Tatapan kosong Adam menerawang jauh melewati gedung-gedung di luar jendela kamarnya. Tapi di balik tatapan itu, pikirannya sedang memutar balik semua kejadian yang terjadi dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini.
Ia mengingat kembali makan malam bersama orang tuanya yang ia tinggalkan di tengah acara. Makan malam yang cukup sering mereka lakukan itu kacau karena sang ayah tiba-tiba membahas perihal wanita.
Ayahnya itu ingin Adam segera memiliki wanita yang mendampinginya di usia yang sudah mendekati 30 tahun. Apalagi ayahnya itu sudah cukup tua untuk memimpin kerajaan bisnisnya. Ia perlu adanya penerus, yaitu Adam.
Menurut peraturan perusahaan keluarganya, seorang pewaris harus sudah menikah sebelum ia dapat memimpin perusahaan. Atas dasar itulah Basuki Haryoseno, ayah Adam, ingin anaknya itu segera menikah.
Adam menolak mentah-mentah usulan ayahnya itu dengan alasan ia masih ingin menikmati hidupnya sendiri. Pandangannya soal menikah berbeda dengan orang tuanya. Mereka memang berbeda generasi.
Karena ingin menghindari konflik yang lebih besar lagi, ia memilih pergi dari jamuan makan malam itu. Tanpa membawa mobilnya yang tetap terparkir di hotel, ia pergi dengan taksi.
Setelah berputar-putar tidak jelas di pinggiran ibu kota, ia meminta sopir taksinya untuk berhenti di sebuah bar yang benar-benar berbatasan dengan kota sebelah. Bar itu tidak terlalu besar. Tapi memiliki tampilan luar yang bisa disetarakan dengan bar klasik di pusat ibukota.
Ia paling suka duduk di kursi yang menghadap langsung ke pelayan bar. Jadi, pelayan bar bisa langsung membuatkan pesanannya saat ia meminta.
"Maaf, Tuan. Kami tidak menyajikan koktail juga," ucap si pelayan.
"Wiski?"
Jika kali ini juga tidak ada, Adam ingin keluar dan pindah ke bar lain. Ia kecewa bar ini tidak menyediakan highball dan koktail.
"Pesananmu segera datang."
Pria gemuk memakai jas yang duduk di sebelahnya beringsut dari tempat duduknya dan langsung melenggang keluar bar. Membuat Adam menyadari ada seorang gadis melamun cukup dalam menatap gelas birnya.
Gadis yang memakai kaus berkerah berwarna biru dengan saku di dada kirinya itu tampak menenggak birnya perlahan. Dari penilaiannya, gadis itu tidak tampak seperti seorang pekerja kantoran atau lain semacamnya. Mungkin ia seorang pelajar.
Adam beranjak dari tempat duduknya untuk kemudian pindah ke tempat duduk yang tadi ditempati pria gemuk. Kursi itu masih terasa hangat saat Adam menempelkan bokongnya di situ.
"Kau tahu? Itu gelas ketiganya," ujar si pelayan tadi sambil menuangkan wiski ke sebuah gelas kecil dan menyerahkan kepada Adam.
Orang yang dimaksud si pelayan adalah gadis berkaus biru itu.
Gadis itu tersenyum kepada pelayan tadi.
Adam kembali menatapnya dari samping. "Kau peminum yang kuat."
Mendengar suara Adam yang berat membuat gadis itu menoleh dan kini mereka saling bertatapan.
Gadis itu banyak menceritakan tentang dirinya. Ia bercerita bahwa ia lelah sekali seharian ini berkeliling ibukota untuk mencari lowongan pekerjaan.
Tebakannya benar. Dia adalah mahasiswa.
Meski matanya terlihat tajam dan penuh keseriusan, Adam melihat gadis itu juga penuh kerapuhan. Mungkin masalah yang lebih besar pernah atau sedang merundung gadis itu. Entahlah. Adam juga enggan menanyakannya.
Karena Adam menawarkan wiski yang sama dengannya, gadis itu tidak menolak. Apalagi Adam berkata bahwa dia yang akan membayar tagihan untuk wiski itu. Sejatinya Adam hanya ingin melihat sejauh mana gadis itu toleran terhadap minuman keras.
Rona merah jelas terlihat hampir di seluruh wajah manis gadis itu. Kulitnya memang tidak putih. Tapi kulit khas wanita Asia itu sama sekali tidak ditumbuhi jerawat. Seperti orang yang melakukan perawatan kulit.
Entah karena gadis itu sudah benar-benar mabuk atau bagaimana, ia setuju ketika Adam menawarkannya untuk berpindah tempat. Tempat yang Adam maksud tentunya sebuah hotel.
Pria itu cukup selektif dalam memilih hotel. Jadi ia memilih hotel di tengah kota. Perjalanan dari bar di painggir kota itu ke hotel mewah di tengah kota memakan waktu lebih dari setengah jam.
Di dalam sebuah kamar hotel mewah itu, Adam dan gadis itu melanjutkan acara minum mereka dengan sebotol anggur merah produksi lokal yang Adam pesan dari resepsionis hotel.
Gadis itu sepertinya baru pertama kali mencicipi anggur merah. Ia sedikit menjerit keenakan setelah anggur itu melewati kerongkongannya.
Setengah botol anggur merah itu ampuh membuat percikan api di antara keduanya. Dari masing-masing ujung jari mereka, percikan api itu mulai menjadi kobaran api besar. Pelukan dan kecupan di mana-mana sudah tak terhindarkan.
Kobaran api dengan mudahnya merembet ke seluk beluk tubuh kedua insan itu. Bara api nafsu itu melahap semua kesadaran mereka saat keduanya sudah tak berpakaian sama sekali.
Embusan angin gairah menambah besar bara api itu terus membesar di antara keduanya. Desahan yang tak mampu tertahan lagi keluar dari mulut keduanya.
Bagi Adam, wanita itu sangat bergairah. Sepertinya bukan hanya karena ia di bawah pengaruh alkohol dari anggur merah yang ia minum. Tapi ini adalah sisi tak nampak dari gadis yang tampak lugu itu. Kali ini ia menampakkannya dengan penuh nafsu.
Sang malam mulai terkantuk saat keduanya menyelesaikan semuanya. Membuat mereka tertidur di antara abu nafsu mereka sendiri.
Adam tersenyum masam mengingat malam itu sambil menyeruput susu hangatnya.
Ia terbiasa meminum susu hangat setiap pagi. Setelah menengok jam tangannya, Adam langsung mencuci gelasnya lalu berangkat ke tempat kerja.
Hingga detik ini, Adam belum menerima seutuhnya kalau kejadian malam itu berujung kehamilan.
Adam tiba di kantor lebih awal hingga membuat pegawai di kantor terkejut. Meski hanya 15 menit lebih awal, tapi semua tampak berbeda.
Ia tidak melihat Amanda berada di mejanya. Ia baru tahu kalau Amanda biasanya sampai 10 menit sebelum pukul sembilan. Itu karena sekertarisnya itu menyesuaikan kedatangannya dengan kedatangan Adam.
Setelah mendengarnya, ia langsung masuk ke ruangannya.
Berselang beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan kemeja longgarnya yang bermotif garis-garis biru dengan panik memasuki ruangannya. Saat itu, jam dinding di ruangan menunjukkan pukul 8.48.
"Mencari saya, Pak?" tanya wanita itu.
Kalimatnya lugas meski wajahnya terlihat panik. Ia bahkan masih menyelempangkan tasnya di pundak dan tangannya masih memegang beberapa dokumen.
"Maaf. Aku hanya datang lebih awal saja tadi. Jadi kaget tidak melihatmu di mejamu."
Amanda membuang napasnya lega. Ia pamit keluar setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...