Bagian 28

301 17 0
                                    

Aliran anggur yang tidak masuk tepat ke botol membuat seorang remaja laki-laki memasang raut wajah panik. Matanya yang indah terbelalak. Tangannya dengan gerakan otomatis memperbaiki posisi botol yang ia pegang. Anggur itu kembali mengalir melewati mulut botol dengan benar. Remaja itu menutup keran penyuling anggur setelah merasa botol yang ia pegang itu penuh.

Remaja itu mengumbar senyum manisnya di wajahnya yang tampan sambil mengangkat botol anggur yang baru ia isi tinggi-tinggi. Tidak tampak raut wajah menyesal telah menumpahkan anggur tadi.

Ia lalu berkumpul dengan keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, kedua kakaknya, dan neneknya di sebuah meja makan panjang.

"Ini anggurnya," ujar remaja itu sambil menyerahkan botol tadi kepada ayahnya.

Ayahnya menatap wajah polos remaja itu dengan senyuman yang tak kalah manisnya dengan remaja itu. Ia masih mempertahankan senyum saat menerima botol itu dari tangan anaknya.

Remaja itu mengedarkan pandangannya ke semua yang duduk di sekitar meja panjang itu. Ia melihat tatapan ibunya yang sedikit kesal. Kini ia baru merasa menyesal telah menumpahkan anggur tanpa merasa bersalah.

"Maaf aku menumpahkannya sedikit," ucap remaja itu sambil menundukkan wajahnya.

"Sedikit?" tanya kakak perempuannya yang menatapnya dengan wajah kesal seperti ibunya.

"Jangan karena hanya kamu yang tidak bisa meminumnya, kamu boleh menumpahkannya," kata kakak laki-laki dengan sinis.

"Hei, sudahlah. Adikmu tidak sengaja melakukan itu." Tutur kata bijaksana dari seorang nenek yang duduk paling ujung tampaknya menyudahi perang kata-kata yang hampir dimulai. Nenek itu sudah tua sekali. Mungkin usianya sebentar lagi akan menginjak 90 tahun. Tapi ia masih terlihat sehat.

"Sudah. Kita mulai makan saja." Pria yang merupakan kepala keluarga itu menambahi agar perang kata-kata di antara anak-anaknya tidak benar-benar bertambah sengit.

Keluarga itu mulai memakan makanan mereka. Obrolan kecil dan santai terjadi di sela-sela makan siang yang khidmat. Bukan di sebuah restoran mewah. Tetapi di sebuah rumah sederhana di dekat perkebunan anggur. Dari jendela ruang makan itu bisa langsung terlihat hamparan kebuh anggur milik keluarga itu.

"Aduh." Rintihan kesakitan anak laki-laki paling muda di keluarga itu memecahkan nikmatnya santap siang keluarga itu.

Ia tidak sengaja mengiris jarinya sendiri dengan pisau yang ia pegang untuk memotong daging bistik di piringnya. Ia memang tidak biasa menggunakan garpu dan pisau untuk makan. Jadi tadi ia memegang dagingnya dengan tangannya langsung saat ingin mengiris. Maka terjadilah hal itu.

Karena sang ayah berada paling dekat dengan remaja laki-laki itu, ia langsung meraih jari anaknya yang terluka dan memasukkannya ke mulutnya. Ia menghisap darah anaknya itu dengan harapan pendarahan akan berhenti.

Sejenak terdengar suara degup jantung. Pria itu berpikir apakah itu adalah degup jantung anak bungsunya itu? Tapi rasanya bukan. Ia yakin pernah mendengarnya suatu hari.

Degup jantung yang semakin cepat dan menderu memekakkan telinga pria itu. Ia merasakan keringat dingin mengaliri sekujur tubuhnya. Hawa panas menghampirinya dan semakin membuatnya pengap. Karena tidak kuat ia segera berdiri.

Adam terkejut karena terbangun dari sofa ruang tamunya yang empuk. Napasnya memburu seperti baru saja ada yang mengejar-ngejarnya. Peluh benar-benar membasahi badannya. Padahal ruangan itu berpenyejuk. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa. Ia sendirian.

Sepertinya itu tadi mimpi. Pikir Adam.

Untuk pertama kalinya ia bermimpi melihat keluarga kecil itu. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Ia bertanya-tanya apakah arti mimpinya barusan. Semua pertanyaannya itu menguap begitu saja ketika dirinya berhasil terlempar keluar dari lamunan.

Adam teringat kalau ia sedang membersihkan rumahnya dengan robot pembersih lantai. Ia terlelap begitu saja setelah menyalakan mesin itu. Rasa kantuk memang tak bisa ia lawan lagi karena semalaman ia tidak tidur.

Apalagi alasannya kalau bukan karena Rini. Saat ia hendak tidur usai menyelesaikan laporannya tadi malam, Rini tiba-tiba menelepon Adam dan mengatakan ingin menemuinya besok siang. Adam yang tak siap bertemu lagi dengannya secepat itu tidak bisa tidur hampir semalaman.

Ia benar-benar mau mempersiapkan segalanya. Termasuk kondisi terburuk sekalipun. Meskipun ada kemungkinan Rini akan menerimanya, tapi menolak juga bukan hal yang mustahil.

Ia mencari robot pembersih ruangannya. Setelah menemukannya ia langsung mematikan robot berbentuk lingkaran dan sedikit lebih ramping dari benda sejenisnya itu. Ia lalu meletakkannya di tempat penyimpanan. Jika melihat jam, ini sudah waktunya bertemu gadis itu.

Adam mengendarai mobilnya tanpa terburu-buru. Meski tempat yang Rini katakan cukup jauh dari rumahnya, tapi Adam punya cukup waktu untuk sampai di sana tepat waktu.

Matanya langsung terarah pada seorang wanita hamil dengan blus putih dan celana palazo hitam yang berdiri di depan sebuah toko kue di seberang jalan. Ia yakin itu adalah Rini.

Ia langsung memutar arah. Wanita itu tampaknya menyadari kedatangan Adam. Ia sempat melambaikan tangannya ke arah mobil Adam sebelum Adam memarkirkan mobilnya di parkiran toko kue itu yang hanya bisa terisi dua mobil saja

Adam membuka jendela mobilnya dan menyapa wanita itu dengan gugup. Tanpa basa-basi terlalu lama, ia menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

Awalnya perjalanan mereka terasa sunyi sekali karena tidak ada yang mengajak bicara dari kedua pihak. Apalagi ini adalah hari minggu, di mana jalan-jalan utama ibukota sepi menjelang siang begini.

"Kita mau ke mana, sih? Kok belum sampai juga." Rini tampaknya penasaran mengapa Adam membawanya jauh sekali dari tempat awal Rini menunggu.

"Ke rumahku," jawab pria itu santai.

"Apa?" tanya Rini terkejut.

"Katamu terserah ke mana saja. Jadi aku memutuskan membawamu ke rumahku," ujar Adam protes. Ia melihat Rini sekejap sambil fokus mengendarai Toyota Crown Athlete putih miliknya.

"Tapi ... Rumah?" Dari nada bicaranya ia terdengar tidak siap untuk mendatangi rumah Adam.

"Tidak langsung ke rumahku, sih." Adam menjawab seakan ada tujuan lain sebelum sampai ke rumahnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang