Adam beranjak dari duduknya setelah menghela napas berat. Ia melepas setelan jasnya dan menaruhnya sembarangan di keranjang cuci di ruang cuci pakaian. Setelah itu, ia mengambil handuk untuk mengeringkan rambutnya dan keluar begitu saja dengan bertelanjang dada, kembali ke ruang tamu. Tatapannya bertemu dengan Rini yang sudah berdiri dari duduknya.
Tanpa ada kata-kata di antara keduanya, Adam berjalan memasuki kamarnya. Terdengar langkah kaki Rini mengikuti. Mungkin gadis itu ingin menjelaskan sesuatu pada Adam. Sebelumnya ia tampak cukup terganggu dengan ekspresi Adam.
Benar saja, Rini yang berada tepat di belakang Adam ketika ia sedang mengambil bajunya di lemari, angkat bicara, "Adam, biarkan aku menjelaskannya."
Adam menoleh ke belakang sambil mengaitkan kancing kemejanya. Tanpa bicara.
"Adam, seperti yang aku bilang. Ayahmu mengancamku. Aku tidak tahu seburuk apa ancamannya, tapi firasatku berkata itu buruk sekali. Pikiranku saat itu cuma ingin keselamatanku dan anak-anak kita. Bagaimana kalau ayahmu mengancam akan membunuhku? Pastinya kau juga enggak akan mau, kan?"
Adam menghela napasnya dengan berat lagi. "Rini, kalau yang kamu katakan itu jujur, aku kecewa denganmu." Adam menjeda perkataannya untuk mencari kalimat yang tepat. "Aku takut kita berpisah, aku takut aku tidak bisa melihat kedua anakku, aku takut hal buruk terjadi pada hubungan kita yang baru beberapa bulan terjalin. Tapi, kau? Kau takut akan ancaman ayahku? Dan lagi itu sesuatu yang bisa memisahkan kita. Aku kecewa, Rini."
Rini tampaknya tak sanggup menyangga satu perkataan pun yang keluar dari mulut Adam. Matanya mulai berlinang.
"Tapi, kalau kau memang tidak takut akan perpisahan di antara kita, baiknya kita berpisah Rini. Terima kasih untuk beberapa hari yang singkat ini."
"Adam, Adam. Tunggu. Dengarkan aku."
Saat itu, Adam sedang mengemasi pakaiannya sendiri ke dalam koper besar. Ia sama sekali tidak ingin mendengarkan perkataan Rini satu kata pun.
"Adam, setidaknya tolong mengerti alasanku mengapa takut akan ancaman ayahmu. Aku juga takut kehilanganmu. Kita sedang menunggu anak-anak kita lahir, Adam."
Sama sekali Adam tidak melihat wanita itu di belakangnya.
"Adam, kalau kau pergi, aku ikut pergi," katanya dengan suara yang mulai bergetar. Mungkin air matanya juga sudah mulai mengalir.
"Kau tinggallah di rumah ini. Aku memberikan rumah ini untukmu dan juga sebagai tempat tinggal untuk anak-anak kita. Aku juga akan terus membiayai anak-anak kita sampai dewasa. Katakan saja apa kebutuhan mereka kapan pun, aku akan memenuhinya. Aku tidak bisa bersamamu, Rini."
"Adam, kumohon, maafkan aku." Rini menangis sejadi-jadinya.
Terasa pelukan Rini di punggung Adam yang begitu erat. Ia menangis tidak karuan. Sepertinya baru ini ia mendengar tangis Rini yang bagai anak bayi itu.
"Rini, tolong lepaskan aku."
"Tidak. Sampai kapan pun, tidak. Aku mencintaimu, Adam. Tolong jangan pergi dari sisiku."
"Rini, keputusanku sudah bulat. Aku berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu, tapi kau mengecewakanku. Kurasa itu cukup untuk membuktikan kalau kau bukan seseorang yang tepat untukku."
"Adam, tidak. Jangan katakan itu."
Rini masih memeluk Adam seakan tak akan pernah melepaskan pria itu. Tangisannya juga semakin menjadi begitu Adam berhasil lepas dari pelukannya dan berdiri. Semua pakaiannya sudah dikemasnya dalam koper itu.
Saat Adam beranjak keluar dari kamar, Rini mengikuti dengan langkah cepat. Tampaknya Adam tak peduli bahwa Rini sedang mengandung dan bersusah payah untuk mengejarnya, karena ia terus berjalan keluar dari rumah. Hujan masih mengguyur dengan lebatnya.
"Adam, kalau begitu jawab pertanyaanku sebelum kau pergi."
Kali ini Adam menghentikan langkahnya dan berbalik badan seolah memberi Rini kesempatan terakhirnya. Ia mengisyaratkan agar Rini menanyakan apa yang ingin dia tanyakan itu.
"Lihat aku dengan saksama," ujarnya. Ia tetap seperti Rini yang beberapa hari ini Adam kasihi. "Kau tega meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?"
"Rini, caramu mengecewakanku itu yang membuatku bertindak setega ini. Lagi pula, aku berjanji untuk tetap bertanggung jawab pada anak-anak kita. Kau juga boleh memiliki rumah-rumah ini dan segala yang ada di dalamnya."
"Lalu bagaimana denganku yang sudah terlanjur mencintaimu? Bukankah kau pernah berjanji untuk mencintaiku dengan tulus? Apa itu cuma janji manis di mulutmu?"
"Rini, tolong jangan berlaga sebagai korban. Kau melukai perasaanku. Lalu, kau bilang kau terlanjut mencintaimu? Apa itu cuma janji manis di mulutmu?"
Tangisan Rini masih tetap tak terbendung. Ia belutut di Adam dan hampir meraih lutut pria itu untuk memohon maaf ketika pria itu menghindar.
"Adam, tolong maafkan aku. Berikan aku satu kesempatan lagi. Aku berjanji, aku tidak akan mengecewakanmu."
Namun Adam tidak menggubrisnya. Ia keluar begitu saja dari rumah dan berjalan menembus hujan deras ke mobilnya. Tidak lama terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, suara mobil itu sudah sama sekali tidak terdengar. Ia sudah pergi. Meninggalkan Rini yang masih menangis dengan lolongan yang memenuhi ruang tamu. Malam itu, hati Rini hancur sehancur-hancurnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/285342904-288-k780957.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
General FictionCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...