Di tengah dinginnya malam itu, acara makan malam perpisahan Panti Asuhan Harapan berjalan meriah. Meski acara perpisahan, tapi tak tampak haru yang menyelimuti anak-anak panti asuhan itu. Mereka bersuka ria, sesekali berebutan membakar suatu hidangan di perangkat barbeku yang hanya ada tiga buah. Selesai membakar sosis, ada yang meminta jagungnya dibakarkan. Adam yang sejak tadi berdiri tampak kewalahan membakar permintaan anak-anak itu. Namun, ia juga tampak menikmati momen ini.
Melihat senda gurau yang mengalir di antara adik-adik sepengasuhannya dengan Adam, Rini merasa bahagia. Baik Adam maupun adik-adiknya itu, terlihat seperti saling memiliki. Mereka terlihat begitu dekat meskipun belum lama saling kenal. Bahkan di panti asuhan sekalipun, Rini belum pernah melihat adik-adiknya tertawa begitu lepas saat makan malam bersama.
Setelah bahan makanan habis dan semua sudah merasa cukup, satu per satu dari mereka meninggalkan halaman belakang itu. Tak lupa juga mereka merapikan semuanya seperti semula. Canda masih mengalir selama mereka berjalan ke dalam rumah tua itu. "Aku mandi duluan," atau, "Aku mau lanjut nonton TV," keluar dari mulut beberapa di antara mereka yang bersahut-sahutan saat memasuki rumah. Hanya tertinggal Adam, Rini, dan Bela di halaman belakang itu. Sementara Adam mengurusi sampah sisa acara mereka, Rini dan Bela hanya duduk-duduk saja menatap ke arah bukit yang sudah temaram.
"Sudah bisa tahu jenis kelamannya, Kak?" tanya Bela. Setelah itu, ia meneguk minuman bersodanya dari gelas kertas yang dari tadi ia pegang.
"Sudah. Laki-laki dan perempuan," jawabnya.
Karena sudah cukup lama tidak berjumpa, Bela cukup banyak bercerita mengenai kehidupan perkuliahannya yang semakin sibuk. Di semester selanjutnya, ia bilang ia sudah harus mengikuti magang di sebuah perusahaan. Rini cukup antusias membahas perusahaan yang akan dituju gadis itu. Semakin jauh membahas kehidupannya, Bela mencoba mengganti topik dengan menanyakan Rini soal kehidupannya bersama Adam beberapa minggu ini.
Adam bergabung dengan keduanya begitu perbincangan mengenai ia dan Rini yang tinggal bersama dimulai. Ia menjawab pertanyaan Bela lebih dulu, "Aku sudah mulai terbiasa melihat wajah Rini saat baru bangun."
"Pasti rambutnya yang berantakan membuat mukanya tampak buruk, ya, Kak?"
Adam mengangguk. "Benar," tambahnya.
Rini menyikut perut Adam dengan manja karena pernyataannya itu.
"Tapi, aku suka melihatnya seperti itu setiap pagi." Adam dengan sekejap membuat Rini tersipu malu dengan kalimatnya itu. Di sisi lain, Bela malah semakin menggoda keduanya.
Obrolan ringan mereka berhenti sampai situ karena Bu Hilda menghampiri mereka dengan penuh keheranan di halaman belakang itu. "Nak Adam, ada yang mencarimu."
"Siapa, Bu?" tanyanya. Namun, saat Adam berbalik ke arah rumah, ia bisa melihat kedua orang tuanya berjalan di belakang Bu Hilda menuju ke arah mereka.
"Bisa-bisanya kamu mengundang orang-orang ini ke vila keluarga, Adam," ujar si ibu.
"Mengapa aku tidak bisa, Rose? Aku ini pewaris keluarga Haryoseno. Aku berhak menggunakan vila ini kapan pun saat aku menginginkannya."
"Tapi tidak dengan acara ini, Adam," ujar ayahnya menukas.
Si ibu menimpali, "Benar, Buzz. Kita harus menyewa jasa pembersih rumah agar rumah ini terbebas dari kotoran-kotoran yang mereka bawa."
"Apa?" ujar Adam dengan nada meninggi.
Ayah Adam menyunggingkan bibirnya. Ia berkata lebih ke pada Bu Hilda, "Duduklah, Nyonya. Sepertinya kau pengurus panti asuhan mereka ini. Aku bersyukur kalau memang kau orangnya, karena aku ingin membahas satu hal yang penting."
Bu Hilda mengikuti perintah ayah Adam. "Ada apa?" tanyanya setelah duduk di sebelah Bela.
"Aku dengar, salah satu anak asuhmu suka berkeliaran di bar setiap malam untuk menggoda lelaki kaya seperti anak kami ini. Sayangnya, anakmu itu hamil entah dengan siapa. Tapi, ia meminta pertanggung jawabannya pada anak kami yang sebenarnya mandul."
"Apa?" ucap Bu Hilda terperanjat kaget. Bela juga tampak tercengang mendengar kalimat terakhir ayah Adam itu.
"Ayah ...." Perkataan Adam terpotong.
