Bagian 23

396 19 0
                                    

Jantung Rini berdegup sangat cepat. Terasa getaran di tubuhnya yang membuat bulu kuduknya berdiri. Entah kenapa akalnya tidak menyuruhnya untuk menjauhkan badannya dari pelukan pria itu. Padahal ia masih punya jarak beberapa senti dari besi pembatas yang cukup untuk dirinya mengelak dari pelukan.

Matanya terbelalak bukan karena indahnya pemandangan malam ibukota dari menara itu. Mata yang indah itu benar-benar menyiratkan bahwa ia tidak tahu harus melakukan apa.

Setelah beberapa menit memeluk tubuh Rini dari belakang, pria itu mulai melepaskan pelukannya.

Kehangatan dari pelukan itu masih terasa di setiap bagian tubuh Rini yang bersentuhan dengan tubuh pria itu.

Instingnya menyuruh ia untuk menoleh ke belakang setelah pelukan itu benar-benar lepas. Ia masih dengan mata terbuka lebar menatap pria itu.

Wajah pria itu terlihat harap-harap cemas meski ia sempat membesitkan senyum manis.

Mereka berdua sama sekali tidak mengindahkan orang-orang di sekitarnya yang kini sedang memperhatikan mereka.

Mata Rini berkedip untuk beberapa kali dengan cepat. Ia menunduk dan tatapannya menuju ke salah satu kancing jas pria itu.

Keadaan tanpa kata-kata terus menyelimuti keduanya hingga sampai kembali ke mobil. Adam memutuskan mebawa Rini kembali ke mobil setelah melihat sekitarnya yang terus memperhatikan mereka.

Rini sangat ingin sekali penjelasan dari pria di sampingnya itu soal pelukannya tadi. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda pria itu akan menjelaskannya.

Karena itu, gadis itu mulai bertanya, "Apa maksudmu?"

Pria itu menatapnya dalam-dalam. Mobil itu memang masih dalam keadaan berhenti meski mesin dan lampu depannya sudah menyala. Ia sempat membenarkan posisi duduknya sebentar.

"Soal perkataanku?" tanya pria itu tampak tidak mengerti pertanyaan Rini sebenarnya.

Jujur saja ia ingin pria itu terlebih dahulu menjelaskan mengapa ia memeluknya. Baru setelahnya penjelasan mengenai perkataannya. Tapi jika urutannya terbalik juga tidak masalah. Rini juga penasaran di bagian itu.

"I-Iya."

Pria itu terlihat seperti menelan ludahnya. Sekian detik setelahnya ia membasahi bibirnya dengan lidahnya.

"Hidup ...." Mata pria itu berkeliaran ke mana-mana tak mampu menatap Rini secara lurus. "Bersamamu." Kata ini ia ucapkan cukup lirih.

"Apa?" tanya Rini karena ia memang tidak mendengar bagian terakhirnya.

"Aku ingin ... Hidup bersamamu."

"Apa?" Rini kembali bertanya hal yang sama.

Padahal pria itu sudah mengatakan dengan cukup jelas.

"Aku ingin hidup bersamamu."

Kali ini pria itu benar-benar mengucapkannya dengan lugas.

"Hei, tunggu dulu. Aku tidak mengerti."

"Bagian mana?" tanya pria itu yang kini sudah berani menatap Rini.

"Kalimatmu itu. Apa maksudmu ingin hidup bersamaku?"

Rini memegang keningnya dengan kedua tangannya. Ia merasa bingung bagaimana cara mengolah perkataan pria itu.

Tidak masuk akal seorang yang sudah mencampakkannya itu berkata seperti itu tiba-tiba. Bahkan malam yang tadinya mendung tak jadi mengguyurkan hujan di akhir bulan Agustus ini.

"Oh, maaf. Maksudku, kita semua. Aku, kau, dan anak-anak kita."

Rini membatin, "Anak-anak kita katanya?"

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang