersih.
Adam terlihat lelah karena perjalanan pesawatnya dari Sydney. Karena itu Debby menyuruhnya untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...