"Ia memeriksakannya sendiri ke dokter yang paling kami percayai. Jadi, tidak mungkin anak yang dikandung itu adalah anak dari Adam."
Sejenak tatapan Bu Hilda dan Bela tertuju pada Rini yang mulai berkeringat. Badannya bahkan gemetar karena ketakutan.
"Mungkin, ia tahu ayah biologis bayinya itu miskin?" ucap si ibu menambahkan.
"Ayah, tidak seperti itu. Aku ini ...."
"Hentikan, Adam. Aku tidak mau mendengarmu berspekulasi di sini. Aku hanya ingin menyudahi semua ini dan memberikan yang terbaik untuk keluarga kita." Ayah Adam mengalihkan pandangannya kembali ke arah Bu Hilda. "Namun, aku menangkap tujuan anak asuhmu itu semata-mata karena uang. Jadi, aku akan memberikannya. Lagi pula, kudengar ia mengandung anak laki-laki. Keluargaku bisa mengadopsi anak itu sebagai anak Adam dan menyatakan anak ini lahir dari ibu pengganti. Tentunya, anakmu akan mendapatkan apa yang ia mau."
Ingin sekali Rini menyangkal semua perkataan ayah Adam. Tapi, ia tak mendapat kekuatan untuk melakukannya. Salah satu sumber kekuatannya, hanya bisa bergeming di sampingnya setelah terus dibungkam.
"Aku juga akan mengizinkannya tinggal di rumah Adam sampai melahirkan. Kami juga akan membiayai segalanya. Bagaimana?"
"Tidak bisa, Ayah. Yang ia kandung itu benar-benar anakku. Aku yakin mukjizat datang pada kami sehingga kami bisa punya anak."
"Adam, sayangnya ayahmu ini percaya pada ilmu pengetahuan. Kau terbukti tidak bisa punya anak melalui penelitian. Mukjizat itu hanya omong kosong." Selanjutnya, pria tua itu menatap serius pada Rini, membuatnya semakin gemetar. "Bagaimana, Nona? Kau akan hidup bahagia setelah melahirkan. Tabunganmu akan cukup untuk membiayai kehidupanmu beberapa tahun ke depan. Dan kalau kau masih suka bermain di bar setiap malam, kau mungkin akan beruntung mendapat pria yang lebih bodoh dari Adam."
"Tidak," ucap Rini lirih. "Aku bukan perempuan seperti yang Ayah katakan."
"Kau berani memanggil suamiku dengan Ayah? Kau pikir siapa dirimu?" potong si ibu dengan ketus dan penuh kebencian.
"Rose, kumohon padamu untuk tidak ikut campur urusan kelargaku," ucap Adam dengan tegas. Wanita itu langsung memandangnya penuh benci, namun Adam tidak menghiraukannya. "Ayah, seperti apa yang Rini bilang, dia bukan perempuan seperti yang Ayah katakan. Darinya aku belajar mencintai dengan tulus. Meski tidak ada buah hati di antara kami, jika aku mengenal Rini seperti sekarang ini, aku akan tetap menjadikannya perempuan yang ingin aku nikahi. Hanya dia yang aku inginkan."
"Adam, ini demi kebaikan keluarga kita. Aku juga sudah menyiapkan seorang wanita untuk kau nikahi. Kau hanya perlu mengambil anaknya, tidak perlu menikahi perempuan seperti dia."
"Benar. Terlebih dia lahir entah dari mana dan tinggal di panti asuhan. Asal-usulnya itu tidak jelas." Rose menambahkan.
Tersulut dengan ucapan si ibu, Bu Hilda membuka mulut untuk berkata, "Maafkan aku jika aku menyela, Nyonya. Tapi, bukankah kata-kata Anda itu tidak sopan sekali."
"Kau bilang aku tidak sopan? Lebih baik katakan itu pada dirimu sendiri."
"Anda berkata kalau asal-usul Rini tidak jelas. Tapi Anda mengatakan dia tinggal di panti asuhan. Itu sebuah kontradiksi. Anak-anak panti asuhan sudah merasa satu sama lain adalah keluarga mereka. Begitu juga dengan Rini yang bahkan lahir di panti asuhan. Kalau kau bilang dia lahir entah dari mana, aku bisa menjawabnya dia lahir dari rahimku. Aku ibu kandungnya."
Rini yang penuh keterkejutan akan pernyataan Bu Hilda itu menelengkan kepalanya menghadap wanita itu. Kepalanya langsung dipenuhi pertanyaan. Ekspresi tak jauh berbeda juga tampak pada wajah Bela. Tidak pernah sekali pun Bu Hilda membahas tentang hal ini sebelumnya.
"Aku tidak pernah berterus terang kepadanya selama ini. Aku hanya hanya ingin melindunginya sebisaku. Dan pernyataanku barusan juga merupakan upayaku untuk melindunginya dari mulut kasar Anda itu."
Suara kerikan tonggeret terdengar di sekitar halaman belakang yang kini berubah sunyi. Tampak betul suasana sudah berubah penuh tanda tanya. Hanya sepasang suami-istri tua yang tampak penuh kemenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...