Bagian 11

464 30 0
                                    

Jarum jam terlihat lebih lama berjalan di tengah rapat yang membosankan ini. Menunggu memang menjadi satu hal yang menyebalkan bagi Adam. Terlebih kali ini ia sedang menunggu ayahnya yang memintanya datang ke ruangannya.

Saat Adam tiba di ruangan ayahnya hampir dua puluh menit yang lalu, ayahnya itu masih belum berada di sana.

Ia terkejut saat pria tua dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya itu datang bersama seorang yang ia kenal.

"Dr. Andreas?" tanyanya dengan heran.

Ayahnya tidak pernah mengatakan ia akan datang dengan dokter bertubuh gemuk itu. Memangnya ada keperluan apa dia sampai mengundak dr. Andreas ke ruangannya?

"Kau datang lebih awal?" tanya ayahnya.

Dalam hati Adam hanya dapat mengumpat. Sebenarnya ayahnya itu yang datang lebih lambat. Ia datang tepat pada waktu yang diminta.

"Duduklah, Dok," ucap ayah Adam.

Dr. Andreas langsung duduk berseberangan dengan Adam. Berbeda dengan Adam, dr. Andreas sepertinya tahu mengapa ia dipanggil ke ruangan itu.

"Maaf memanggilmu di jam sibuk seperti ini," ucap ayah Adam pada dr. Andreas. Ia duduk di sofa tunggal lalu menghadap ke arah Adam. "Kau juga tampaknya sedang sibuk."

Ya, Adam memang sibuk. Tidak ada waktu luang untuk bertemu dengan ayahnya hari ini. Apalagi untuk menghabiskan waktu di jalan hanya untuk ke kantor pusat ABB Group.

"Aku tidak sengaja melihatmu ada di Rumah Sakit dr. Sudyatmo sore hari di mana kau mengacaukan makan siangku. Aku memang ada pekerjaan saat itu."

Sepertinya ayahnya itu sedang membicarakan hari di mana ia melakukan pemeriksaan kesuburan beberapa hari yang lalu. Jadi ayahnya itu merasa makan siangnya kacau karena dia? Adam sendiri merasa sebaliknya. Ia bahkan menjadi tak bernafsu lagi untuk makan setelahnya.

Ayah Adam membenarkan posisi duduknya. Ia lalu melanjutkan, "Jadi aku bertanya pada dr. Andreas ada keperluan apa kau menemuinya."

"Maaf, Adam. Aku tak seharusnya membocorkan rahasia pasien," ujar dr. Andreas dengan raut wajah penuh penyesalan.

Adam bertanya dalam dirinya sendiri. Apakah dr. Andreas sudah memberitahukan semuanya?

"Apa itu alasanmu tidak mau menjalin hubungan serius dengan wanita?" tanya ayahnya.

Adam tidak pernah menyatakan dengan gamblang seperti itu. Hanya saja ia sedang menikmati masa-masanya sendiri. Di sisi lain, ia juga muak ayahnya itu selalu menjodohkannya dengan anak dari rekan-rekan bisnisnya.

Adam beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu ruangan itu. "Aku lelah. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan setelah ini."

Setelah mengatakan itu, Adam langsung keluar ruangan.

Lebih tepatnya ia tak mau membahas itu lebih jauh dengan orang tuanya. Cukup ia saja yang merasa sakit dengan kenyataan itu.

Adam sudah berada di kantornya sesaat kemudian.

Amanda yang berdiri dari balik mejanya menyambutnya. Wanita itu berkata gadis yang ia tunggu sudah berada di ruangannya.

Adam memang sedang menunggu seorang gadis yang ia kenal di bar malam itu sebelum ayahnya memanggilnya. Seorang gadis yang membuat Adam penasaran karena ia tak memberitahu namanya.

Ia menyunggingkan bibirnya. Ia sudah bisa membayangkan wajah serius gadis itu tanpa melihatnya.

Meski ia langsung menyetujui pertemuan ini, ia sendiri tidak tahu ada keperluan apa gadis itu datang. Sepertinya gadis itu terpikat dengan Adam atau sebagainya. Adam hanya memikirkan hal-hal yang tak mungkin terjadi. Padahal ia hanya ingin tahu namanya saja.

Adam mengubah raut wajah kesalnya sebelum memasuki ruangan. Ia tak mau gadis itu salah paham terhadapnya.

"Rini?" ucapnya begitu memasuki ruangannya.

Ia mendapati gadis itu berdiri dari sofa begitu mendengar suara Adam yang berat.

Gadis itu mengenakan pakaian terusan hingga lutut berwarna biru polos. Rambut hitamnya tersisir rapi dan terurai ke belakang. Ia tampak membawa tas berwarna cokelat anehnya itu seperti saat pertama kali bertemu di bar.

"Duduklah," kata Adam yang berjalan ke arah gadis itu.

Gadis itu memegangi tali pengikat tas kecilnya dengan kedua tangannya karena gugup. Adam memberikan senyuman untuk mencairkan suasana.

Saat Adam duduk di sofa tunggal dekat gadis itu, tampak raut wajah gadis itu berubah. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan sedangkan tangannya yang lain memegang perutnya. Wajahnya sekilas memucat.

"Kau baik-baik saja?" tanya Adam dengan bahasa Inggrisnya yang fasih.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Adam beranjak dari duduknya dan mendekati gadis itu.

Jaraknya dengan gadis itu kini hanya sekitar 20 cm.

Gadis itu bertambah pucat.

Adam yang khawatir kembali bertanya pada gadis itu, "Kau baik-baik saja?"

Masih tidak ada jawaban dari gadis itu. Tampak kehampaan di mata gadis itu. Tatapannya berbeda sekali dengan yang ia lihat pada malam itu. Tidak mungkin ia adalah gadis yang berbeda.

Untuk memastikan keadaannya, Adam sekali lagi bertanya, "Kau baik-baik saja?"

"Maaf. Bisa kau mundur sedikit?" Nada suaranya seperti sedikit ia paksakan.

Adam spontan menurutinya. Ia menjauhkan tubuhnya dari gadis itu.

"Bajumu ...." Ia menutup lagi mulutnya seperti seseorang yang sedang menahan muntah. Ia lalu melanjutkan dengan agak susah payah, "Bau."

Adam mengendus badannya sendiri. Ia memakai setelan jas yang baru ia cuci di penatu. Selain itu, ia juga menyemprotkan parfumnya kembali saat memasuki kantor tadi.

"Kau yakin? Ini parfum yang sama dengan yang kupakai malam itu."

Sepertinya gadis itu tersentak karena mendengar dua kata terakhir dari kalimat Adam. Ia langsung menoleh ke arah Adam.

"Rini, kamu sedang sakit hari ini?" tanya Adam dengan lembut.

Ia berlutut di hadapan gadis itu. Matanya penuh kekhawatiran akan gadis itu. Tapi tentu saja gadis itu masih menutup mulutnya. Gadis itu benar-benar sedang sakit.

Meski begitu, gadis itu menyangkalnya dengan menggelengkan kepalanya tiga kali.

Ia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa benda. Benda-benda itu memiliki bentuk berbeda-beda, namun fungsinya sama.

Ia meletakkannya di meja.

Adam mengamati benda itu dari dekat.

Tiga buah tes kehamilan.

Pria itu mengambil salah satunya untuk bisa melihatnya lebih dekat lagi.

"Ini apa?" tanya Adam ragu-ragu.

"Aku hamil."

Perkataan singkat gadis itu membuat Adam terkejut.

"Hamil? Denganku?" tanyanya agak ragu.

Ia mengangguk tegas sebanyak dua kali.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang