Bagian 7

464 24 0
                                    

Gambar yang terpancar dari proyektor usang itu bergerak cepat hingga seorang anak laki-laki melambai. Anak laki-laki itu meneriakkan kata yang sama. "MAMA." Senyuman anak laki-laki itu menyegarkan. Siapapun ibunya, kalau melihat senyum itu di kala sulit sekalipun akan ikut tersenyum melihatnya.

Sorotan gambar kini memperjelas anak laki-laki itu. Pakaiannya amat rapi seperti pangeran di sebuah kerajaan Eropa. Celana pendek dengan kaus kaki nyaris mencapai lutut menjadi ciri khasnya.

Ia berdiri di sebuah alas karpet berwarna utama merah. Karpet itu bagus sekali bagai permadani terbang aladin. Di atas karpet itu berjajar beberapa kotak yang berisi makanan. Sepertinya anak itu sedang piknik dengan keluarganya.

Orang yang membawa kamera dan merekam anak-anak itu mendekati tempat anak laki-laki itu berdiri. Tangannya masih terlihat bergandengan dengan anak perempuan. Rambut kekuningan anak itu indah. Poni sejajarnya menambah kesan imut pada anak itu.

"Kakak, Papa sudah bilang, kan, Mama enggak bisa lari-lari gitu. Sekarang di perut Mama ada adik kalian berdua." Suara berat seorang pria datang dari arah belakang orang yang merekam.

Kedua anak kecil itu menoleh ke arah datangnya suara.

Suara berat pria tadi terdengar lagi tapi lebih lembut. Menyuruh si pemegang kamera untuk duduk. Ia langsung menurut.

Melihat senyuman itu, pria tadi menjulurkan tangannya ke arah kepala wanita itu. Ia membelainya dengan lembut. Pria itu sepertinya memeluk wanita yang memegang kamera itu.

Rini terbangun karena merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya. Ia merasa seperti tubuhnya baru saja dipeluk oleh seorang pria. Ia juga merasakan pipinya memerah.

Ia melihat sekitarnya dan tidak ada siapa-siapa. Hanya pemandangan yang biasa ia lihat jika bangun pagi di kamarnya. Ia mencoba mereka kembali mimpi yang ia alami barusan sambil berusaha untuk duduk.

Rini belum pernah melihat mimpi itu sebelumnya. Biasanya mimpi yang seperti itu akan berhenti ketika anak laki-laki berteriak memanggil ibunya.

Jam di layar ponsel Rini sudah menunjukkan pukul empat lewat saat ia melihatnya. Ia teringat kalau siang tadi ia baru selesai ujian skripsi. Entah hasilnya akan seperti apa.

Saat ia ke dapur mencari minum untuk menghilangkan dahaganya, ia bertemu Bu Hilda yang sepertinya baru pulang dari Dinas Sosial. Wanita itu bertanya mengenai ujian Rini hari ini. Ia hanya bisa mengatakan apa adanya.

Rini menyerah untuk mengambil minuman bersoda di dalam lemari pendingin. Entah makanan busuk apa yang tersimpan di dalamnya. Ia sangat enggan melihatnya ke dalam karena baunya itu membuat ia mual.

Akhirnya ia memutuskan untuk meminum air putih saja. Ia sudah meminum setidaknya tiga gelas sebelum menuang air lagi ke dalam gelasnya dari dispenser.

"Oh, iya, Rin. Itu buburnya di dandang, ya."

Suara Bu Hilda yang berjalan meninggalkan dapur terdengar jelas. Tapi Rini melongo saja. Di kepalanya terus bertanya mengapa wanita itu memberi tahunya keberadaan bubur.

Tapi tidak begitu lama wanita itu kembali ke dapur. Ia bilang ia tahu kalau Rini sedang tidak enak badan. Karenanya ia membuatkan bubur.

"Benar juga. Aku belum makan dari pagi," ungkap Rini.

Ia langsung mengambil piring dan sendok lalu mengambil bubur dari dandang.

"Kamu enggak ke dokter aja, Rin?" tanya Bu Hilda yang sepertinya daritadi terus memperhatikannya.

Rini menggeleng. Setelah itu ia duduk di meja makan.

"Kayaknya aku ketularan Endra tifus, deh, Bu," ujar Rini sebelum menyantap buburnya.

"Masa iya. Endra, kan, sakitnya udah bulan lalu, Rin."

Memang masuk akal.

Tapi Rini masih berpikir kalau yang ia rasakan saat ini adalah gejalan tifus yang mungkin tertular dari Endra. Entahlah, ia tak mau memeriksakan dirinya ke rumah sakit.

Ia mulai menyuap bubur yang masih hangat itu melewati kerongkongannya. Rasanya tidak ada. Itu memang bubur saja. Tanpa ada tambahan apapun.

Setidaknya ia berhasil memasukkan bubur hingga suapan kelima.

Karena setelah itu perutnya kembali merasa tidak nyaman. Ia spontan beranjak dari kursinya dan menuju ke wastafel.

Di sana ia memuntahkan semua yang baru saja ia makan.

Ia tidak tahu mengapa tubuhnya menolak makanan seharian ini. Ketika ia berhasil memasukkan makanan ke tubuhnya, tubuhnya itu melontarkannya kembali ke luar.

Akhirnya ia hanya bisa meminum air putih.

"Secepatnya kamu ke dokter, Rin," ucap Bu Hilda meminta.

"Paling butuh istirahat saja, Bu," kata Rini dengan tenang.

Wanita itu menyampaikan kekhawatirnnya. Padahal mulai malam ini hingga seminggu ke depan ia harus berada di luar kota untuk pekerjaan dari Dinas Sosial. Ia merasa tidak tega meninggalkan Rini sakit.

Rini menenangkannya kalau ia tidak apa-apa. Lagipula di panti asuhan ada anak-anak lain yang bisa membantunya kalau ia benar-benar sakit.

"Ibu berlebihan, deh," kata Rini yang sedang mencuci piring bekas buburnya.

Sepertinya hari ini selain perutnya yang bermasalah, hidungnya juga bermasalah. Ia mencium bau tidak enak dari deterjen pencuci piring. Padahal itu merek yang biasa mereka gunakan di panti asuhan. Ia sendiri tak pernah mengeluhkan soal itu sebelumnya.

Ia benar-benar merasa aneh.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang