Bagian 2

772 40 0
                                    

Adam mengaitkan kancing kemeja putihnya itu perlahan. Bibirnya menyungging ke salah satu sudut. Membuat kesan seksi di wajahnya yang maskulin. Satu hal yang menarik pelatuk otot-otot wajahnya hingga menggerakkan bibir itu hanya ke salah satu sudut adalah ingatannya soal tadi malam.

Rasa pengar di kepalanya masih terasa. Bau alkohol juga masih tercium pekat dari mulutnya. Tetapi ia sama sekali tidak lupa satu detik pun dari kejadian tadi malam. Ini adalah kelebihan pria itu. Ingatannya sangat kuat. Meski sedang mabuk, ia mampu mengingat apapun yang terjadi selama ia belum terlelap.

Ada sesuatu yang mengganggunya hingga ia menggaruk sisi kanan kepalanyanya dengan rambut terpotong rapi. "Apa dia sudah menyebutkan namanya?" Ia menyerukan itu di dalam lamunannya sembari menggaruk tadi.

Meskipun ingatannya tidak bisa diragukan, ia agak tidak percaya kalau gadis itu tidak menyebutkan namanya semalam. Padahal mereka berdua telah menghabiskan satu malam dengan penuh nafsu dan gairah.

Dari sekian banyak perempuan yang melakukan hubungan cinta satu malam dengannya, gadis itu tampak berbeda. Gadis itu banyak bicara sepanjang malam. Tetapi mengapa ia tak menyebutkan namanya? Apakah gadis itu terlalu mabuk?

Ia juga masih tidak percaya kalau gadis itu meninggalkannya di hotel tanpa ingin menghabiskan pagi sedikit saja dengannya. Benar-benar gadis yang membuatnya penasaran.

Adam hanya mengetahui beberapa hal mengenai gadis itu. Gadis itu sempat berkata kalau ia baru menyelesaikan skripsinya dan menunggu jadwal sidang di kampus untuk akhirnya dinyatakan lulus. Ia juga mengetahui dari gadis itu kalau gadis itu menerima beasiswa penuh dari pemerintah selama berkuliah. Itu artinya dia gadis yang pintar.

Pria itu menyeruput kopi yang ia seduh sendiri sambil berdiri. Setelah meletakkan cangkir kopinya itu, ia memakai dasinya yang berwarna biru. Dalam pikirannya ia bertanya, "Apakah kalau aku mendatangi bar itu setiap malam, aku dapat bertemunya lagi?"

Sekejap ia menyingkirkan pilihan itu dari daftar pilihan teratas untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Alasannya sederhana. Bar itu bar murahan. Orang yang datang ke sana mungkin mahasiswa atau orang-orang kelas menengah. Bar itu bahkan tidak menyajikan highball dan koktail yang menjadi pesanan kesukaannya kala mampir ke sebuah bar.

Dering telepon putih di pojok meja membuyarkan semua pertanyaan-pertanyaan yang menggelembung di otaknya. Telepon itu adalah telepon milik hotel.

"Pak Adam, taksi pesanan Anda sudah menunggu di depan lobi." Terdengar suara lembut seorang pelayan hotel perempuan di ujung sambungan telepon.

"Baiklah, saya segera turun."

Karena terus terbayang percakapannya dengan gadis tadi malam, ia tidak sadar sudah duduk di kursi belakang taksi. Pertanyaan si sopir taksi itu yang menyadarkannya. "Ke mana, Pak?"

Setelah menyebutkan tempat tujuannya, sopir taksi itu langsung tancap gas mengendarai taksinya. Karena sudah melewati jam-jam kemacetan ibukota, perjalanan itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Bahkan saking singkatnya, sopir taksi sampai tak banyak mengajak Adam berbicara.

Ia langsung memasuki salah satu gedung pencakar langit di tengah ibukota yang menjadi tempatnya bekerja itu.

Ia datang lebih jauh lambat dari pegawai kantor lainnya. Tapi sebagai seorang anak dari komisaris utama perusahaan, ia diberi kebebasan datang kapanpun. Lebih tepatnya tidak akan ada yang protes jam berapa saja ia datang.

Orang-orang yang bekerja dengannya sudah tahu kalau dia baru akan menginjakkan kakinya di kantor setiap jam sembilan pagi. Bahkan lewat dari itu. Jadi tak ada yang akan mengatur jadwal pertemuan dengannya sebelum jam segitu.

Meski begitu, jika sudah berhubungan dengan pekerjaan, Adam adalah orang yang profesional dan cekatan dalam melakukan apa saja. Apalagi ia adalah orang yang kelak akan mewarisi perusahaan ini dari ayahnya.

Begitu sampai di ruangannya, ia langsung duduk bersandar di kursinya dan pandangannya mengarah ke langit-langit ruangan yang berwarna putih. Bayangan wajah gadis itu sekilas menghampiri pandangannya itu.

Matanya yang tajam menggambarkan sosok serius dari gadis itu. Tampaknya mata itu terbentuk dari keseharian gadis itu yang mudah sekali ditebak. Benar. Keseharian si pekerja keras.

Sosok si rajin juga jelas sekali tergambar di wajah gadis itu. Adam bisa menyumpulkan, gadis itu adalah tipe orang yang jarang memasuki bar. Pilihan tepat tak mendatangi bar itu lagi hanya untuk mencarinya.

Jika kembali memanggil ingatannya soal tampilan gadis itu, Adam bisa menebak kalau ia bukan dari kalangan orang kaya. Patut saja dia mendatangi bar murahan.

Bayangan gadis itu menghilang dari pandangannya ketika seorang wanita dengan kemeja rapi dan rok sepan memasuki ruangan. Wanita itu adalah sekertarisnya, Amanda. Wanita itu memiliki kecantikan wajah khas daerah asalnya. Badannya langsing, kulitnya kuning langsat, dan rambut hitam panjangnya menjuntai dengan indah.

Kedatangannya ke ruangan Adam adalah untuk menanyai kesiapan atasannya itu untuk rapat siang ini. Tentu saja Adam siap. Seharusnya ia tak usah memastikannya seperti itu. Tapi Amanda memang biasa melakukan itu padanya.

Dari dalam hatinya, Adam mengagumi Amanda sebagai seorang wanita. Jika saja ia belum menikah, Adam mungkin akan menggodanya dan bermain api dengannya. Lagipula umur mereka hanya berbeda empat tahun saja.

Adam mengerling nakal saat sekertarisnya itu izin keluar dari ruangannya. Mungkin karena ia sering melakukan itu, Amanda tak menganggapnya sebagai pelecehan. Entahlah. Adam tidak pernah ingin tahu bagaimana pandangan sekertarisnya itu padanya.

Pikirannya kembali pada gadis semalam begitu Amanda meninggalkan ruangan itu. Ia belum pernah seperti ini pada seorang yang ia temui sekali saja.

Dari sekian banyak wanita yang tidur bersamanya selama satu malam, mungkin gadis itu termasuk salah satu yang membuatnya ingin bertemu lagi. Bukan hanya itu. Adam memiliki suatu perasaan tak wajar dalam dirinya akan gadis itu.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang