Masih dengan mata sembab karena semalaman menangis, Rini bangun dengan ogah-ogahan di sofa ruang tamu. Semalaman ia berharap Adam kembali dan memeluknya erat memaafkan dirinya. Tapi, pria itu tidak datang sampai kini. Ia berusaha merapikan rambutnya yang berantakan. Ia mengingat mimpi yang membangunkannya sebelum fajar menjelang. Mimpi buruk yang tidak ia inginkan sama sekali.
Di mimpinya, ia meratapi kedua anak kembarnya tinggal di panti asuhan, layaknya dirinya.
Sejak mendengar cerita ibunya di vila, Rini terus menyalahkan nasib kehidupannya. Nasib di mana ayah kandungnya meninggal saat ia masih di dalam kandungan, hingga menyebabkan kesulitan untuknya dan ibunya. Dan kini nasib buruk itu tampaknya juga sedang melirik ke arah dua buah hatinya yang belum lahir. Meski dalam artian Adam akan tetap hidup, hanya saja tidak bisa bersama sebagai satu keluarga.
Jauh di dalam hatinya, ia tidak yakin jika Adam akan membiayai anak-anaknya kelak apabila ceritanya jadi seperti ini. Bisa saja Adam menikah dengan wanita lain dan memiliki anak. Dengan begitu, ia lupa akan anak-anak yang Rini kandung saat ini. Berawal dari situ, mimpi buruknya tercipta. Masih bagus, ia bisa melanjutkan tidurnya setelah terbangun sebelum matahari terbit.
Rini menggapai ponselnya di meja. Ia menelepon manajer toko kue untuk mengabarkan kalau ia sedang tidak sehat untuk bekerja hari ini. Manajer itu dengan baik hati memberinya cuti tanpa bertanya lebih jauh. Perutnya keroncongan begitu sambungan telepon diputus. Dua bayinya di dalam sedang meronta minta makanan yang tak kunjung datang sejak malam.
Dengan susah payah, ia berusaha bangkit dan menuju ke dapur. Ia ingat sempat menyimpan sebungkus makanan siap saji yang Adam bawa saat pulang kemarin. Pria itu memang tidak mengatakan apa-apa soal makanan itu. Tapi, dia pasti membawakannya untuk Rini sebelum ia marah besar. Rini tahu, pria itu tidak akan marah jika ia memakan semua burger itu sendirian. Bagaimanapun, pria itu masih mengakui anak-anak dalam kandungan Rini.
Herannya, burger itu terasa lezat sekali. Ia hanya memanaskannya selama lima menit di oven listrik di dapur. Tapi, ini seperti burger yang baru selesai disajikan dari balik kasir McDonald. Rini menghabiskan tiga buah burger dengan cepat dan meminum CocaCola hampir dalam satu tegukan. Semua rasa lapar dan dahaganya yang terakumulasi selama semalam hilang.
"Apa Adam masih mau menerima maafku?" tanyanya pada udara di sekitarnya.
Ia mengelus perutnya. Meski tidak terasa sehebat di vila malam itu, ia merasakan gerakan di dalam perutnya. Ia mencari-cari titik gerakan itu dengan meraba-raba kulit perutnya. Saat menemukannya, ia terharu karena merasakan lagi gerakan itu menembus kulit perut hingga terasa di tangannya. Ia mulai menangis tersedu-sedu.
"Bantu Ibu berbaikan dengan ayah kalian, ya," ujarnya pada dalam kandungannya.
Waktu berjalan begitu lama, walau Rini mencoba menghibur diri di depan televisi besar di ruang menonton. Ia bahkan tidak mengerti film yang ia saksikan saat ini. Di pikirannya hanya Adam saja. Kalau bisa terlelap, lebih baik ia terlelap. Setidaknya ia akan hanyut dalam mimpi. Meski itu mimpi buruk sekalipun. Daripada ia menunggu waktu yang berjalan lambat.
Film kedua sudah ia putar ketika suara bel berbunyi. Rasanya seperti ia sudah melewati beberapa hari larut dalam lamunannya meski televisi di depannya menyala.
Rini berjalan menuju pintu dan segera membukakannya untuk tamu.
Seorang wanita yang ia ingat sebagai sekertaris Adam. Wanita itu berpakaian rapi dengan jas kantorannya. Ia mengangkat sebungkus plastik belanjaan dan meminta izin untuk masuk.
"Kau tentunya masih ingat aku, kan?" tanya wanita itu.
Rini agak gugup menjawab, "Sekertaris Adam, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...