Bagian 48

221 3 0
                                    

Tawa geli dr. Andreas membahana mengisi seluruh ruangan kerjanya yang lumayan besar. Perutnya yang dipenuhi lemak naik-turun sesuai irama tawanya itu. Baru saja ia mendengar cerita Adam yang memang patut untuk ditertawakan.

Adam baru saja mengakhiri kalimatnya setelah bercerita panjang soal malam hari di vila keluarganya itu. Beberapa menit yang lalu Adam bercerita saat Rini harus kembali ke kamar mandi karena tubuhnya sudah kembali lengket. Ia bahkan butuh waktu lebih dari setengah jam di kamar mandi, begitu keluar ia dibalut piyama lain yang juga berbahan sutra. Bibirnya cemberut ketika itu. Selanjutnya Adam bergantian memasuki kamar mandi untuk mengakhiri nafsunya dengan tangannya sendiri.

Begitu selesai membilas tubuhnya dan keluar dari kamar mandi, Adam sudah mendapati Rini tertidur. Ingin sekali ia mengecup ujung kepala Rini seperti malam-malam sebelumnya di rumah. Tapi, ia terlalu canggung untuk melakukannya dan tidak ingin mengganggu tidurnya yang tampak sudah begitu lelap.

Bahkan hingga mereka sampai di rumah pada Minggu siang, kecanggungan itu masih belum berakhir. Semalam mereka tidak tidur sambil berpelukan seperti sebelum-sebelumnya. Adam bahkan tidak mengecupnya dan mengucapkan selamat istirahat.

Karena merasa perlu untuk mencairkan kecanggungan itu, Adam merasa perlu melakukan sesuatu saat pagi tiba. Seperti biasa, setelah berolahraga pagi, Adam sudah mendapati Rini selesai memasak sarapan. Ini kebiasaan yang baru terbentuk selama dua minggu ke belakang. Namun, tetap saja ia masih canggung dengan wanita itu. Tetapi, begitu Rini mengantarnya sampai keluar rumah, Rini tersenyum manis padanya. Ia juga mengucapkan, "Hati-hati di jalan," dengan tutur yang lembut seperti biasanya.

Sebagai balasannya, Adam kembali mendekati Rini. Ia lalu mendekapnya dan mencium bibirnya. Karena perbedaan tinggi mereka, Adam harus sedikit menunduk. "Semoga harimu menyenangkan," ucap Adam sebelum beranjak ke mobilnya.

"Tapi, itu hal yang wajar, Adam," ucap dr. Andreas begitu tawanya mereda. "Usia kandungan Rini sudah dua puluh minggu. Itu adalah usia di mana bayi mulai aktif bergerak di dalam kandungan. Jadi wajar jika terasa gerakan di perutnya."

"Itu bukan pertanda yang buruk, kan, Dok?"

"Justru sebaliknya. Itu tanda bayi kalian sehat."

Adam mengangguk. "Berarti mereka tidak terganggu jika aku melakukan itu dengannya, kan?"

"Ah, mungkin aku belum pernah bilang sebelumnya. Jika kalian ingin melakukan hubungan seks, usia kandungannya saat ini sudah aman untuk itu. Selama kalian tidak melakukan seks yang berat, itu tidak akan mengganggu kandungan."

"Begitu, ya?" Adam menggaruk-garuk dagunya.

"Menarik juga mendengar ceritamu. Maaf, ya, kalau aku tertawa berlebihan."

"Tidak apa-apa." Adam masih menggaruk-garuk dagunya. "Dok, seks yang berat itu batasannya sampai mana?"

Dr. Andreas kembali tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak sedang berhadapan dengan remaja yang baru puber, kan? Kau ini bukankah sudah sering bermain perempuan, ya?"

"Tapi itu bukan berarti aku tahu sampai mana batasan amannya."

Dr. Andreas mengertukan dahinya. "Kalau soal itu, lebih baik tanya ahlinya. Itu bukan bidangku. Tapi, aku bisa menjamin kalau usia kandungan Rini sudah aman untuk melakukan seks. Sebagai dokter yang menanganinya, aku memberikan izin untuk itu."

"Aku tidak yakin jika harus berkonsultasi dengan dokter lain. Setidaknya beri tahu aku batasannya saja. Tidak usah sampai hal-hal yang rinci. Ini pengalaman pertamaku bercinta dengan wanita hamil."

"Benar juga. Ya, asal kau tidak terlalu liar hingga menekan perutnya terlalu berat. Lakukan saja seperti biasa kau melakukannya."

"Apa itu berarti, lebih baik Rini berada di posisi atas?"

"Ya, ampun, Adam. Pikirkanlah sendiri." Dr. Andreas tampak kesal walaupun ia tertawa. "Juga jangan terlalu sering. Kau memang membutuhkannya agar hubungan kalian semakin dekat, tapi sewajarnya saja."

Adam mengerutkan dahinya sambil kedua tangannya bersedekap. "Tidak terlalu menjawab. Tapi, terima kasih atas saran-saranmu."

"Baiklah," ucap dr. Andreas sambil berdiri. Keduanya keluar dari ruangan beriringan.

"Sampai jumpa di pemeriksaan kandungan selanjutnya," ucap dr. Andreas pada Adam. Adam hanya membalas lambaian tangan saja.

Begitu sampai di mobil, Adam tidak langsung membawanya pulang ke rumah. Saat itu, matahari sudah terbenam, tapi masih tampak sisa-sisa cahaya jingganya di balik gedung-gedung pencakar langit yang megah.

Pikiran tentang malam dua hari yang lalu kembali menghampiri otaknya. Semua desahan dan lenguhan Rini kembali bergema di telinganya. Ia masih bisa merasakan sakit di kepalanya karena Rini menjambaknya dengan kasar atau saat pahanya menjepit-jepit kepala Adam seperti kepiting liar mencapit mangsanya. Desahan lembut Rini yang beberapa kali menyebut namanya, tidak pernah terlupakan. Itu menjadi suara yang paling ia suka dua hari ini. Fokusnya di kantor tadi siang bahkan selalu terganggu saat suara itu terpanggil kembali. "Adam," begitulah suara itu dengan lenguhan yang tidak teratur memanggil namanya.

Jika Rini berada di hadapannya sekarang, ia ingin sekali mencium bibirnya, lalu turun ke dadanya yang berisi. Mulai menjilati lagi ujung putingnya. Setelah itu, terdengar lah lenguhan itu mengikuti jilatan dan isapan Adam.

"Gawat," pikir Adam yang perlahan terhempas dari lamunannya sendiri. Saat itu, ia sudah merasakan celananya menyempit karena penisnya mulai berdiri.

Adam membawa mobilnya langsung ke rumah. Ia berharap dengan cepat bisa mengatasi kecanggungan antara dirinya dan Rini. Sudah lima bulan lamanya ia tidak beruhubungan seks dengan siapa pun. Rini menjadi wanita terakhir yang melakukannya dengannya. Sebelumnya, ia sangat rutin melakukan itu, seminggu bisa sampai empat kali ia tidur dengan wanita yang berbeda. Sudah selama ini ia menahan nafsunya itu.

Sebelum sampai rumah, Adam singgah sebentar di McDonald. Ia membeli dua Big Mac untuk Rini dan satu Cheese Burger untuk dirinya sendiri. Terpikir beberapa topik yang akan ia bicarakan saat menyantap kue itu berdua dengan Rini.

Namun, semua ekspektasinya bubar setelah melihat mobil ayahnya terparkir di depan rumahnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang