Bagian 29

296 15 0
                                    

Mata Rini terbelalak lebar-lebar melihat total belanjaan mereka berdua dari layar kasir. Pegawai kasir itu mengucapkan nominal yang sama persis dengan yang tertera di situ. Itu membuat Rini bertambah syok karena total uang itu bisa ia gunakan untuk belanja satu bulan.

Sebenarnya tadi mereka tidak berbelanja begitu banyak. Plastik belanjaan yang mereka bawa juga sedikit dan tidak terlalu berat juga. Ia terheran-heran mengapa total belanjaannya bisa sebanyak itu.

Tapi pria yang berjalan bersamanya keluar dari pasar swalayan itu tampak biasa saja setelah mengambil nota pembayarannya. Itu karena dia adalah orang kaya.

Rumah pria itu tidak terlalu jauh dari pasar swalayan tadi. Hanya butuh lima menit berkendara, mereka sudah sampai di halaman parkir rumah yang terlihat mewah dari luar. Rini merasakan darahnya mengalir lebih deras di seluruh pembuluh darahnya begitu sampai rumah pria itu.

Saat berbelanja tadi, Rini sempat menanyakan pada pria itu mengapa mengajaknya ke rumahnya. Tapi pria itu menjawab kalau ia ingin berhemat dengan makan di rumah. Rini tetap tidak puas dengan jawabannya itu. Jelas-jelas ia berbelanja hingga menghabiskan banyak uang. Di mana bagian berhematnya. Ia benar-benar berharap tidak ada udang di balik batu.

Meski begitu, Rini kagum dengan pria itu saat berbelanja tadi. Pria itu seakan tahu apa yang akan ia buat. Berarti pria itu bisa memasak. Itulah kesimpulan Rini.

Melihat bagian dalam rumah itu, Rini kembali tertegun. Rasanya tidak mungkin seorang pria lajang mampu merapikan rumah sebesar ini sendirian. Tapi kalau ia melihat lebih jauh lagi memang tidak ada tanda-tanda pria itu menyewa pembantu atau sebagainya. Sepertinya pria ini adalah orang yang suka kebersihan.

Setelah meletakkan semua belanjaan di atas meja panjang di dapur, pria itu lalu memasang celemeknya lalu mencuci tangannya hingga bersih. Rini terlihat sungkan karena baru kali ini ada orang yang baru ia kenal memasak untuknya.

Karena ia melihat satu celemek lagi tergantung, Rini berinisiatif mengambilnya lalu memakainya. Ia mendekati pria itu dan bertanya apa yang bisa ia bantu.

"Kau cukup duduk saja menunggu masakanku jadi," ucap pria itu dengan suaranya yang berat tapi terdengar lembut. Ia menambahkan senyuman sebagai bumbu di akhir kalimatnya.

Rini semakin berpikir pria itu sudah jatuh hati padanya. Padahal pertemuan mereka tidak terlalu banyak. Sebelum beberapa hari yang lalu bertemu kembali, pria itu menghilang selama hampir dua bulan. Sebelumnya lagi, terakhir mereka bertemu adalah ketika Rini menyampaikan pada pria itu kalau ia sedang hamil anaknya. Lalu pertemua pertama mereka adalah malam terjadinya cinta satu malam itu. Berarti dengan hari ini, mereka baru bertemu sebanyak lima kali saja.

"Tapi aku tidak bisa membiarkan seseorang melakukan sesuatu di depanku tanpa aku membantunya," ucapnya memelas. Rini yakin pria itu akan membiarkannya membantu setelah ia mengucapkan itu.

"Tapi aku tidak bisa membiarkan seorang yang sedang mengandung anakku melakukan hal yang melelahkan," kata Adam tak mau kalah. Kata-kata yang terdengar biasa saja namun berarti besar untuk Rini. Ia benar-benar merasa dijunjung oleh pria itu.

Rini masih belum menyerah. Rasa sungkannya terus mendorongnya untuk meyakinkan pria itu.

"Memotong bahan masakan tidak membuatku lelah." Ia sudah memegang pisau dapur dan jaraknya dengan pria itu sudah sangat dekat.

Mungkin karena Rini menambahkan senyuman manis dan kedipan genit di wajahnya, pria itu menjadi luluh. Ia membiarkan Rini memotong kentang dan wortel sesuai arahannya.

Rini memang selalu menikmati waktu masak bersama dengan anak-anak panti yang lainnya. Ia sering memasak berdua dengan Bela. Seharusnya dia tahu rasanya memasak sebuah makanan bersama orang lain. Tapi kali ini jelas berbeda. Ia memasak bersama dengan ayah dari calon buah hatinya.

Selain ada perasaan canggung, ia merasa gerak-geriknya terlalu diawasi oleh pria itu. Tapi di lain sisi ia juga merasakan kesenangan yang baru pertama ia rasakan saat memasak.

Hidangan siang ini yang berupa bistik tenderloin sudah siap di meja. Jika tadi Rini bertanya-tanya bagian mana dari belanjaan mereka yang mahal, Adam kini menjelaskan kalau daging inilah yang paling mahal.

Rini hanya mengangguk polos mendengar penjelasan itu. Dia tidak tahu apa bedanya daging yang tersaji di depannya dengan daging yang biasa ia beli di pasar.

"Boleh aku memakannya sekarang?" tanya Rini yang sudah siap dengan pisau dan garpunya.

Pria itu mempersilakan ia makan.

Tidak lama pria itu tergelitik melihat Rini kesulitan menggunakan pisau dan garpu.

"Seharusnya kau memotongnya dari awal," ujar Rini mengomel setelah melihat Adam mengirisi daging di piringnya menjadi potongan yang lebih mudah dimakan.

"Aku tidak tahu kalau kau belum pernah memakan ini sebelumnya."

Rini memang tidak pernah memakan bistik sebelumnya. Tapi karena pria itu bisa tahu tanpa ia memberi tahunya, Rini menjadi kesal.

"Aku pernah memakan ini sebelumnya." Rini melontarkan kebohongan karena dengan agak canggung.

Begitu mengunyah daging tenderloin buatan pria itu, Rini membuka matanya lebar-lebar. Ia terlalu meremehkan pria itu tadi. Ternyata masakannya sangatlah enak.

"Ini pengalaman pertamaku memasak untuk calon buah hatiku," ucap pria itu santai sambil mengiris dagingnya.

Rini seperti tersedak dan mulai terbatuk-batuk mendengar perkataan itu. Jadi pria itu memasak untuk anak di kandungan Rini. Bukan untuk Rini, ibunya.

Pria itu cepat-cepat menyodorkan air putih. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Ia mengarahkan telapak tangan kanannya ke depan wajahnya. Padahal ia masih terbatuk-batuk kecil meski sudah minum air putih.

"Makanlah perlahan supaya bisa menikmati dagingnya," kata Adam.

Begitu ia sudah tidak terbatuk-batuk, Rini baru menyampaikan kesannya terhadap masakan Adam. Pria itu senang kalau Rini menyukai apa yang ia masak.

"Terlalu cepat bagimu membuatkan makanan untuk buah hatimu."

"Maksudmu?" tanya Adam setelah mengunyah habis.

"Kau bilang tadi memasak untuk buah hatimu. Biar kujelaskan padamu, mereka belum lahir."

Adam menyunggingkan senyumnya.

"Aku tahu itu. Itu hanya kata kiasan," kata Adam.

"Memangnya ada kiasan seperti itu?"

Adam sekarang terlihat sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan itu. Ia meneguk air putih dari gelasnya. Ia sempat ingin mengatakan sesuatu tapi urung ia lakukan.

"Maksudku tidak secara langsung untuk anak-anak itu." Adam menunjuk perut Rini dengan tangannya yang memegang garpu. "Karena kau yang memakannya, kau mengolahnya untuk anak-anak itu."

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang