Bagian 22

413 19 0
                                    

Suara aneh kipas angin hampir mengisi satu ruang tamu yang tidak terlalu besar itu. Sebenarnya suara aneh itu tidak keluar secara berkelanjutan. Hanya saja ketika kipas angin itu menoleh ke arah kanan, suara itu terdengar.

Ingin sekali Adam menggapai kipas angin yang menggantung di dinding di hadapannya, tapi ini bukan rumahnya sendiri.

Ia sedang berada di ruang tamu panti asuhan. Seorang wanita bertubuh gemuk menyambutnya beberapa saat yang lalu dan mempersilakannya duduk di ruang tamu itu.

Ia merasa lega akhirnya bisa menemukan alamat gadis itu.

Perhatiannya teralihkan begitu suara seorang gadis yang ia kenal terdengar dari balik tembok tempat kipas angin menempel. Ia beranjak dari sofa berwarna kuning kusam dengan kulit yang terkelupas di mana-mana.

Suara gadis itu semakin terdengar keras di ruang tamu itu. "Ditolak." Begitulah kata yang paling jelas terdengar di telinga Adam. Tentu saja kata-kata itu bukan tertuju untuk Adam.

Sekilas Adam ingin sekali tertawa ketika melihat gadis itu muncul di hadapannya. Tapi ia benar-benar bisa mengolah raut wajahnya hingga dapat menyembunyikan itu.

Gadis itu mengenakan sebuah kaus yang jauh lebih besar dari ukurannya dan celana pendek ketat yang hanya menutupi setengah pahanya.

Sebenarnya Adam juga ingin menertawakan pakaian gadis itu. Tapi wajah gadis itu terlihat lebih aneh dari sebelumnya. Ia tidak yakin apakah itu gadis yang sama dengan yang ia temui beberapa minggu yang lalu.

Pipinya benar-benar lebih menggembung daripada yang pernah ia ingat. Di wajah gadis itu juga tumbuh jerawat cukup banyak. Ia tidak pernah melihat adanya jerawat di wajah imut gadis itu sebelumnya.

"Oh, rupanya kau," ujar gadis itu begitu mata mereka bertemu. "Duduklah," katanya menambahi sambil berjalan ke sofa tunggal dekat pria itu.

Adam duduk mengikuti perintah gadis itu.

Kali ini ia ingin sekali tertawa melihat wajah gadis itu. Lebih sulit lagi untuk menahannya jika melihatnya di jarak sedekat ini.

"Soal tes DNA, ya? Tapi ini sudah malam. Apa bisa?" ucap gadis itu tanpa memberikan jeda sama sekali.

Dengan sedikit gugup Adam menjawab, "Tidak, bukan itu."

Gadis itu terlihat mengangguk seolah ia ingin mendengar kelanjutannya.

"Bagaimana kabarmu?" ucap Adam dengan polos.

Gadis itu menyunggingkan senyum sinis. "Aku tidak tahu pola pikirmu." Ia melipat tangannya di atas perutnya yang membesar. Ia lalu melanjutkan kata-katanya, "Kau jauh-jauh datang ke sini, memakai baju rapi, tapi hanya menanyakan kabarku?"

Adam memang datang ke panti asuhan itu langsung dari kantornya. Jadi ia masih mengenakan setelan jasnya yang rapi. Bahkan tatanan rambutnya juga masih rapi.

"Aku pikir kau akan mengajakku tes DNA dengan pakaian serapi itu."

Gadis itu terus berbicara karena Adam tak mengeluarkan satu kata pun.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Adam mengeluh.

"Aku baik-baik saja. Anak-anak ini juga." Gadis itu menatap Adam lurus. Ia lalu berdiri. "Itu saja?" tanyanya.

Adam turut berdiri hampir bersamaan dengan gadis itu. Tinggi badannya melewati gadis itu. Padahal gadis itu termasuk tinggi juga.

"Maukah kau menemaniku keluar malam ini?" tanya Adam langsung.

"Apa? Ke mana?"

Adam tidak tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya satu kalimat terlintas di pikirannya.

"Mencari udara saja."

"Di sini juga banyak udara," ucap gadis itu dengan nada agak ketus.

Suara kipas angin rusak itu berbunyi satu kali mengusik percakapan mereka. Adam sempat menatap kipas angin itu dan gadis itu mengikuti.

"Ah, bukan udara dari kipas itu," tukasnya.

Suara seorang wanita paruh baya terdengar. "Pergilah, Rin. Lepaskan stresmu."

Wanita itu membawakan secangkir teh. Tadi memang wanita itu pamit ke dapur untuk membuatkan teh setelah menerima Adam di ruang tamu. Tapi tampaknya teh itu tidak akan terminum.

Mungkin karena dorongan dari wanita paruh baya itu, Rini kini sudah duduk di bangku penumpang mobil Adam. Hanya berdua dengan pria itu saja. Ia tidak sempat mengganti pakaian karena desakan wanita itu. Hanya sebuah kardigan saja sempat ia ambil sebelum keluar.

"Kita mau ke mana?" tanya gadis itu.

Pertanyaan yang wajar diucapkan di saat seperti ini.

"Aku tidak tahu."

Kesalahan Adam kali ini adalah memutuskan untuk bertemu gadis itu tanpa merencanakan apa yang akan ia lakukan terlebih dahulu.

Sejenak ia merasa bersalah pada Amanda, sekertarisnya, yang sudah ia tugaskan untuk mencari lokasi pasti panti asuhan itu dengan membuntuti gadis itu dari siang.

"Kau ini kenapa, sih?" tanya gadis itu dengan gusar.

"Hei, aku tidak ingat kalau kau ini pemarah."

"Aku tidak marah."

Padahal ia memang terlihat marah.

Adam tersenyum mendengarnya. Entah kenapa itu terdengar manis sekali di telinganya. Suara yang beberapa kali hadir dalam mimpinya selama ia di Australia.

Tidak berapa lama, Adam memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah menara yang terkenal di ibukota. Menara yang menjulang cukup tinggi itu berfungsi sebagai tempat menikmati pemandangan ibukota. Di malam hari, tempat itu jadi lebih banyak dikunjungi.

Mereka berdua sudah sampai di lantai teratas menara itu. Cukup aneh memang melihat kedua orang ini. Si laki-laki mengenakan setelan jas rapi sedangkan si perempuan mengenakan kaus yang ia tutup dengan kardigan dan celana pendek saja.

"Wah, aku tidak tahu kalau kota ini seindah ini."

Mata gadis itu terkesima melihat keindahan pemandangan malam ibukota. Ia berdiri di dekat kaca menara itu dan berpegang besi pembatas.

Lampu-lampu jalan dan bangunan-bangungan beragam bentuk dan ukuran menghiasi malam yang terlihat agak mendung. Meski begitu, jarak pandang masih terbilang cukup jauh saat ini.

Adam mendekati gadis itu. Tanpa ragu ia memeluknya dari belakang dan kedua tangannya ia lipat di depan dada gadis itu. Tentu saja gadis itu terkejut.

Ia seperti bergidik tepat saat sentuhan Adam menjalar di tubuhnya.

Adam mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan isi pikirannya pada gadis itu. Karena ia sudah merasa yakin untuk bertanggungjawab pada gadis itu.

Ia mendekatkan mulutnya ke telinga gadis itu.

Ia membuat suaranya selembut mungkin.

"Rini, aku ingin hidup bersamamu. Memulai cerita kita berdua."

Lagi-lagi Rini bergidik dibuatnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang