Bagian 9

437 24 0
                                    

Bulatan-bulatan peluh itu kini mengalir deras dari dahinya yang tidak terlalu lebar hingga membasahi sebagian besar wajahnya yang agak bulat. Satu tetes peluh itu tadi sempat mengalir ke matanya. Beruntung bulu mata lentik nan indah itu berhasil membendungnya. Spontan sebelah tangannya menyeka dahinya itu.

Rini memegang alat tes kehamilan yang keempat dengan hasil dua garis merah.

Tiga alat tes kehamilan lainnya yang juga menunjukkan hasil sama sekarang sudah bersemayam di tempat sampah.

Keringat dingin terasa terus keluar di sekujur tubuhnya.

Bela yang juga bersamanya turut menampilkan raut wajah panik yang tidak jauh berbeda dengannya.

Poni indah di dahinya yang basah keringat itu ia angkat dengan telapak tangannya yang juga banjir keringat. Semakin terlihat mata putus asanya. Meski mata itu mengarah ke alat tes kehamilan, tapi tatapannya hampa.

Sudah lebih dari satu jam sejak ia melakukan tes kehamilan dengan alat yang mereka dapat dari toserba. Ia hanya terduduk di pinggiran kasur bersama Bela.

Tatapannya masih hampa. Tapi pikirannya kini kembali ke malam itu. Malam di mana ia mabuk dan terbangun di sebuah hotel bersama seorang laki-laki yang ia temui di bar.

Setelah malam itu dia tidak pernah melakukan hubungan seperti itu lagi dengan siapapun. Bahkan sebelumnya juga sudah lama sekali ia tidak melakukannya. Banyak kegiatan yang sudah menyibukkan kehidupannya sehari-hari. Tidak ada celah untuknya melakukan itu.

Tadinya ia berpikir telat datang bulan karena sedang stres parah. Menjelang sidang skripsinya banyak sekali hal-hal yang ia pikirkan. Mulai dari persiapan sidang itu sendiri hingga seminar dan lokakarya dari beberapa perusahaan yang silih berganti.

Bela mulai memberikan pijitan di punggung Rini agar ia bisa sedikit rileks. Baju yang ia kenakan itu sudah lepek sekali saat Bela menyentuhnya.

"Terus sekarang gimana, Kak?" tanya Bela.

Jelas Rini tidak akan bisa menjawabnya. Tapi tampaknya Bela hanya terpikirkan pertanyaan itu untuk memecah keheningan ini.

Benar saja, ia tak bisa menjawab pertanyaan Bela dan tatapannya masih hampa.

Bela mengubah pertanyaannya. "Sama siapa?"

Kali ini ia mampu menatap Bela dan tatapannya tidak sehampa tadi.

Ia mulai menangis tersedu-sedu dan memeluk Bela dengan erat. Kelakuan sembrononya itu ternyata berakibat fatal untuk masa depannya.

Tadinya ia sudah memiliki rencana untuk mengikuti seleksi dari beberapa perusahaan besar setelah mengikuti seminar-seminar dari perusahaan itu. Bahkan ia sudah mengikuti wawancara dari satu perusahaan besar beberapa minggu yang lalu. Jika perusahan itu tahu kondisinya saat ini, pasti mereka akan mencoret nama Rini meski hasil tesnya baik.

Bela kini membawakan laptopnya dan mulai membuka peramban internetnya. Ia bilang mau menjawab pertanyaan Bela sebelumnya.

Ia menyebutkan nama Bank ABB, salah satu bank terbesar di negara ini. Ia meminta untuk membuka laman kepegawaian bank itu. Selanjutnya ia meminta Bela untuk mencari Bagian Penjualan.

Ia ingat sekali di malam itu, pria itu menyebutkan namanya, tempat kerjanya, hingga jabatannya. Semua ingatan itu berhasil ia kumpulkan selama melamun tadi.

Begitu laman kepegawaian Bagian Penjualan terbuka, data yang muncul paling atas adalah Kepala Bagian Penjualan. Rini langsung menunjuk layar laptop.

Ia yakin itu adalah pria yang tidur dengannya. Wajah dan namanya sama persis.

"Kak Rini yakin ini orangnya?" tanya Bela meragukan.

Ia hanya mengangguk pelan.

Raut wajah Bela sedikit berubah dan terlihat meragukan kakak sepengasuhannya itu.

"Kakak enggak tahu dia siapa?"

Sambil mengangkat kedua bahunya, Rini menjawab singkat, "Enggak."

Bela membuka jendela baru di peramban internetnya. Ia mengetikkan nama Adam Haryoseno di mesin pencari.

Foto-foto pria itu dengan berbagai pose muncul paling atas. Rini yakin sekali kalau itu adalah pria yang bersamanya malam itu. Sudah tak bisa terbantahkan lagi.

Lebih ke bawah lagi ada profilnya dari sebuah situs yang merangkum profil orang-orang terkemuka. Bela membuka situs itu.

Bela membacakan informasi utamanya dengan keras hingga Rini bisa mendengar.

"Anak dari Basuki Haryoseno." Bela bertatapan dengan Rini yang masih tak mendapat poin yang ingin ia sampaikan. "Kakak tahu, kan, Basuki Haryoseno ini siapa?"

Rini menggeleng dengan polosnya. Ia memang banyak tahu untuk pelajaran yang diajarkan secara formal. Mustahil ia tidak tahu orang yang cukup berpengaruh di negeri ini.

Sebenarnya Rini hanya lambat mengingatnya saja.

Ketika Bela membuka tautan dari Basuki Haryoseno dan menunjukkan foto pria tua itu, ia teringat satu materi perkuliahannya soal manajemen. Dosennya pernah menyinggung soal pria itu.

"Komisaris ABB Group bukan, sih?" tanya Rini mengawang.

"Benar," tukas Bela.

Rini mengetuk-ngetuk dahinya beberapa kali dengan kepalan tangan kanannya.

Setelah merunut semuanya, ia mendapat kesimpulan bahwa kini ia sedang mengandung calon anak dari salah satu keluarga konglomerat terkemuka di negeri ini.

Sebuah pertanyaan mencuat di salah satu sudut kepalanya. Untuk apa seorang dari kalangan elit mengunjungi bar murahan itu? Sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan soal malam itu.

Rini hanya perlu menyampaikan pada pria itu kalau ia hamil. Ia tahu kalau ini semua adalah kesalahan. Makanya ia berniat untuk menebus semuanya dengan mengajak pria itu bertanggung jawab bersama.

Rini mengirimkan surel ke alamat email yang terdapat di laman kepegawaian situs Bank ABB tadi. Ia hanya mengajaknya bertemu saja sehingga ia bisa membicarakan hal itu berdua.

Setelah berhasil mengirimkan surel singkat pada pria itu, Rini merebahkan badannya di kasur Bela yang begitu empuk. Tanpa sadar ia terlelap.

Rangkaian gambar bergerak tentang piknik di sebuah taman itu kembali mencuat dari proyektor usang. Terlihat seorang wanita hanya duduk sendirian saja memperhatikan sepasang anak kembar yang tengah berlarian ditemani pria berbadan tinggi. Tubuh pria itu entah kenapa terlihat atletis untuk ukuran seorang ayah dua anak.

Mimpi itu usai ketika Rini terbangun dari tidurnya. Bela menggoyangkan bahunya berkali-kali hingga ia terbangun. Apakah dia tidak tahu aku sedang bahagia di dalam mimpiku? Pikirnya sembari perlahan membuka matanya.

Ia melihat keluar jendela kamar Bela. Langit sudah gelap tampaknya. Berarti ia sudah tidur lebih dari enam jam.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang