Adam tidak bisa berhenti terkesan dengan wanita yang sedang bersamanya di meja makan. Bisa-bisanya ia iri dengan calon buah hati yang sedang ia kandung itu hanya karena Adam salah bicara. Meski tidak mengatakannya secara blak-blakan, tapi dari caranya menggerutu dan raut wajahnya tadi benar-benar memperlihatkan rasa irinya. Sepertinya Adam semakin jatuh cinta pada Rini.
"Maaf kalau kau tidak suka. Aku tidak tahu seleramu," ujar Rini setelah melihat reaksi Adam.
Wanita itu baru saja membuka bungkusan kue dari karton berbentuk balok. Di dalamnya terdapat kue bronis keju panggang yang terlihat enak. Adam belum pernah melihat itu sebelumnya. Tapi ia tahu merek kue yang menempel di bungkusnya tadi. Itu adalah toko kue kecil tempat tadi Rini menunggunya.
Karena merasa sungkan kalau tidak memakannya, jadi Adam mengambil satu potongan yang baru saja Rini sajikan di atas piring kecil. Entah apa yang terjadi di lidahnya begitu potongan kue itu lewat. Adam baru saja merasakan sensasi luar biasa mencicipi kue murahan tetapi rasanya tingkat dewa. Matanya membesar bersamaan dengan sensasi enak di lidahnya yang terus membanjiri kepalanya.
"Adam, itu untukku," tukas Rini kesal setelah bagian kue yang baru ia potong diambil oleh Adam.
Meski begitu, Rini tampak tersenyum lalu ia mengiris lagi kue itu. Ia memakannya dengan biasa saja. Tidak ada ekspresi berlebihan seperti Adam. Mungkin ia sudah beberapa kali memakannya. Jadi rasanya sudah familier di lidahnya.
Mereka menghabiskan setengah dari kue itu dalam waktu singkat. Sebagian besar Adam yang memakannya walaupun Rini yang memotongnya.
"Sebenarnya aku bisa membuat kue ini kapanpun kau mau," ucap Rini sambil memasukkan sisa kuenya ke dalam kulkas. Ia mengatakan itu seperti ada rasa ingin membalas budi kepada Adam.
"Kalau gitu, lebih baik kau yang membuatnya."
"Memang kenapa?" Rini tak menatap Adam karena dia asyik menata kulkas Adam.
"Kita tidak tahu kalau ada bahan berbahaya yang toko kue itu masukkan pada kue itu."
Rini melongok dengan raut wajah sinis.
"Ya, aku memang memasukkan bulu ketiakku ke dalamnya."
"Maksudmu?" tanya Adam penasaran.
"Aku yang membuat kue ini tadi."
Adam terkejut mendengarnya. Ia merasa ingin memuntahkan saja apa yang ia makan jika berisi bulu ketiaknya. Jorok sekali wanita itu, pikir Adam. Dengan raut wajah santainya, Rini melanjutkan urusannya di kulkas.
Sambil pandangannya tetap pada kulkas, Rini menjelaskan kalau ia bekerja paruh waktu di toko kue itu. Sebenarnya dia tidak ada jadwal untuk bekerja hari ini. Tapi karena merasa perlu membawakan sesuatu untuk Adam, ia memutuskan untuk ke toko kue dan membuatkan satu kue untuk Adam. Ia tak punya pemanggang di panti asuhan untuk membuat kue itu.
Adam berusaha mencari topik lain untuk mereka bicarakan setelah merasa bersalah karena mengatakan hal yang tak pantas soal toko kue itu.
"Omong-omong, kenapa panti asuhanmu ditutup lebih awal?" ucap Adam setelah menemukan pertanyaan yang sekiranya pas.
"Mereka bilang mau membangun taman di sana." Gadis itu membalikkan badannya setelah selesai menata kulkas Adam. Ujung blusnya yang melambai karena gerakan perut besarnya menangkap mata Adam. Sejenak pikiran kotor menyelubungi kepalanya.
Adam melihat Rini beranjak ke tempat cuci piring dan memakai sarung tangan untuk mencuci piring. Ia langsung menghentikannya. Dengan wajah yang penuh kecemasan, Adam berkata, "Tidak usah dicuci!"
"Memangnya piring-piring ini bisa bersih sendiri?" tanya Rini lembut.
"Biar aku saja yang mencucinya." Adam segera bejalan ke tempat Rini berdiri. Ia menggeser tubuh wanita itu dengan halus, lalu mengambil sarung tangannya.
"Tapi kau sudah memasak untukku. Kini giliranku mencuci piring."
Adam menatapnya lekat-lekat. "Beristirahatlah. Kamu sedang bersama calon anak-anakku."
Adam merasa perkataannya itu akan sangat berarti bagi Rini. Ia menyombongkannya sekilas dengan senyum tengil yang mengembang di wajahnya. Ia memperhatikan pipi Rini yang mulai merona merah sekali.
"Ini soal keadilan, Adam. Kau sudah memasak. Ini giliranku mencuci piring," protes Rini.
"Ini soal keadilan, Rini. Kau sedang mengandung. Ini giliranku memperlakukanmu dengan baik."
Tampak guratan kesal di wajah cantik Rini yang menggemuk. Bibirnya yang memang tipis terbuka seperti ingin mengatakan kata-kata.
"Kenapa kau hobi sekali mengembalikan perkataan orang, sih?" kata Rini setelah mulutnya terbuka cukup lama. Dari raut wajahnya, Rini tampak kesal.
Ia akhirnya menyerah setelah Adam memegang kedua pundaknya dan dengan meyakinkan menyuruhnya beristirahat saja di ruang keluarga.
"Sudah selesai?" tanya Rini begitu Adam sampai di ruang keluarga tempat ia sedang menonton TV. Rini berbicara tanpa menoleh ke arah datangnya Adam. Pandangannya tetap pada TV besar yang menayangkan siaran dokumentasi panda itu.
"Ya, seperti yang sudah kau sadari."
Rini mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke Adam yang baru menghempaskan bokongnya ke sofa panjang yang sama dengan. Sepertinya segala bentuk omelan akan meluap dari mulutnya.
"Adam, kehamilan itu bukan suatu penyakit."
"Aku tahu," kata Adam langsung menimpali tanpa memberi jeda.
"Lalu, kenapa kau memperlakukanku seperti orang sakit?"
"Bagian mananya aku memperlakukanmu begitu?" Adam mengulurkan tangannya ke sandaran sofa hingga mendekati tengkuk Rini.
"Kau melarangku banyak bergerak hari ini. Itu aneh." Wanita itu mengerutkan keningnya. Tidak berapa lama ia menggaruk pelipisnya yang tampak basah oleh keringat. "Kau ini kenapa, sih?"
"Aku sudah pernah bilang padamu." Adam mendekatkan duduknya pada Rini. Antara keduanya kini hanya berjarak tidak lebih dari 20 cm. "Aku tidak tahu apa aku laki-laki yang pantas untukmu. Tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak kita."
Lagi-lagi Adam yakin bahwa tutur kata lembutnya itu mampu menggetarkan perasaan Rini. Ia tersenyum penuh kemenangan di wajahnya. Ia yakin beberapa saat lagi wanita di hadapannya itu akan mulai merasakan hal yang sama dengannya.
"Oh, iya. Kembali ke pembicaraan tadi. Jadi kau mau tinggal di mana setelah panti asuhanmu tutup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...