Bagian 4

514 27 0
                                    

Keheningan yang terjadi sejak Rini menyantap sarapannya tadi akhirnya terpecahkan oleh suara Bela setelah menguap dengan keras. Memang hal-hal seperti ini sudah biasa terjadi di antara penghuni panti asuhan. Tapi kali ini, ia menguap hingga menyadarkan Rini dari lamunannya.

"Wah, piringnya udah dicuciin semua, nih," kata Bela dengan nada meledek.

Rini baru ingat, kalau hari ini mencuci piring juga menjadi tugas Bela.

Rini membersihkan tenggorokannya dengan batuk ringan. Mengangkat dagunya sedikit ke atas.

"Lihat, aku ini kakak yang baik, kan?"

Pertanyaan singkat yang dibalas cibiran oleh Bela.

"Untung masih ada lauk. Enggak perlu masak dulu."

"Makanya kalo udah bangun jangan tidur lagi. Nanti kebiasaan," ujar Rini sedikit memarahi Bela.

Hubungan mereka benar-benar sudah seperti saudara kandung. Bela datang ke panti asuhan ini ketika Rini sudah masuk SD. Saat itu Bela berusia empat tahun.

Berbeda dengan Rini yang memang sudah berada di panti asuhan sejak bayi, membuat Bela awalnya sulit beradaptasi dengan anak-anak asuh yang lain. Tapi karena mereka tidur di kamar yang sama, mereka menjadi dekat. Rini juga menganggap Bela adiknya sendiri.

Memiliki perasaan senasib awalnya bisa membuat mereka melalui masa-masa indah di panti asuhan. Cerita mulai berubah ketika Bela mendapat orang tua asuh saat masuk SMA. Rini mulai membenci dunia di titik itu. Ia merasa ketidak adilan selalu hadir di sisinya.

Kenapa Bela bisa mendapat orang tua asuh? Padahal aku selalu menginginkan itu. Padahal aku lebih cantik dari Bela. Padahal aku lebih pintar dari Bela. Padahal aku.... Padahal aku.... Semua kata padahal selalu terbesit dalam hati Rini ketika melepas kepergian Bela yang dibawa oleh orang tua asuhnya.

Sekitar tiga tahun tidak bertemu Bela, hidup Rini berubah. Ia berubah menjadi seorang yang mudah marah. Ia berubah menjadi seorang yang menarik diri dari orang lain. Ia berubah menjadi seorang yang hidup semaunya.

Semua kembali normal sejak dua tahun lalu. Bela yang lulus SMA memutuskan tinggal di panti asuhan itu lagi dengan izin orang tua angkatnya. Alasannya saat itu adalah karena jarak ke kampusnya lebih dekat dari panti asuhan daripada dari rumah orang tua asuhnya.

Orang tua asuh Bela menyetujui permintaan itu dengan syarat ia harus pulang setiap Sabtu dan Minggu. Ia menyepakatinya dan orang tua asuhnya memberi izin untuk kembali tinggal di panti asuhan.

Alasan Bela yang sebenarnya adalah ingin tinggal bersama dengan orang yang ia anggap kakaknya itu.

"Wah, wah. Anak-anak gadis ibu lagi apa pagi-pagi di dapur?"

Mendengar suara wanita gemuk yang merupakan pengelola panti asuhan itu, Rini dan Bela terdiam sesaat. Padahal tadinya mereka sedang cekikikan mentertawakan sebuah video di aplikasi media sosial. Mereka saling tatap dan tersenyum manis.

"Udah dicuci, Nak, piringnya?" tanya Bu Hilda, pengurus panti.

"Udah dong, Bu. Bela, kan, anak yang rajin," jawab Bela meledek Rini.

Tanpa basa-basi, Rini memukul kepala adiknya itu. "Enak aja. Ini Rini semua, Bu, yang nyuci."

"Ya udah, yang penting udah dicuci."

Wanita itu duduk di salah satu kursi terdekat dengan tempat dua gadis itu berdiri.

"Bel, pijitin Ibu, dong."

Mendengar perintahnya, Bela langsung menurutinya. Sedangkan Rini duduk di kursi sebelah Bu Hilda.

"Bu, aku mau nanya, dong," kata Rini setelah duduk dengan benar di kursi sebelah Bu Hilda.

"Apa?" ucap Bu Hilda sambil memajukan dadanya setelah mendapat pijitan di punggung dari Bela.

"Ibu, kan, udah di sini dari sebelum aku masuk. Berarti Ibu tahu, dong, asal-usul aku?"

Pertanyaan itu mengejutkan Bu Hilda. Begitu juga dengan Bela yang sedang memijitinya.

Wajah Bu Hilda tampak penuh pertanyaan.

"Bukannya Ibu udah sering cerita, ya?" ucap wanita itu pada akhirnya.

Bu Hilda memang pernah menceritakan Rini soal asal-usulnya. Kalau seorang ibu muda berusia 20 tahunan yang menitipkannya ke panti asuhan ini saat ia baru lahir. Rini memang sudah dengar cerita itu bahkan beberapa kali. Ia tidak meragukannya.

"Iya, sih. Cuma belakangan aku ngerasa ada yang aneh."

"Kenapa? Ada yang ngaku-ngaku ibu kandungmu?" Raut wajah Bu Hilda agak berubah posesif.

"Bukan begitu," ujar Rini cepat namun sedikit ragu. Akhirnya ia putuskan untuk bercerita. "Aku belakangan ini mimpi ada sosok dua anak kembar. Satunya perempuan, satunya laki-laki. Jadi aku mikir, apa jangan-jangan yang laki-laki itu kembaran aku, ya?"

Bu Hilda tampak bingung.

Rini memang tidak pernah meragukan cerita Bu Hilda soal masa lalunya. Ia juga mendengar cerita yang sama dari pengurus panti asuhan yang pernah bekerja. Jadi cerita itu tidak terbantahkan kebenarannya.

Bu Hilda menggeleng. Nada suaranya agak bergetar. "Ibu muda itu membawa satu anak saja. Apalagi sudah ada surat keterangan kelahirannya dari dokter." Ia menarik napas dan mengangkat kepalanya menghadap Rini. "Jadi tidak mungkin kamu punya saudara kembar."

Rini mengangguk pasti. Ia menepuk kedua pahanya dan beranjak dari kursi itu.

"Aku mau mandi," kata Rini setelah berdiri.

Sosoknya langsung menghilang dari ruang makan itu meninggalkan Bu Hilda dan Bela berdua.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang