Rini berdiri tersenyum puas melihat pantulan dirinya di cermin di kamarnya. Ia sedang mengenakan baju terusan sepanjang lutut berwarna biru yang baru ia beli setelah pulang dari kerja paruh waktunya tadi. Sekilas baju itu mirip dengan yang Bela pinjamkan padanya. Hanya sebuah sabuk tipis berwarna hitam yang melingkar di atas perut buncitnya yang membedakan. Itu memang baju khusus ibu hamil.
Alasannya memakai baju itu karena ia akan bertemu pria itu malam ini. Rini sendiri yang mengajak Adam untuk keluar. Ia merasa ingin kenal lebih jauh pria itu. Tentu saja pria itu langsung setuju dengan ajakan Rini. Mungkin dalam beberapa menit ia akan sampai di pintu depan panti asuhan untuk menjemput Rini.
Kondisi Rini saat ini memang cukup rumit. Ia sendiri mulai kesulitan mencari solusi untuk permasalahannya.
Di dalam lubuk hatinya, ia tak ingin menerima lelaki yang sudah mencampakkannya selama hampir dua bulan, lalu muncul mengajaknya hidup bersama. Tapi semua berubah dua hari yang lalu. Ketika itu Dinas Sosial mendatangi panti asuhan dan mengatakan bahwa penutupan panti asuhan akan dipercepat hinga akhir bulan September. Dengan kata lain, akhir bulan ini.
Tentu sulit baginya untuk memikirkan kelanjutan hidupnya. Tidak seperti anak lain yang masih bersekolah yang akan dipindahkan ke panti asuhan lain di sekitar sekolah mereka. Tidak juga seperti Sita dan Dema yang sudah menyewa tempat tinggal di dekat tempat mereka bekerja. Bela tentu saja akan terus bersama orang tua asuhnya. Rini sendiri tidak mau hidup menumpang.
Jadi pilihannya yang tersisa adalah menerima Adam.
Entah bagaimana nanti reaksi Adam ketika bertemu dengannya. Bagaimanapun Rini sudah menolaknya seminggu yang lalu. Ia bahkan meninggalkan Adam begitu saja meski pria itu mengantarnya sampai panti asuhan. Rini sempat melihat pria itu bahkan masih berdiri di halaman depan panti asuhan sebelum ia meminta Bu Hilda untuk menyuruhnya pulang.
Tidak mungkin perasaan bencinya pada pria itu ia kedepankan di saat seperti ini.
Bu Hilda memasuki kamarnya bersama dengan pria itu. Rini terkejut dan dengan cepat membereskan kamarnya yang berantakan.
"Ibu," ucapnya memelototi Bu Hilda yang seenaknya membawa Adam.
Tapi pria itu bertindak lebih seenaknya. Ia melewati Bu Hilda dan langsung memasuki kamar Rini tanpa izin. Ia memperhatikan jendela dan ventilasi udara kamar itu. Membolak-balik tirai yang menutupi jendela itu. Berikutnya ia melihat kasur dan sekitarnya.
Rini bertanya-tanya dalam hatinya sedang apa pria itu.
"Aku setuju dengan Bu Hilda kalau kau tinggal bersamaku."
Mata Rini terbelalak mendengar ucapan pria itu. Ia mengalihkan pandangannya pada Bu Hilda yang juga mengalihkan pandangannya ke arah ventilasi kamar itu. Seakan Bu Hilda tak mau ikut campur urusannya dengan pria itu.
"Maksudku, kamarmu tidak sehat untuk kau tinggali. Kau sedang mengandung."
Pria itu menatap perut Rini dengan penuh kasih. Tatapan itu membuat Rini mengalihkan tatapannya ke beberapa tempat yang tadi diinspeksi pria itu. Seperti ventilasi udara di kamarnya yang kecil, jendela yang gelap dan kusam penuh debu, dinding yang retak dan catnya mengelupas di mana-mana, serta beberapa hal buruk lain di kamarnya.
"Omong-omong, aku baru saja membeli rumah untuk kita tinggali. Aku sudah memperhatikan segala keamanannya untukmu dan anak-anak nantinya. Kau pasti akan suka."
Pria itu mengatakan semuanya dengan penuh suka sambil berharap Rini setuju dengannya. Rini sebenarnya tidak memperhatikan penuh ucapan pria itu. Kebenciannya terhadap pria itu tampaknya masih sedikit ada. Tapi Rini bertanya dalam dirinya mengapa ia membeli rumah? Toh kalau ingin tinggal bersama Rini, ia tidak keberatan tinggal di rumah orang tuanya atau di manapun itu. Rini menganggap kebiasaan orang kaya menghamburkan uang itu aneh.
"Kalau kalian mau pergi, silakan langsung saja, ya. Ibu ada pekerjaan yang harus ibu buat," ucap Bu Hilda pada keduanya. Ia lalu menatap Rini dan menambahkan, "Tidak perlu bilang pada anak yang lain. Kau hanya akan mengganggu mereka belajar."
Wanita bertubuh gemuk itu meninggalkan mereka berdua di kamar Rini. Rasanya canggung sekali ada seorang laki-laki di kamarnya. Tidak seperti anak laki-laki di panti asuhan yang mendatangi kamarnya. Laki-laki yang ada di kamarnya itu adalah ayah dari anak-anaknya.
"Tolong jangan terlalu lama menatap kasurku. Kau terlihat mesum," ujar Rini agak ketus.
Adam tampak tak mengacuhkannya dan duduk di pinggiran kasurnya.
Rini seakan mau marah meledak-ledak melihat pria itu. Adam bahkan tidur di kasurnya. Kakinya yang panjang menggantung di ujung kasur itu. Ia lalu kembali duduk di pinggiran kasur hingga terdengar bunyi gesekan besi tua yang menjadi kerangka kasur itu.
"Jadi kau tidur di sini bersama anak-anak itu?"
"Anak-anak itu?"
"Maksudku kandunganmu."
"Adam, mereka belum lahir."
Rini berusaha tenang menghadapi Adam. Ia tak mau dikuasi kebencian terhadap pria itu.
"Aku tahu."
Adam berdiri dari pinggiran kasur Rini. Ia mendekati Rini dan memeluknya. Hangat sekali. Rini bahkan mencium wangi tubuh pria itu tanpa ada bau parfum yang melekat padanya. Bagaimana bisa pria itu memiliki tubuh yang wangi seperti itu? Ia sangat menyukai harum tubuh pria itu.
"Maaf aku sudah meninggalkanmu cukup lama."
Udara yang keluar dari mulut pria itu berdesir melewati telinga kiri Rini. Membuatnya merinding mendengar perkataan halus pria itu. Adam melepaskan pelukannya dan menatap lurus mata Rini yang kebingungan dengan kedua tangannya masih menggenggam pundak Rini.
"Aku menyesal melakukannya padamu dan anak-anakku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
قصص عامةCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...