Sambaran tangan Adam pada jari kelingking Rini yang tersemat cincin mengejutkan Rini. Awalnya, ia hanya ingin sejenak merasakan motif yang terukir di cincin itu dengan telunjuknya. Namun sepertinya pria itu salah mengartikan gerakannya itu. Rini menatap mata penuh ketakutan dari pria itu tampil di wajah tampannya.
"Tolong jangan tolak aku," ucapnya untuk yang kedua kali dalam semenit ini. "Aku akan membelikan yang lebih besar lagi nantinya agar pas di jari manismu. Jadi, pakai ini dulu sementara."
Rini terkikik menyaksikan Adam seperti itu. Ia merasa perlu untuk mengucapkan sesuatu agar pria itu tak salah mengartikan gerakannya tadi.
"Adam, apa aku mengucapkan sesuatu yang membuatmu mengartikan aku menolak semua kebaikanmu?" tanya Rini dengan nada yang lugas.
Adam membenarkan posisi duduknya sedikit dan mengusap dagunya yang tumbuh janggut tipis yang sama tipisnya dengan kumisnya. Ia berdeham sekali sambil terlihat berpikir. "Kurasa tidak ada," jawabnya dengan senyum nakal terukir di wajahnya. Adam yang sok keren kembali lagi hadir di sana.
Rini mengukir senyum manis penuh penerimaan di wajahnya. Rasanya baru kali ini dia melihat Adam mengubah-ubah ekspresi di wajahnya hanya dalam waktu yang singkat. Atau mungkin Rini memang tidak pernah tahu kalau Adam orangnya seperti itu dari awal? Rini berharap ia tidak terlambat untuk bisa mengenal Adam lebih jauh.
Setelah keheningan yang tercipta, akhirnya Adam berinisiatif untuk mengajak Rini berkeliling rumah itu. Ia bahkan dengan lembutnya mengulurkan tangannya untuk membantu Rini bangun. Dengan wajah datar, Rini menolak uluran tangan itu. Ia menyesal karena perutnya berat sekali. Rasa kesemutan juga menjalar di pantatnya meski duduk di sofa yang sangat empuk.
Pertama, Adam menunjukkan kamar tidurnya. Kesan pertama Rini terhadap kamar itu sama seperti siapapun yang melihatnya. Rapi sekali. Kasur berukuran besar berada tepat di tengah kamar itu bersandar pada dinding di sisi kiri pintu. Lemari besar yang Rini duga sebagai lemari baju menjulang hingga langit-langit kamar di sebelah kasur, dekat dengan pintu. Selanjutnya yang membuat Rini terkagum adalah meja televisi dari kayu yang dibuat sederhana dan minimalis. Di atasnya televisi berukuran amat besar bertengger. Selain meja kerja dan meja riasan becermin, tak ada lagi perabotan di sana.
Rini bertanya-tanya di mana satu set sofa besar dan meja televisi yang ia tunjuk saat itu. Set sofa yang ada di ruang keluarga tadi jelas bukan yang ia pilih. Namun pertanyaan dalam hatinya itu terjawab ketika Adam membawanya ke ruangan yang Adam sebut sebagai ruang menonton. Rini terkejut bukan main melihat televisi berukuran jauh lebih besar dari dua televisi di ruang lainnya itu ada di atas meja yang ia pilih waktu itu. Di kedua sisi televisi raksasa itu ada pengeras suara. Sofa yang ada di sana juga merupakan pilihan Rini. Rasanya jauh lebih besar daripada yang Rini lihat di toko perabotan saat itu.
"Kau mempunyai tiga TV di rumahmu? Untuk apa?" tanya Rini dengan polosnya.
"Semuanya berada di ruangan yang berbeda, kan?"
Rini mengangguk.
"Kalau begitu kegunaannya berbeda."
"Tapi, semuanya TV," kata Rini masih dengan penasaran.
"Kau akan tahu perbedaannya kalau tinggal di sini."
Sesederhana itu Adam membuat Rini menghapus minatnya untuk bertanya lebih jauh soal TV-TV besar itu. Ia bahkan langsung keluar dari ruang menonton berharap Adam membawanya ke ruangan lain.
Ruangan selanjutnya adalah ruangan bayi yang Adam siapkan. Tentu saja belum ada apa-apa di dalamnya. Hanya beberapa carik kertas berwarna-warni menempel di salah satu dindingnya.
"Kau mau menentukan warna kamar untuk Bayi A sekarang?" tanya Adam mendekati dinding yang tertempel kertas-kertas itu. "Tinggal pilih kertas yang mana, maka warna kertas itu akan jadi warna dinding ini."
"Tunggu dulu. Bayi A?" tanya Rini berbalik. Apa maksud pria di depannya itu ia akan memisahkan kamar dua bayi kembar dalam kandungan Rini nantinya?
Adam memiringkan kepalanya sejenak. Entah bagaimana caranya, pria itu tahu ke arah mana maksud pertanyaan Rini itu. "Kamar Bayi B di sebelah."
"Kau berencana memisahkan kamar bayi?" tanya Rini dengan nada agak tinggi.
"Normalnya begitu," ucap Adam sambil mengalihkan pandangannya pada kertas berwarna-warni di dinding. "Tapi kita belum tahu jenis kelaminnya. Jadi, kita tentukan lain kali saja, ya."
Bukan itu yang ingin Rini dengarkan sebagai jawaban dari pertanyaannya. Satu kamar untuk dua bayi kembar sudah cukup hingga mereka tumbuh besar nanti. Kamar yang lainnya seharusnya bisa digunakan untuk hal lain. Rini benar-benar bingung dengan cara pikir orang kaya seperti Adam. Bisa-bisanya dia berpikir untuk menghabiskan ruang untuk hal tidak berguna.
Mereka beralih ke kamar Bayi B. Masih sama dengan kamar sebelumnya, hanya beberapa kertas berwarna yang menempel di salah satu dindingnya saja yang bisa dilihat di kamar itu.
Saat membimbing Rini keluar dari kamar itu, Adam tidak menunjukkan tempat lain karena hanya ada dapur yang tentunya sudah Rini ketahui dan taman belakang yang terlihat dari dapur melalui pintu kaca geser. Untuk gudang peralatan dan tempat mencuci pakaian, hanya Adam jelaskan sekilas dari luar saja. Ia bilang ia meletakkan celana dalamnya menggantung di atas mesin cuci. Tentu saja membuat Rini enggan masuk.
Rini menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa di ruang keluarga. Rasanya lelah juga berkeliling rumah itu. Ia mengelus perutnya karena merasa itu sudah menjadi kebiasaannya ketika merasa kelelahan.
Adam yang duduk di sampingnya tiba-tiba mendekatkan tubuhnya. Saat Rini menatapnya, Adam malah memalingkan wajahnya dari Rini. Saat Rini bertanya apa ada yang ingin Adam katakan padanya, Adam menggeleng cepat. Padahal tadi ia sempat terlihat ingin mengatakan sesuatu sebelum Rini menatapnya.
"Aku hanya ...," ucap Adam menggantung. Ia memandang lurus perut Rini.
"Apa?" tanya Rini sambil mengelus perutnya tanpa sadar.
Adam berdeham sekali masih dengan pandangan di perut Rini. "Perutmu ...."
Rini sepertinya mulai menangkap tatapan Adam pada perutnya. "Kenapa perutku?" tanyanya. Ia menghentikan elusan pada perutnya sendiri begitu melihat jakun Adam bergerak naik turun sekali. Sekejap Rini berpikir kalau pria itu mesum. Tapi setelah ia membelalak galak, Adam akhirnya menyelesaikan kata-katanya.
"Aku ingin mengelus perutmu." Adam terdengar agak malu-malu kali ini.
Rini tersenyum manis sekali. Ia langsung menarik tangan Adam. "Lagipula, mereka anak-anakmu juga, kan? Kenapa malu-malu?"
Di luar dugaannya, tangan besar Adam membelai di sekitaran perut Rini dengan lembut. Dari wajahnya Adam terlihat sangat bersemangat. Sorot matanya yang penuh kasih menatap perut itu membuat hati Rini berdebar-debar. Senyuman manis yang mengembang juga membuat Rini ingin meneteskan air mata bahagianya. Ia menjulurkan tangannya ke pipi Adam hingga pria itu terkejut. Ia memberikan belaian di sana selembut belaian pria itu di perutnya.
"Aku yakin anak-anak kita akan memiliki ayah yang hebat," ucap Rini sambil terus membelai pipi pria itu yang perlahan memerah.
"Itu karena mereka memiliki ibu yang hebat juga." Adam tersenyum saat menyelesaikan kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...