Bagian 39

177 13 0
                                    

Sejak sampai di rumah hampir satu jam yang lalu, Rini mencoba untuk menjauhkan dirinya dari Adam dan sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata dengan pria itu. Ia duduk berpindah-pindah. Sekarang sedang menatap halaman belakang rumah dengan rumput hijau lembut menghampar cukup luas. Adam yang terus berusaha mengajaknya berbicara kembali, beberapa kali mendekatinya. Seperti saat tadi Rini menonton televisi di ruang tamu. Tidak begitu lama, Rini meninggalkannya. Sekarang ia sedang melirik ke arah Adam yang menyibukkan dirinya di dapur entah sedang berbuat apa.

"Apa sebaiknya aku meninggalkannya saja, ya?" tanya Rini pada dirinya sendiri.

Ia masih menilai Adam bukan orang yang berani bertanggung jawab karena sikapnya tadi. Pria itu terus mendengungkan janji-janjinya, tidak tentu bisa ditepatinya atau tidak. Tapi, Rini khawatir tidak bisa mengurus dirinya dan juga anak-anaknya jika meninggalkan Adam. Ia benar-benar harus memikirkan segalanya dengan saksama.

Saat Rini mencoba kembali melirik ke arah dapur, sosok Adam sudah tidak ada di sana. Karena rasa penasarannya pada apa yang tadi pria itu lakukan, ia beranjak ke dapur. Sepertinya ia tidak sedang memasak tadi. Mungkin hanya mencuci piring atau memotong buah. Entahlah.

Rini berjalan keluar dari dapur menuju ke ruang tamu. Ia terkejut karena di sana Adam sedang duduk dengan bahu yang tegang menghadapi sepasang suami-istri agak berumur. Dalam benaknya, Rini langsung menebak kalau mereka adalah orang tua Adam.

Begitu si suami yang Rini perkirakan umurnya lebih dari 60 tahun itu menatap ke arahnya dengan raut wajah datar, Rini sedikit terperanjat. Pria tua itu membuat dua orang lain di ruang tamu menghadapkan pandangannya ke arah Rini. Ekspresi si istri mungkin tidak jauh berbeda dengan suaminya. Tapi, Adam bereaksi cukup kebingungan. Seperti ia baru saja membawa pulang anak anjing tetangganya tanpa izin dan sekarang sedang berhadapan dengan tetangganya itu ketika anak anjing itu tiba-tiba muncul.

Adam menggaruk belakang kepalanya dengan kasar sambil mengembuskan napasnya dengan berat. Namun, ia berseru dengan lembut, "Kemarilah!"

Rini menuruti permintaan pria itu dan duduk tepat di sebelahnya. Debar jantungnya hampir sama cepatnya dengan saat-saat seperti ketika ia menghadapi ujian atau wawancara kerja yang beberapa kali ia lalui. Ia berusaha duduk setegak mungkin agar memberikan kesan baik. Tanpa ia pikirkan sebelumnya, perutnya menjadi lebih terlihat maju seakan ia memang ingin memamerkannya. Dengan cepat, perutnya itu menyita perhatian pasangan suami-istri di hadapannya.

"Siapa dia?" ucap pria tua itu setelah mengalihkan pandangannya dari perut Rini.

"Sebelumnya, aku minta maaf karena aku terlambat memberi tahu kalian." Adam memperbaiki posisi duduknya sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. "Ini Rini. Seseorang yang akan aku nikahi. Dan seperti yang Ayah dan Ibu lihat, dia sedang mengandung anakku."

Wajah datar kedua orang tua Adam itu berubah seketika.

Si ibu perlahan memajukan tubuhnya ingin melihat lebih dekat. Wanita itu seperti sedang memindai Rini dari ujung kepala hingga bagian yang bisa terlihat tanpa terhalang meja di hadapannya.

Sedangkan si ayah tetap menatap Adam dengan wajah terkejut itu. Setelah beberapa detik, pria itu berkata untuk memastikan, "Apa katamu barusan?"

"Aku meminta restu Ayah dan Ibu untuk segera menikahinya. Dalam beberapa bulan ke depan, anak kami akan lahir dan menjadi anggota baru keluarga kita."

"Beberapa bulan kaubilang?" tanya si ibu dengan emosi yang mulai naik.

Tidak lama setelah wanita itu berkata begitu, pria di sebelahnya menggebrak meja dengan telapak tangannya yang lebar. Rini tersentak mundur ke belakang hingga duduknya tidak tegak lagi, tapi berbeda dengan Adam yang tetap bergeming. "Kau ini apa-apaan, Adam? Aku bahkan tidak pernah melihatnya sekalipun. Tapi kau meminta izin untuk menikah dengannya. Kau ini anak dari keluarga mana, sih?"

"Karena itu, tadi aku mengucapkan permintaan maafku di awal. Aku memang tidak pernah memperkenalkannya pada kalian karena kami juga jarang bertemu." Adam lalu beralih menatap ibunya. "Ya. Mungkin sekitar empat bulan lagi."

Rini merasakan ada yang janggal dari cara bicara Adam dengan ibunya. Tapi, Rini kemudian membiarkannya karena berpikir mungkin Adam memang tidak dekat dengan sosok ibunya.

"Apa kau tidak salah? Perutnya sudah sebesar itu," ucap wanita itu.

"Kami menanti bayi kembar," tukas Adam.

"Baiklah," ucap si ayah dengan nada berat. Ia melanjutkan setelah mengalihkan pandangannya pada Rini, "Tadi kau bilang kalian jarang bertemu. Bisa aku tahu kenapa begitu?"

"Ah, itu karena aku baru lulus kuliah," ucap Rini segera karena itu kata-kata yang terpikir olehnya. Selain itu, Rini juga sudah ingin sekali menjawab beberapa pertanyaan dari tadi. Hanya saja, Adam selalu mendahuluinya.

Adam sepertinya tidak suka dengan jawaban Rini. Ia tampak sedang menatap Rini kecewa karena menjawab pertanyaan itu.

"Begitu rupanya," ujar pria itu. "Kau dari keluarga mana kalau aku boleh tahu? Lalu, sudah berapa lama kau mengenal putraku?"

"Ayah, itu tidak penting sekarang. Lagi pula...."

Rini menyambar dengan berkata, "Aku berasal dari Panti Asuhan Harapan. Aku menganggap mereka adalah keluargaku. Aku bertemu Adam pertama kali sekitar lima bulan yang lalu, sama seperti usia kandunganku sekarang."

Ia merasa lega setelah memperkenalkan dirinya dengan baik. Namun, lagi-lagi Adam tampak tak suka ia menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tuanya.

Kelegaan Rini itu perlahan sirna mendengar si ibu berkata agak lirih, "Panti asuhan?" Meski lirih, terselip perasaan marah ketika wanita itu mengatakannya.

Tidak lama berselang, si ayah berkata lebih lanjut seperti menambahi kata-kata si ibu, "Lima bulan yang lalu? Sama seperti usia kandungan? Kesimpulanku adalah, kau ini hanya menjalani cinta satu malam dengan putraku dan dengan tidak sengaja hamil karena itu. Begitu?"

Rini bingung ingin menjawab apa. Begitu juga Adam yang tampak tidak bisa berkata-kata menimpali.

"Oh, tidak, tidak." Si ibu mengangkat tangannya setinggi bahunya dengan telapak terbuka. Ia melanjutkan, "Karena kau bilang kau tinggal di panti asuhan, aku bisa menyimpulkan kau bukan perempuan baik-baik. Maksudku, anak yang tinggal di panti asuhan itu biasanya anak yang dibuang orang tuanya karena aib keluarga. Jadi, meskipun kau melakukan seks dengan Adam, kurasa anak itu bukan anak Adam. Kau hanya meminta pengakuan saja dari Adam karena kebetulan kau tahu kau telah tidur dengan pria kaya raya. Apa perkataanku masuk akal?"

Rini merasa hatinya tersayat-sayat. Apalagi karena Adam diam saja tak membelanya. Di saat itu, Rini bisa paham bahwa ia tidak diharapkan berada di situ. Mungkin ini alasannya Adam menyembunyikannya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang