Bagian 10

499 25 0
                                    

"Parfumnya enggak bikin mual, kan?"

Rini mencoba mengendus badannya sendiri setelah badannya disemprot parfum khas gadis 20 tahunan oleh Bela.

Rini menggeleng.

Ia mengenakan sebuah gaun bawah lutut berlengan pendek. Pakaian yang sederhana dan menonjolkan kesan tentang dirinya. Gaun itu tampak agak sedikit kebesaran di tubuhnya.

Tidak ada corak pada gaun itu. Hanya warna biru langit saja di mana-mana. Bagian sekitar perutnya agak sedikit meramping agak memberi kesan bahwa si pemakainya bertubuh kurus.

Rini meminjam pakaian itu dari Bela untuk pertemuannya dengan Adam Haryoseno. Ia mau memberikan kesan terbaik di depan pria itu.

Ia juga sedikit merias wajahnya. Tentu saja hanya sedikit. Wajahnya yang sudah cantik alami akan rusak jika riasannya terlalu tebal.

"Aku harus ngomong gimana, ya?" tanya Rini penuh khawatir.

"Enggak usah pikirin itu. Sekarang Kak Rini coba ketemu aja dulu sama dia."

Rini mengangguk dua kali mendengar nasihat Bela.

Bela melanjutkan, "Dia orang sibuk. Tapi langsung mau untuk ketemu hari ini. Apa itu kebetulan?"

Perkataan Bela itu ada benarnya. Tidak mungkin seorang petinggi di perusahaan besar memiliki waktu senggang untuk bertemu orang yang tidak begitu penting seperti Rini. Pasti ada alasan mengapa ia meluangkan waktunya. Terlebih pria itu membalas surel Rini tidak lama berselang setelah surel itu terkirim.

Mereka berdua kini keluar dari kamar Bela.

"Udah mau berangkat?" tanya seorang wanita paruh baya berbadan langsing pada mereka berdua. Ia adalah ibu asuh Bela.

"Iya, Bu," jawab Bela.

"Rini, bukannya kamu belum sarapan?" tanya ibu asuh Bela.

"Enggak apa-apa, Te. Enggak lapar juga."

"Tapi, kan, kamu lagi hamil. Ga bagus buat kandunganmu."

Kedua orang tua asuh Bela sudah mengetahui tentang kehamilan Rini setelah Bela memberitahukannya semalam.

Tadinya Rini tidak ingin memberitahukan hal itu dulu kepada orang lain sebelum bertemu pria itu. Tapi Bela meyakinkannya. Bela berpikir orang tua asuhnya malah akan senang mendengar kabar itu. Benar saja, mereka berdua memberi selamat dan berkata akan mendukung Rini.

"Tante kupasin apel, ya? Kamu enggak mual, kan, kalo makan apel?"

"Tapi kita udah buru-buru, Te."

"Kalo gitu, bawa aja. Nanti makan di mobil."

Bela mengantar Rini berangkat ke kantor pusat Bank ABB, tempat Rini hendak bertemu pria itu. Ibu asuh Bela sudah membawakan sekotak apel yang telah dikupas untuk Rini.

Karena tahu Rini akan mual dengan pendingin di mobilnya, Bela sengaja membuka jendela mobil itu. Rini merasakan pengertian yang luar biasa dari gadis yang ia sudah ia anggap adik kandungnya sendiri itu.

Perjalanan menuju tempat itu memang agak jauh dari rumah orang tua asuh Bela. Rini bahkan sempat tertidur sebentar karena merasakan tiupan angin dari luar jendela yang menenangkan pikirannya.

Saat perjalanan sudah tinggal sedikit lagi, Bela mulai mengajak bicara Rini.

"Kapan mau bilang ke Bu Hilda, Kak?"

Rini sendiri tidak tahu jawabannya.

Ia hanya bisa bergumam lalu mengangkat kedua bahunya bersamaan.

"Takutnya Bu Hilda kaget kalo tahunya belakangan."

Memang benar yang Bela katakan.

"Kalo begitu, setelah pulang dari pertemuan ini aku langsung telepon," ucap Rini.

"Enggak apa-apa kalo lewat telepon saja?"

Rini mengangkat kedua bahunya.

"Oke."

Bela tidak mau bertanya lebih jauh lagi.

Ia menghentikan mobilnya di zona menurunkan penumpang. Rini lantas turun dari mobil dan melambaikan tangannya pada Bela.

"Makasih, Bel," ucapnya sambil tersenyum.

"Semangat, Kak."

Rini langsung berjalan ke lobi dan menghampiri meja informasi. Ia menjelaskan tujuan kedatangannya dengan dengan sedikit gugup.

Sesaat seorang wanita berusia 30-an akhir menelepon untuk memastikan kedatangan Rini. Setelah menutup teleponnya, wanita itu memberikan kartu akses sementara untuk memasuki gedung. Ia juga memberi petunjuk ke mana tujuannya.

Saat Rini keluar dari lift, seorang wanita menyambutnya. Wanita yang mengaku sebagai sekertaris Adam Haryoseno itu sudah menunggunya sejak tadi. Ia membimbing Rini menuju ke ruangan pria itu.

"Silakan tunggu di dalam," ucap wanita itu sambil tersenyum.

Rini hanya menganggukkan kepalanya saja sekali sembari melewati wanita itu.

Ruangan itu terlihat rapi. Meski di balik meja utama itu tidak ada orang yang ia cari, ia bisa membayangkan sosoknya karena pernah melihatnya sebelumnya.

Di balik meja dengan papan bertuliskan nama Adam Haryoseno itu ia membayangkan seorang pria yang tampan sedang tersenyum. Sekejap hatinya dirundung dengan rasa deg-degan. Apakah ia bisa menyampaikan maksud tujuannya pada pria itu dengan benar?

Ia juga menjadi semakin penasaran bagaimana reaksi pria itu mendengar pengakuannya. Ia hanya bisa mengharapkan hal-hal baik terjadi hari ini.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang