Baru beberapa kali bersama dengan Rini, Adam merasa bahwa ia akan memiliki rutinitas baru setelah makan bersama dengan wanita itu. Tidak lain adalah bertengkar soal cucian piring. Rini selalu ingin mencuci piring kotor setelah makan walau Adam terus melarangnya.
Dengan nada kesalnya yang terkesan menawan di mata Adam, Rini mengomel, "Apa ada penelitian yang mengatakan wanita hamil tidak seharusnya mencuci piring?"
Adam tidak langsung membalasnya dan terus berpura-pura fokus pada piring-piring yang ia cuci. Baru setelah terdengar embusan napas kesal dari Rini beberapa saat kemudian, Adam menghentikan aktifitasnya.
"Bukan begitu. Aku hanya senang melakukan sesuatu untukmu," ucapnya akhirnya.
Terlihat mulut Rini sempat membuka, tapi tertutup lagi dalam hitungan detik.
"Sesuatu yang kuharap bisa membuatmu senang," kata Adam menambahi. Ia melanjutkan cuci piringnya setelah berkata begitu.
Rini melenggang entah ke mana meninggalkan dapur. Adam tidak melihat raut wajahnya tadi. Namun, ia yakin wanita itu meninggalkan dapur dengan kesal.
Padahal selama makan malam mereka cukup akur. Rini bahkan menanyakan pekerjaan apa yang sedang Adam lakukan. Obrolan ringan mengalir begitu saja di antara keduanya seperti pasangan pada umumnya.
Adam tadinya sempat berpikir untuk membicarakan lebih jauh soal pernikahan. Tapi karena situasinya sudah terlanjur begitu, ia batal membicarakannya. Mungkin di lain kesempatan. Setidaknya Rini sudah tidak keberatan untuk tinggal di rumah itu malam ini.
Selesai dengan cuci piring, Adam langsung mencari keberadaan Rini. Ia menemukan wanita itu duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Rini terlihat sedang melihat-lihat perlengkapan bayi di internet.
"Soal baju bayi yang waktu itu, maaf ya."
Rini langsung menoleh ke arah Adam yang sudah duduk di sebelahnya.
"Boleh aku lihat?"
Tanpa ada penolakan, Rini langsung menunjukkan layar ponselnya.
"Kenapa tidak mencari yang netral saja? Kita belum tahu jenis kelamin anak-anak kita."
Rini mengangkat tatapannya dari layar ponsel. Ia terlihat tersenyum penuh kemenangan. "Aku tahu, kok." Terdengar ia terkikik pelan, lalu ia melanjutkan, "Laki-laki dan perempuan. Karena itu, aku pilih yang sepasang begini."
"Dari mana kau tahu?" Adam juga berpikir di dalam benaknya, mengapa wanita ini terus mengatakan sudah mengetahui jenis kelamin bayi kembar mereka. Kecuali ia sudah pernah memeriksakan kandungannya, Adam sudah pasti percaya.
"Aku ibu mereka. Wajar aku tahu, kan?"
"Tapi kau belum pernah periksa kandungan lagi. Bagaimana bisa tahu?"
Wanita itu tampak bingung menyiapkan jawabannya. Tapi setelah lama berpikir, ia memutuskan tidak menjawabnya sama sekali dan tatapannya kembali ke ponsel. Karena itu, Adam tidak ingin mendesak melanjutkan pembahasan itu lagi.
"Omong-omong, soal cuci piring," kata Rini setelah keheningan yang cukup lama. Ia masih tetap menatap layar ponselnya saat memulai pembicaraan ini. Namun, ia mengangkat wajahnya dan menatap lurus Adam saat mengatakan, "Libatkanlah aku dalam pekerjaan rumah tangga. Karena kelak aku akan tinggal di rumah ini seterusnya. Aku tahu kau mengkhawatirkan keadaanku. Tapi, kamu terlalu berlebihan. Sekedar cuci piring saja tidak akan membuatku kelelahan. Anak-anakmu akan tetap aman di dalam kandunganku meski aku mencuci piring-piring bekas kita makan."
Adam ingin berkilah dengan alasan hanya ingin meringankan bebannya saja. Namun, ia tidak jadi mengatakannya karena Rini melanjutkan kalimatnya.
"Kaubilang ingin membuatku senang, kan? Tapi, aku tidak merasa senang kalau aku hanya berdiam diri saja melihatmu melakukan segalanya untukku." Perkataannya lembut sekali. "Aku tinggal di panti asuhan dan terbiasa saling menolong."
Mendengarnya membuat Adam menghela napasnya dalam. Ia berusaha berpikir jernih dan menanggalkan egonya dalam urusan ini. Sambil berkata, "Maaf ya," Adam mengelus ujung kepala Rini dengan lembut. "Aku terlalu bersemangat melakukan semuanya untukmu. Ini pengalaman pertamaku memiliki pasangan yang serius dalam hidupku. Jadi, aku tidak tahu sebaiknya berlaku seperti apa padamu."
"Aku juga minta maaf karena terkesan mengomelimu," ujar Rini dengan mengalihkan pandangannya dari wajah Adam.
Sesungguhnya Adam tidak keberatan dengan segala omelan Rini selama itu baik untuknya. Lagi pula, menurut Adam, cara Rini mengomel menandakan kalau dia tegas dan berani mengungkapkan isi hatinya. Karena itu, Adam berusaha terbuka mendengarkannya sebagai masukan.
"Oh, iya. Nanti aku tidur di ruang menonton, ya," ucap Rini mengubah topik pembicaraan.
"Kenapa tidak di kamar?"
Rini memasang raut wajah bingung tapi tak mengatakan apa pun.
"Meskipun sofa itu nyaman, tapi kalau kau tidur semalaman di sana, punggungmu bisa sakit. Lebih baik di kamar."
"Begitu, ya?"
"Ya. Lalu, aku belum menyiapkan piyama untukmu. Jadi, pakai saja kausku di lemari. Bilang padaku kalau sudah berganti pakaian agar aku bisa masuk."
"Kau tidur di kamar juga?" tanya Rini sambil matanya melotot lebar.
Adam kebingungan karena tidak tahu Rini mengharapkan jawaban yang seperti apa. Akhirnya Adam memutuskan untuk mengatakan, "Tidak sekarang, sih. Aku masih ada kerjaan."
"Maaf," kata Rini agak ragu. "Tidak bisakah ... Kau tidur di tempat lain?"
"Tidak ada kasur lagi di ruangan lain," jawab Adam sekenanya sambil mengangkat kedua bahunya. Sebenarnya ia mulai bisa menebak kalau Rini keberatan tidur bersamanya di kasur yang sama sepanjang malam. Tapi, ia tampak tak punya pilihan. Ia tidak mungkin pulang ke panti asuhan selarut ini.
Bagi Adam, apanya yang salah. Toh beberapa jam yang lalu Rini juga sempat terlelap dalam dekapannya. Lebih jauh lagi, empat bulan yang lalu mereka juga tidur sepanjang malam di sebuah kamar hotel.
"Ya sudah. Aku ke kamar duluan, ya," kata Rini sambil beranjak dari sofa.
"Selamat beristirahat," ucap Adam. Ia menyunggingkan senyum manisnya, tapi mungkin Rini tidak melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...