Bagian 42

188 8 0
                                    

Malam sudah semakin larut saat Rini duduk sendiri menghadap halaman belakang rumah.

Baru saja ia dan Adam menyelesaikan makan malam penuh kesunyian menghadap halaman belakang. Sebagian besar keheningan itu terjadi karena Rini terlalu sibuk dengan makanannya. Adam juga tidak merasa perlu mengganggunya makan dengan lahap seperti tadi. Yang Rini tahu, Adam beberapa kali memandanginya dalam diam selama makan malam.

Sebagai gantinya, dari kursi di halaman belakang itu, Rini memandangi Adam yang sedang mencuci piring di dapur dalam diam. Ia menopangkan dagunya di sebelah tangannya. Senyumnya beberapa kali mengembang melihat wajah tampan Adam di sana. Tidak ada perdebatan siapa yang mencuci piring kali ini. Rini berpikir tidak perlu lagi mendebat pria itu hari ini. Rini sadar Adam adalah sumber kebagahiaannya kini. Karena itu, ia tidak ingin merusak momen bahagianya yang tengah dimanja pria itu.

Terlihat Adam beranjak dari balik tempat cuci piring. Sosoknya menghilang terhalang tembok yang memisahkan dapur dan ruang tamu rumah itu. Sepertinya Adam tidak berniat mendatangi Rini yang sendirian di halaman belakang. Saat itu pandangan Rini kembali ke hamparan rumput di depannya. Ada sesuatu yang memancingnya untuk berbaring di atas rumput itu seperti malam sebelumnya. Tapi, ia sadar hanya mengenakan kaus Adam yang kebesaran dan celana dalamnya. Akan buruk jika tetangga melihat dari jendela mereka cara berpakaian Rini seperti ini. Sebab itu, dia tidak beranjak dari kursi itu.

Rini hampir terlelap di sana sekitar dua puluh menit berselang, sebelum suara berat Adam memanggilnya dari dapur. "Kau mengantuk?" Kalau ia mengingat kembali, sepertinya ini suara Adam yang ia dengar setelah beberapa jam. Sejak mengajaknya makan malam, tidak ada obrolan sama sekali di antara keduanya.

"Tidak juga," ucapnya sambil menoleh ke arah datangnya suara.

Pria itu sudah mendekatinya dan melihat ke arahnya lebih cermat. "Tadi kulihat kau memejamkan matamu untuk sesaat."

Rini mencoba mencari alasan. "Aku mencoba mendengar embusan angin saja."

Adam hanya bergumam saja dengan dagu yang mengerut. Pria itu lalu berjalan ke arah hamparan rumput yang cukup luas di halaman belakang. Terlihat ia membawa sebuah tas jinjing di tangan kanannya. Ia menunduk setelah menurunkan tas itu ke rumput. Karena penasaran, Rini menegakkan duduknya dan mencoba mencuri lihat melewati tubuh pria itu. Tidak begitu lama beberapa batang besi terlihat keluar dari tas itu. Pria itu menyusunnya. Rini menyadari kalau Adam sedang membuat tenda di sana, begitu melihat bagian terbesar yang telipat rapi dikeluarkan dari tas yang sama. Tidak butuh waktu lama Adam mendirikannya.

"Tunggu sebentar, ya. Aku mau ambil perapian dan alas untuk di dalam." Pria itu kembali masuk ke dalam rumah setelah berkata begitu pada Rini.

Rini berdiri dan mendekati tenda tersebut. Hatinya berdebar melihat tenda yang hanya muat untuk dua orang dewasa di depan matanya.

"Buat apa Adam mendirikan tenda?" tanyanya dalam hati.

Atau mungkin Rini tidak sengaja menggumamkannya.

Itu karena Adam berkata, "Aku bosan tidur di kamar," seolah ia menjawab pertanyaan dalam hati Rini tadi.

Di tangannya, Adam menenteng kasur lipat yang kira-kira seukuran pas tenda itu. Dengan cepat ia menatanya di dalam tenda. Setelah itu, ia kembali ke dalam rumah sekali lagi. Benar seperti dugaan Rini, kasur lipat itu berukuran persis seperti dasar tenda. Ia melihatnya dari celah untuk masuk ke tenda yang dibiarkan terbuka.

"Masuklah," kata Adam dengan suara beratnya yang menghangatkan.

Pria itu kembali membawa sebuah perangkat yang belum pernah Rini lihat sebelumnya. Saat ditanya itu apa, Adam menjelaskan sambil menyalakan perangkat itu kalau perangkat itu adalah pemanas portabel. Saat itu Rini sudah duduk di atas kasur lipat di dalam tenda. Adam masuk ke dalam tenda setelah memastikan perangkat itu bekerja dengan baik. Ia langsung merabahkan badannya begitu saja di terjauh dari celah pintu masuk.

"Jangan lupa tutup ritsleting pintunya kalau sudah mau tidur. Juga lampu kecil ini." Adam menunjuk lampu yang baru Rini sadari keberadaannya di dekat kepala Adam.

"Percuma saja mematikan lampu itu. Lampu-lampu dari rumah tetap menyala dengan terang." Tidak lama setelah Rini mengatakannya, ia terkejut karena lampu-lampu dari rumah padam hampir bersamaan. Rumah itu sekarang benar-benar gelap. Hanya lampu taman di beberapa titik di sekitar halaman yang masih menyala. Selain penerangan lampu taman, hanya ada lampu kecil di dekat kepala Adam yang menerangi sekitar mereka berdua.

"Aku belum pernah menjelaskan padamu kalau lampu-lampu rumah ini memang punya teknologi lampu pintar. Jadi, aku bisa mematikan lampu-lampu itu melalui ponselku." Adam mengayun-ayunkan ponselnya di tangan. "Selamat malam," ucapnya sambil berbaring ke sisi terjauh memunggungi Rini.

"Adam," ujar Rini segera. Ia merasa perlu mendekat ke sisi pria itu.

Dengan perlahan, Adam membalikkan tubuhnya. "Ada apa?"

"Apa kau masih akan tetap menikahiku setelah mendapat tentangan dari keluargamu?" tanya Rini dengan suara bernada ragu. Ia masih duduk di sisi Adam.

"Kau terlihat tegang. Berbaringlah di sisiku." Perkataan Adam ini membuat Rini menurutinya untuk berbaring. Mereka saling menatap satu sama lain dengan sinar lampu kecil yang menerangi wajah keduanya. Adam mencoba membuat dirinya nyaman dengan mengganjal kepalanya dengan tangan kirinya sembari tetap berbaring. "Sudah kubilang, tidak usah memikirkan perkataan mereka. Aku akan tetap menikahimu jika kau sudah bersedia."

"Apa kau yakin?"

"Apa yang membuatku tidak yakin? Kita sedang menanti sepasang buah hati. Kalau aku tidak menikahimu segera, bisa-bisa anak-anak kita lahir tanpa bisa mendapat pengakuan negara sebagai anak-anakku."

"Apa tujuanmu menikahiku hanya sebatas untuk bertanggung jawab pada anak-anak ini saja?" tanya Rini. Ia menambahkan, "Kalau begitu, benar kata ayahmu. Berikan saja uang padaku untuk biaya membesarkan anak."

"Aku kemarin berjanji padamu untuk mencintaimu dengan tulus, kan? Itu artinya, aku tidak hanya menginginkan anak-anak kita. Aku juga menginginkanmu." Matanya terlihat sungguh-sungguh.

Rini tidak menjawab apa-apa. Ia berusaha menerima perkataan Adam ini. Ia mencoba percaya akan janjinya. Jika dilihat dari matanya, pria itu tak mengatakan omong kosong. Ia serius.

"Apa boleh aku percaya pada janjinya," ucapnya jauh di dalam relung hatinya. Kali ini ia tahu mulutnya tak mengucapkan itu.

Meski begitu, Adam mendekat ke tubuhnya. Pria itu memindahkan lampu kecil di antara wajah keduanya. Begitu Adam mematikan lampu itu, Rini hampir tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya siluet bergaris-garis wajah yang indah. Adam lalu mengangkat kepala Rini dengan tangan kanannya dan menyelipkan lengan kirinya sebagai bantalan. Setelah itu, ia mendekap Rini ke dalam pelukannya yang hangat.

Setiap embusan napas Adam terasa dengan lembut di ujung kepala Rini. Beberapa kali juga belaian lembutnya menghangatkan tubuh Rini yang semakin nyaman dalam dekapannya.

"Hanya kita berdua yang bisa menentukan kelanjutan hidup kita."

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang