Bagian 25

351 19 0
                                    

Sesuai dengan permintaan Rini, Adam membawa Rini ke sebuah pusat perbelanjaan. Ia bilang ingin melihat beberapa perlengkapan bayi. Rini sempat mengeluh karena Adam membawanya ke pusat perbelanjaan besar di tengah kota.

"Adam, biar kuperjelas. Aku tidak sanggup membeli perlengkapan bayi dari toko-toko di sini. Tolong bawa aku ke pusat perbelanjaan yang lebih kecil saja, ya."

"Aku tidak akan membiarkanmu membeli perlengkapan bayi sendiri."

"Apa maksudmu?" tanya Rini sambil menghentikan langkahnya.

Adam menatapnya lurus. "Aku yang akan membelikannya."

Ia melihat mata gadis itu mengalihkan pandangan dari matanya. Rini juga mengulum bibirnya ke dalam seperti tak sanggup berkata-kata.

Toko pertama yang mereka masuki adalah toko perabotan. Adam menjelaskan masih butuh beberapa perabotan di rumah barunya. Karena ia akan tinggal bersama Rini, jadi ia membiarkan Rini memilih.

"Maaf, Adam. Tapi kenapa kau menganggap seakan aku sudah setuju untuk tinggal bersamamu?" tanya Rini dengan mata yang disipitkan.

"Kalau boleh memaksa, aku mau memaksamu tinggal bersamaku. Kau tidak bisa tinggal di panti asuhan lagi, Rini. Kau mau tinggal di mana?"

"Tapi bukan berarti aku setuju untuk tinggal bersamamu."

Adam tak ingin menimpalinya karena seorang gadis pegawai toko menghampiri keduanya dengan wajah kebingungan. Lagipula tak ada gunanya berdebat dengan Rini. Cepat atau lambat dia pasti mau tinggal bersama Adam.

Dengan agak enggan, Rini memilih satu set sofa besar dan meja televisi. Adam langsung menyetujuinya dan meminta pembayaran. Tampak wajah heran Rini setelah Adam menyelesaikan pembayaran.

"Aku hanya asal tunjuk saja. Kenapa kau benar-benar membelinya?" kata Rini.

Tadi memang Adam sudah menduga kalau Rini hanya asal tunjuk.

"Lagipula aku suka."

Rini melipat tangannya di antara perutnya dan dadanya. Ia tampak kesal.

Tujuan mereka selanjutnya tentu saja toko perlengkapan bayi. Rini tampak lebih bersemangat dari sebelumnya. Ia langsung menyentuh beberapa pakaian bayi yang terpajang di dekat pintu masuk toko itu.

"Memangnya kau sudah tahu jenis kelamin anak-anak kita?" tanya Adam sedikit membisik.

Rini langsung menatapnya. Tapi ia tampak menyesal karena wajahnya jadi dekat sekali dengan Adam saat ia menoleh.

Dengan gelagapan ia menjawab, "A-Aku tahu."

"Apa?"

"Laki-laki dan perempuan."

"Kapan kau periksa? Dr. Andreas tak pernah bilang. Atau kau periksa di tempat lain?"

"Aku tidak pernah periksa kandungan," ucap Rini santai sambil terus memilih baju-baju imut di depan matanya.

"Apa?" tanya Adam dengan nada agak tinggi.

"Memangnya salah?" kata Rini bertanya balik.

"Kau harus memeriksakan kandungan setidaknya empat minggu sekali." Adam mencoba menatapnya tapi gadis itu tak menatap balik. "Jadi, selama dua bulan ini ...."

Rini menyelak, "Ya, aku tidak periksa ke dokter manapun."

"Kenapa?"

Dengan raut muak tergambar di wajahnya yang menggemuk, gadis itu menatap Adam. Ia menjawab, "Aku tidak punya uang untuk itu."

Perasaan menyesal langsung menghampiri Adam. Setidaknya ia harus meninggalkan uang untuk gadis itu sebelum pergi ke Australia.

Tatapan gadis itu kembali ke deretan baju-baju bayi yang dipajang berdasarkan warnanya. Raut wajahnya kembali senang hanya dengan melihat deretan baju-baju itu saja.

"Anak pertama, ya, Bun?" tanya seorang pegawai toko itu.

Pegawai laki-laki yang agak lemah gemulai itu datang entah dari mana. Dalam sekejap ia sudah berada di dekat Adam dan Rini. Mungkin juga pegawai itu mendengar pertikaian kecil tadi di antara keduanya.

Rini tersenyum pada pegawai itu. "Lebih tepatnya anak pertama dan kedua."

Pegawai itu menutup mulutnya dengan gerakannya yang seperti banci. Matanya terbelalak lebar menatap perut membuncit Rini.

Dengan sigap Adam menutup perut Rini dengan tangannya yang besar dan menarik Rini menjauh sedikit dari laki-laki itu. Ia tidak mau sifat lembek laki-laki itu menular pada anak-anaknya.

"Adam," kata Rini pelan.

Mungkin ia terkejut karena Adam menarik tangannya menjauhi pegawai itu.

"Oh, tampaknya Pak Suami siaga, ya." Pegawai lemah gemulai itu menatap ke arah deretan baju dan mulai memilihkan. "Kembar laki-laki atau perempuan, Bun?" tanyanya.

"Sepertinya dua-duanya."

Lagi-lagi dengan gerakan yang sama ia menutup mulutnya. Pegawai itu lalu memilihkan beberapa baju yang cocok untuk bayi kembar. Rini menyukainya. Baju dengan motif beruang itu memiliki warna biru dan merah muda. Cocok sekali untuk bayi kembarnya.

"Aku tidak suka," ujar Adam ketus.

Rini langsung menatapnya penuh kesal. "Kenapa?"

"Selaramu jelek, ya?" tanya Adam lebih kepada pegawai lemah gemulai tadi.

"Tapi ini lucu, Adam."

"Belum tentu juga anak kita laki-laki dan perempuan, kan?" kata Adam dengan mata mengkilap. "Kita beli setelah periksa saja."

Rini tampaknya kecewa dengan perkataan Adam. Tapi ia tetap mengikuti Adam keluar dari toko itu. Setelah agak jauh dari toko itu, akhirnya Rini berhasil menghentikan Adam yang terus berjalan tanpa menatapnya.

"Aku masih tidak mengerti denganmu."

Adam menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Baiklah, kita cari di toko lain."

"Apa?" kata Rini.

"Kau mau membeli baju bayi, kan? Di toko lain ada, kok."

Rini menggaruk kepalanya dengan agak kasar.

"Entahlah. Aku kehilangan minat untuk itu," ucap Rini dengan nada kecewa.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang