Terasa betul suhu badannya yang meningkat. Punggungnya juga terasa tidak nyaman. Beberapa tetesan keringat dingin mengalir dari lehernya. Beberapa lagi tetap membentuk bulatan-bulatan tak tentu ukurannya di sekitar dahinya. Rini juga merasakan tangannya gemetar. Pikirannya benar-benar seperti langit malam tanpa bintang-bintang. Mulutnya terkunci. Yang Rini tahu, Adam di sebelahnya menatapnya dengan khawatir untuk beberapa saat.
Setelah keheningan, Adam yang mungkin sudah memberanikan dirinya berbicara, mulai membuka mulutnya. "Tidak. Dia tidak seperti itu, Rose." Suaranya agak bergetar tapi tetap tegas. "Tidak seperti itu," lanjutnya.
"Adam, bersikaplah lebih baik pada ibumu," ucap pria tua itu dengan nada yang lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya.
"Memangnya kau tahu apa soal dia, Rose?" kata Adam yang sepertinya tak menghiraukan ayahnya.
Wanita yang dipanggil Adam sebagai Rose itu mendesah licik. "Tapi apa yang aku katakan tidak salah, bukan? Tanya saja pada perempuan itu, siapa ayahnya dan siapa ibunya."
Memang wanita itu benar. Rini tidak pernah bisa menjawab jika ditanya hal seperti itu. Ia sudah berada di panti sejak baru lahir. Ia hanya tahu bahwa seorang wanita menitipkannya di panti itu saat ia baru lahir. Itu pun hanya dari cerita-cerita yang ia dengar sejak kecil dari para pegawai panti asuhan. Ceritanya bernada serupa. Seperti yang selalu Bu Hilda ceritakan padanya. Lalu bagaimana dengan ayahnya? Tidak sepenggal pun cerita ia dengar mengenai ayahnya.
Di tengah kekalutan ini, Rini yang terus tertunduk hanya bisa menggaruk jari telunjuknya yang belakangan ia sadari menggemuk dengan kuku jari jempolnya dengan kasar. Ia bisa mengerti kekhawatiran Adam jika keluarganya tahu soal ini tanpa ada penjelasan apa-apa. Ia juga bisa mengerti sikap Adam yang sejak awal pertemuan ini banyak bicara dan tidak membiarkannya bicara. Sekarang Rini menyesalinya. Menyesal telah memarahi Adam yang seolah menyembunyikannya dari keluarganya dan menyesal karena menjawab pertanyaan orang tua dengan bodoh.
"Begini saja. Tujuan dia, kan, hanya uang. Jadi, berikan dia uang dan suruh dia segera angkat kaki dari sini," ujar wanita bernama Rose dengan ketus.
"Rose, sudah kubilang dia tidak seperti yang kau pikirkan," tegas Adam.
"Adam!" Pria tua itu membentak.
"Ayah, aku tahu ini menyalahi tradisi keluarga kita. Tapi, aku mohon buat pengecualian untukku. Aku bertanggung jawab atasnya dan anak-anak kami."
"Sepertinya perempuan ini sudah meracuni pikiran anak kita." Wanita itu masih berkata dengan nada ketusnya yang sama. "Berapa uang yang kau inginkan?" tanyanya saat menatap ke arah Rini yang masih tertunduk.
"Cukup, Rose!" Adam membentak lebih keras. "Kalian mungkin menganggapnya yang tidak-tidak. Tapi aku tahu, dia ibu dari anak-anakku. Aku akan melakukan apa saja untuknya dan anak-anakku."
"Mengapa kau bisa begitu yakin?" tukas pria tua itu. "Aku setuju dengan perkataan ibumu. Anak yang tinggal di panti asuhan biasanya bukanlah orang baik-baik. Karena mereka tumbuh di tempat itu tanpa didikan yang baik. Adam, sadarlah. Dia hanya memanfaatkanmu untuk memerasmu."
"Ayah, kenapa Ayah juga ikut berpikir begitu? Itu tidak benar, kubilang."
"Kau yang tidak benar, Adam. Kau bisa begitu yakin anak dalam kandungannya adalah anakmu. Bagaimana bisa?"
"Karena aku tidur dengannya. Itu wajar untuk sepasang orang dewasa yang menghabiskan malam dengan seks dan memiliki anak."
"Aku tahu kau sudah tidur dengan banyak wanita, Adam. Lalu, apakah mereka hamil?"
"Sudah kubilang, Buzz. Perempuan murahan ini sudah mengacaukan pikirannya. Sudah tidak tahu ayahnya sendiri, ia mungkin juga tidak tahu siapa ayah dari anak-anaknya. Lalu, ia mengatakan itu kau dengan alasan kau yang terakhir tidur dengannya."
Emosi Rini benar-benar tersulut dengan perkataan kasar wanita di hadapannya itu. Rasanya ia sudah tidak kuat lagi untuk menahan air matanya turun. Namun, ajaibnya tidak setetes pun air matanya turun. Dengan dorongan emosinya itu, ia berkata hampir seperti gumaman, "Itu tidak benar."
Desahan licik kembali terdengar dari Rose. Ia lalu berkata, "Apanya yang tidak benar?"
Entah bagaimana awalnya, Rini mendapati dirinya berteriak, "Itu tidak benar." Begitu kalimatnya berakhir, air matanya mengalir. "Aku tidak seperti yang Ibu katakan."
"Ibu kau bilang? Berani-beraninya," ucap wanita itu.
Rini tersadar sesuatu baru saja terjadi padanya. Air matanya tiba-tiba saja berhenti mengalir. Semua emosinya yang tadi meluap-luap tiba-tiba menguap. Suhu tubuhnya juga turun drastis. Mungkin ada pengaruh dari air dingin yang baru saja wanita itu siramkan ke wajahnya. Keringat dingin yang sedari tadi membasahi tubuhnya sekejap berganti dengan air dingin itu. Wajah, sebagian rambut, pakaiannya hingga ke dalam semuanya basah kuyup. Basah dan dingin. Rini mulai menggigil saat melihat senyum licik di wajah Rose.
"Rose, apa-apaan kau ini?" bentak Adam dengan suara yang tinggi.
Kedua tangan Adam merangkul bahu Rini dengan penuh kelembutan. Kehangatan serasa mulai kembali ke lapisan terluar kulitnya yang menggigil. Pria itu membawa Rini ke kamarnya masih sambil merangkul bahu Rini yang sesekali ia usapkan.
Begitu sampai di kamar, Adam segera menanggalkan blus Rini yang basah kuyup. Tidak lupa pakaian dalamnya juga ia tanggalkan. Di saat seperti ini, Rini tidak merasa malu karena bertelanjang di depan pria itu. Entah mengapa setiap sentuhan Adam saat menanggalkan pakaiannya terasa penuh arti baginya.
Selembar kain sudah mendarat di ujung kepala Rini. Dengan gerakan perlahan, Adam mengeringkan bagian tubuh Rini yang basah. Saat ia memastikan semuanya sudah kering, Adam mengambil kaus dari lemarinya dan memakaikannya perlahan kepada Rini.
Adam berlutut di depannya dan menatap matanya lurus. "Maaf," katanya singkat. Ia lalu memberikan pelukan penuh kehangatan kepada Rini. Terakhir, sebelum meninggalkan kamar, Adam mengecup ujung kepala Rini yang tadi terasa benar dinginnya air yang disiramkan. Dalam sekejap kehangatan memenuhi tubuh Rini.
Tangis Rini meledak begitu pria itu keluar dari kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Fiksi UmumCerita tentang aku dan dia yang menjadi kita. Berusaha membuang semua keraguan di antara kita. Rini, seorang mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan sedang membangun masa depannya. Tanpa sengaja bertemu seorang pria di bar dan terlelap di se...