Bagian 34

279 13 0
                                    

Mungkin jika melihat pantulan dirinya di cermin, Rini sedang memperhatikan dirinya yang sedang tersenyum tersipu dengan wajahnya yang memerah. Ia tahu kalau ia sedang menyaksikan mimpinya yang sudah seperti serial televisi. Ia menyaksikan pria itu sedang memomong sepasang anak kembar mereka.

Layaknya orang sedang terlelap pada umumnya, Rini tidak menyadari bahwa ekspresi yang ia bentuk itu bukan hanya di mimpi. Tapi, wajahnya benar-benar berekspresi begitu. Ia baru menyadarinya begitu mendengar suara berat Adam yang begitu dekat. Pria itu terdengar sedang melakukan telepon.

Layar TV masih menyala. Namun, film tersebut baru saja berakhir karena daftar pemain sudah ditampilkan di layar.

Rini berusaha bangkit dari tidurnya. Ia menatap ke arah punggung lebar Adam. Entah mengapa dengan melihatnya saja ia merasakan ketenangan. Rasa tenang seakan-akan ia tahu kalau kelak punggung itu lah yang akan terus berada di depan pandangannya, memimpinnya ke mana pun langkah membawanya. Senyum tipis mengembang di wajahnya.

Begitu pria itu menutup teleponnya, ia langsung membalikkan badannya. "Kamu terbangun, ya?" katanya.

Sekejap Rini berusaha mengubah raut wajahnya. Namun, ia tak sanggup menyembunyikan senyumnya saat melihat pria itu juga tersenyum.

"Maaf," tambah pria itu.

"Aku yang harusnya minta maaf karena tertidur saat menonton film."

Adam mengerutkan dahinya sebentar lalu berkata, "Filmnya juga tidak seru." Adam beranjak dari sofa yang dipanjangkan menjadi tempat tidur itu. Sebelum mencapai pintu, ia berpesan, "Lanjutkan saja tidurmu. Aku ada pekerjaan."

Rini bingung antara ingin mengangguk menuruti atau justru merasa sungkan lalu keluar dari ruangan tersebut. Setidaknya melakukan sesuatu dapat mengurangi rasa sungkannya itu.

Tapi Rini memilih untuk keluar dari ruangan itu. Ia langsung menemukan sosok Adam yang sedang menatap lurus ke layar laptop di ruang tamu. Tak ada suara yang keluar dari pria itu. Tampak sekali ia begitu fokus dengan pekerjaannya.

Atas dasar itu, Rini berpikir untuk mengambilkan sesuatu di dapur. Entah kue kejunya kalau masih tersisa atau sesuatu untuk diminum. Namun, baru saja ia melangkah ke arah dapur, Adam sudah berbalik badan dan menanyakan apa yang sedang ia lakukan.

"Sepertinya kantukku sudah hilang. Jadi, aku mau cari sesuatu di dapur."

"Ah, aku lupa. Kau belum makan malam." Setelah mengatakannya Adam langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke kamar.

Rini yang tertegun langsung mematung di tempatnya berdiri. Memang ia belum makan malam dan tentu saja dua makhluk lain di dalam tubuhnya membutuhkan makan malam. Tapi ia tidak ingat akan hal itu. Jadi, ia tertegun karena Adam yang mengingat hal itu.

Tidak lama Adam terlihat sudah keluar dari kamar dengan ponselnya didekatkan ke telinga. Begitu menatap ke arah Rini, Adam menjauhkan ponselnya dan bertanya, "Kau tidak punya alergi dengan makanan laut, kan?"

Rini langsung menggeleng karena memang ia tidak pernah punya masalah saat memakan apa pun. Lebih tepatnya ia tidak tahu makanan laut yang dimaksud pria itu nantinya apa. Kalau sekedar ikan, ia mungkin sudah banyak memakan jenis ikan. Tapi, selain itu ia tidak tahu.

Terlihat Adam sudah menutup ponselnya setelah memastikan pesanan. Ia berkata, "Restorannya dekat. Jadi mungkin yang lama hanya masaknya. Kau makan dulu apa yang ada."

Rini tidak paham apakah ia sedang diperintah untuk kembali ke dapur atau menunggu saja. Beberapa saraf di kepalanya sepertinya sedang tidak tersambung karena ia merasakan sesuatu yang masih asing baginya, yaitu mendapat perhatian dari seorang pria.

Ia memang tetap berjalan ke dapur, tapi ia hanya duduk saja dan mulai melamun. Pikirannya seakan tidak berada di sana. Ia terus memikirkan perhatian Adam yang terkesan tulus itu. Dari pintu kaca yang menghadap taman belakang, ia melihat sunyinya malam. Berbeda dengan taman di panti asuhannya yang selalu terdengar suara jangkrik jika ia membuka jendela kamarnya.

Taman belakang rumah itu memang tidak seluas taman panti asuhan. Tapi, akan cukup luas untuk keluarga kecilnya nanti. Bayangan keluarga kecilnya itu semakin mencuat saat ia semakin larut dalam lamunannya memandangi taman. Ia berpikir, ia akan mengisi malam dengan membuat tenda di taman itu dan bercengkerama dengan anak-anaknya ditemani dengan pria itu. Rasanya seperti hidup di dunia mimpi banyak perempuan di seluruh negeri ini.

Beberapa pertanyaan seperti "Apa aku layak menikah dengannya?" atau "Apa boleh aku menikah dengannya?" atau "Serius aku akan menikah dengannya?" mengisi kepalanya. Namun, tak satu pun jawaban yang ia temukan.

Tanpa sadar langkah kakinya membawanya keluar melalui pintu geser dari kaca itu. Merasakan angin malam yang tenang membuatnya semakin larut dalam lamunan dan pertanyaannya. Kakinya menginjak rumput-rumput sintetis lembut. Raganya seperti diundang untuk berbaring di atas rumput-rumput itu. Tidak begitu lama, ia sudah berbaring dengan nyaman.

Langit malam itu terlihat cerah karena bintang-bintang terlihat bersinar dengan cukup jelas. Bulan sabit yang mulai menggemuk itu juga terlihat terang tanpa adanya awan yang menghalangi sinarnya.

Puas memandangi langit, Rini memejamkan matanya. Ia mengelus perutnya yang buncit. Di dalam hatinya ia sedang mengajak bicara kedua jabang bayinya. Tak begitu banyak yang ia bicarakan. Hanya hal-hal seperti, "Kalian pasti akan senang memiliki ayah hebat seperti pria itu."

Sekitar lebih dari satu menit ia berada dalam keheningan seperti itu. Merasakan setiap ketenangan angin malam yang sesekali menerpa wajahnya.

Setelah periode keheningan itu, sebuah suara berat namun lembut menariknya kembali. "Aku baru tahu kalau berbaring di taman bisa jadi setenang ini."

Mata Rini kembali terbuka memasuki realitas. Ia tak perlu mencari-cari sumber suara itu. Pria itu berada tepat di sampingnya, menatap ke arahnya dengan memiringkan setengah badannya dan tangan yang menopang kepalanya. Senyum penuh kasih jelas terukir di wajah pria itu. Karenanya Rini ikut tersenyum.

Masih dalam keadaan saling menatap, Rini berusaha untuk menanyakan pertanyaan yang tadi mengganjalnya. "Adam, apa aku layak kau nikahi?" Namun, tetap saja kata-kata itu tidak keluar dari mulutnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang