Bagian 31

281 14 0
                                    

Rini bergidik setengah ketakutan ketika lengan Adam mulai terasa oleh kulitnya. Pria itu sudah menempel di sisi kanannya dalam sekejap. Bahkan kepalanya hanya berjarak beberapa senti darinya. Ia juga bisa merasakan hangat tubuh pria itu. Bau badannya yang harum tanpa parfum membuat jantung Rini berdebar kian cepat.

Bukan rasa takut yang Rini rasakan saat ini. Ia merasa gelisah dengan semakin halus perbuatan dan tutur katanya pada Rini, akan membuatnya semakin yakin kalau ada yang salah dengan pria itu. Semua kelembutan Adam belakangan ini memang terasa beda sekali dengan Adam yang Rini temui di kantornya dua bulan lalu. Waktu bisa membuat pria itu berubah sepertinya. Rini cemas, berpikir kapan waktu juga akan mengubahnya.

Rini ingin sekali mengungkapkan semua perasaannya saat ini pada pria yang napasnya semakin selaras dengan napas Rini karena mereka berdekatan. Mulai dari perasaan marahnya, takut, curiga, semuanya. Tapi ia tahu, ini bukan waktu yang tepat.

Adam melambaikan telapak tangannya di depan wajah Rini yang terus menunduk sejak pria itu menempel dengannya. Rini terkesiap hingga langsung menatap wajah tampan Adam dengan jarak yang sangat dekat.

"Kau kenapa?" tanya Adam sambil meraih sebelah tangan Rini.

"Tidak apa-apa," ucap Rini sambil memalingkan padangannya dari wajah tampan Adam.

Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya. Tangan besar Adam langsung menjulur karena itu. Dengan lembutnya, ia mengelap air mata yang menetes itu. Rini mulai terisak ketika melihat Adam samar di balik air mata yang menutupi pandangannya.

"Maaf, pertanyaanku tadi menyakitimu."

Ingin sekali Rini menyampaikan memang ada yang salah dengan Adam. Tapi bukan pertanyaan sebelumnya. Lebih tepatnya sikapnya yang meninggalkan Rini dua bulan lalu, itu yang salah. Selain dari itu, menurut Rini, Adam sempurna.

Perasaan ini membuat Rini semakin perih hingga air matanya mengalir lebih deras. Meski begitu, tangan Adam masih di sana dan dengan sigapnya menghapus setiap air matanya yang mengalir. Pada satu momen yang begitu Rini harapkan datang lebih awal, Adam akhirnya menarik tengkuk Rini ke dalam dekapannya hingga ia kini bisa merasakan hangat tubuh Adam lebih intim lagi. Rini menangis tersedu-sedu di pelukan pria itu.

"Baiklah. Aku tidak akan bertanya soal panti asuhan lagi." Terdengar suaranya yang berat.

Dengan sangat lembut sekali Adam mengusap ujung kepala Rini dengan sebelah tangannya, sedangkan tangannya yang lain membelai punggu Rini. Pria itu tidak mengatakan apapun di tengah isakan Rini yang semakin terdengar. Sepertinya air mata Rini sudah mulai membasahi kaus polos pria itu.

Rasa hangat dari pelukan pria itu membuatnya tenang dalam waktu yang singkat. Sempat ada rasa ingin menjelaskan mengapa ia menangis begitu. Menjelaskan bahwa bukan pertanyaannya yang salah, tapi sikapnya. Tapi ia mengurungkan niatnya itu dan hanya mengangkat kepalanya begitu merasa enakan.

Bekas air matanya terlihat di kedua pipinya yang menggembung. Kembali, tangan lembut Adam menyeka sisa air mata yang mengalir.

Setelah berpikir kembali, Rini memutuskan hal sebaliknya.  Ia mengatakan, "Bukan itu." Rini mengatur napasnya agar ia bisa berucap lebih baik lagi. "Aku hanya bingung sikapmu. Sikapmu yang meninggalkanku di ruangan Dr. Andreas hari itu."

Rini memberanikan diri menatap ke arah wajah Adam. Terlihat ekspresi bersalah dari pria itu. Ia memang tidak bisa memahami apa yang bergelut di benak pria itu kala itu. Setidaknya, melihat penyesalan yang tergambar begitu jelas di sana sudah cukup membuat Rini tersenyum.

"Maaf. Hari itu, aku sangat terkejut." Adam mengatakannya sambil menunduk. Namun, tidak berapa lama kemudian ia kembali menatap mata Rini. "Aku berjanji, tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan menjadi ayah yang terbaik untuk anak-anak kita."

Dengan lembut Adam mengatakannya pada Rini. Memang terasa sekali kelembutan dari pria itu. Namun, satu hal yang masih mengganjal Rini.

"Kau selalu mengatakan ingin menjadi ayah yang terbaik untuk anak-anak ini," katanya.

"Ya. Aku berani bersumpah untuk itu," kata Adam sambil menampilkan wajah seriusnya.

"Lalu bagaimana denganku? Apa kau tidak ingin menjadi yang terbaik untukku?" Rini sedikit terbata. Tapi pandangannya yang sayu sepertinya berhasil meluluhkan senyum di wajah Adam yang serius. Rini turut menampilkan senyum canggung di wajahnya untuk beberapa detik.

"Karena itu aku bilang aku tidak tahu apa aku ini pantas atau tidak untukmu."

"Adam, kau ayah dari anak-anak ini. Mengapa kau bertanya seperti kau tak pantas untukku?"

Pernyataan Rini itu membuat Adam tampak lebih canggung. Meski wajahnya tak memerah, tapi gerakan seperti menggaruk tengkuknya itu menjelaskan pada Rini bahwa ia salah tingkah. Adam bahkan menjauhkan tubuhnya dari Rini beberapa saat.

"Kalau begitu, aku akan melakukan yang terbaik untuk bisa lebih mencintaimu setulus hatiku," kata Adam setelah berhasil mengendalikan dirinya.

Rini mengembangkan senyum yang lebar di wajahnya. Matanya terlihat meruncing di salah satu sisinya. Tidak tampak lagi air mata akan turun dari sana walau hidungnya memerah dan hampir mengeluarkan ingus yang ia tahan-tahan.

Entah apakah dengan ini artinya Rini sudah menerima ajakan Adam untuk hidup bersamanya atau bagaimana. Ia hanya merasa lega mendengar Adam mengucapkan itu. Ini bagaikan pengungkapan perasaan. Pria itu mungkin tidak akan mengekspresikannya dengan kata-kata yang pantas. Tapi semuanya sudah terungkap. Karena ia terlihat sangat percaya diri bisa meluluhkan hati Rini hanya dengan memberikan segala kelembutannya pada Rini.

Rini merasakan dirinya bahagia saat ini. Ia mungkin tidak akan merasakan hal seperti ini jika tak bertemu dengan Adam. Perasaannya semakin bercampur aduk ketika Adam beranjak dari sofa dan berlutut di depannya. Di genggamannya sudah ada sebuah kotak berwarna kirmizi. Rini tahu apa isi kotak itu seperti yang sering ia lihat di film romantis. Tapi ia tak menyangka hal itu akan datang padanya.

Perlahan Adam membuka kotaknya. Sebuah cincin bertahta permata yang tetap terlihat indah walapupun tak memancarkan kelap-kelipnya. Sepertinya melamar dengan sebuah cincin permata di siang bolong bukan pilihan yang tepat. Meski begitu, Rini tetap merasa bahagia dengan momen ini.

"Aku tidak punya pengalaman untuk ini. Jadi aku tidak tahu apa ini cara yang tepat atau tidak." Pupil matanya bergerak-gerak memastikan perubahan raut wajah Rini yang masih mematung. Ujung bibirnya bergetar seakan ingin mengucapkan sesuatu. "Maukah kau menikah denganku?" ucapnya dengan nada bergetar.

Rini menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan terdengar jeritan kecil melewati sela-sela jarinya yang pendek. Ia sadar air matanya mulai menetes di mata kanannya, tapi ia membiarkannya saja hingga air mata itu menyentuh kulit tangannya.

"Kau melamarku?" tanyanya polos. Seakan ia masih tidak mempercayai semua indranya.

Adam mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Rini yang tadi ia pakai untuk menutup mulutnya. Setelah tangan itu berada di hadapannya, Adam melepaskan cincin dari dalam kotak lalu memakaikannya di jari manis Rini. "Ah, kekecilan," ujarnya dengan wajah kesal.

Cincin itu tak bisa masuk di jari manis Rini. Akhirnya ia memasukkannya ke jari kelingking Rini dengan penuh penyesalan.

"Adam, aku belum berkata setuju untuk ini," kata Rini memandangi cincin di jari kelingkingnya.

"Aku tidak merasa kau akan menolak." Nada percaya diri yang meledak-ledak dari pria itu kembali muncul seraya senyuman meledeknya itu.

"Apa katamu?" kata Rini sambil membuka matanya lebar. Seakan semua suasana dramatis selama beberapa menit ke belakang ini menguap ke udara. Ia kembali merasa Adam yang bertindak seenaknya kembali ke dalam pria di hadapannya itu.

"Tidak. Aku bercanda," katanya sambil duduk di sebelah Rini, menatap lurus ke TV yang daritadi menyala. Setelah beberapa saat, ia baru menatap wajah Rini kembali. Wajahnya tampak penuh ketakutan. "Tolong, jangan tolak aku. Aku akan berusaha sebisaku untuk menjadi yang terbaik untukmu dan anak-anak kita."

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang