Bagian 16

445 19 0
                                    

Tepuk tangan masih bergemuruh di ruang konferensi besar.

Setelah seorang pembicara turun dari atas panggung, para peserta seminar dengan tertib keluar dari ruangan itu. Meski terdengar suara yang bertumpuk di sana-sini, mereka keluar ruangan dengan teratur.

Mata Adam terbelalak lebar seakan mau keluar ketika ia sadar sikunya tak sengaja menyenggol dada gadis di sampingnya. Mereka sama-sama mematung di anak tangga yang sama saling bertatapan.

Dengan sedikit rasa malu setelah melihat ke arah belakangnya, ia melanjutkan jalannya keluar dari ruangan itu. Gadis itu masih bersamanya saat mereka keluar dari ruangan.

"Maaf soal tadi. Aku tidak bermaksud sama sekali," kata Adam dengan bahasa Inggris aksen Inggrisnya.

Keduanya baru saja berjalan beberapa langkah dari pintu keluar ruangan tadi.

"Tidak masalah."

Aksen Australia gadis itu sangat kental.

"Kau bukan dari Australia, ya?" tanya gadis itu melanjutkan.

"Ya, tentu saja bukan. Hanya saja, aku beberapa kali mengunjungi Australia selama libur musim panas."

Gadis itu tertawa geli karena mendengar Adam yang mencoba berbicara dengan aksen Australia.

"Selama libur musim panas?" ujar gadis itu meledek cara bicara Adam.

"Ya."

"Berarti saat ini kau sedang libur musim panas?" tanya gadis itu sambil tersenyum di akhir.

"Oh, bukan begitu maksudku."

Adam sendiri salah tingkah dengan perkataannya.

"Ketika aku masih sekolah." Aksen Inggrisnya kembali di titik ini.

Sebenarnya, saat ini Adam sedang ada pekerjaan di Australia selama satu bulan. Namun karena pekerjaannya lebih banyak memantau saja, jadi ia memutuskan untuk mengisi waktunya di Australia sambil mengikuti seminar di Sydney.

"Wow. Musim panas yang dingin."

Gadis itu merujuk pada kenyataan bahwa selama musim panas di negara-negara yang berada di bumi bagian utara bumi, Australia justru mengalami musim dingin. Karena itu Adam yang tak ingin terlihat bodoh langsung setuju dengan pernyataan itu. Ia tahu ucapan gadis itu adalah makna sesungguhnya.

Beberapa menit kemudian mereka berdua sudah ada di sebuah restoran klasik tak jauh dari gedung tempat seminar itu untuk makan siang. Obrolan ringan mengalir dengan mudah di antara keduanya.

Dari situ Adam tahu kalau gadis itu berwawasan luas. Ia memperkenalkan diri sebagai Ashley. Ia baru saja lulus dari salah satu universitas di Melbourne. Ia tak menyebutkan nama universitasnya. Tapi karena ia bilang sulit untuk mencari kerja, jadi itu bukan universitas yang terkenal.

"Tapi aku salut padamu. Kau masih ingin mengembangkan diri meskipun kau punya banyak harta."

Adam sempat mengakatan kalau ia adalah pewaris kerajaan bisnis besar di negaranya. Ia tak ragu mengungkapkan itu pada gadis yang baru ia kenal itu. Alasannya karena gadis itu tidak tertarik dengan hal yang berbau material. Meski itu hanya praduga Adam saja, ia tak meragukannya.

"Lebih tepatnya, aku suka belajar."

Karena kegiatan selanjutnya mengharuskan para peserta membentuk kelompok, Adam dan gadis itu sepakat untuk berada di kelompok yang sama bersama dengan tujuh orang lain.

Di tengah mereka ada seorang fasilitator yang membimbing mereka. Kegiatan mereka adalah berdiskusi. Diskusinya bebas, asal masih berkaitan dengan topik pembicaraan seminar pagi tadi.

Diskusi itu sangat seru dengan berbagai pandangan yang ada. Anggota kelompok itu berasal dari berbagai kalangan yang membuat diskusi itu hidup. Selain Adam yang seorang pegawai bank, gadis sarjana ekonomi, beberapa pegawai pemerintahan di beberapa negara, juga ada seseorang yang sedang merintis usaha. Ia adalah seorang pria berusia 30-an yang berasal dari Kazakhstan.

Pria itu mengungkapkan kondisi perekonomian di negaranya itu dengan bahasa Inggris yang agak susah untuk dimengerti. Tapi inti dari pembicaraannya cukup jelas dan membuat suasana diskusi semakin hidup karena anggota kelompok yang lain menaruh minat pada negara itu.

Ashley mengangkat tangannya untuk berpendapat.

"Aku tidak menangkap lebih dari setengah apa yang Anda bicarakan. Tapi aku dapat intinya."

Kata pembuka dari gadis itu membuat anggota yang lain dan fasilitator tertawa pelan.

"Oh, maafkan aku," kata pria Kazakhstan itu penuh penyesalan.

Gadis itu menyampaikan pemaklumannya dengan nada yang membangun semangat pria itu. Setelahnya ia menyampaikan pandangannya jika ia menjadi seorang pengusaha di negara itu.

Lagi-lagi, pandangan gadis itu dan pemahaman luas gadis itu mengenai ekonomi membuat Adam terpukau.

Ia tidak tahu sudah berapa detik lamanya mata bulatnya itu menatap wajah gadis itu.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang