Prolog

27.9K 1.6K 8
                                    

Terlahir dari hubungan diluar pernikahan membuatku sadar bahwa sudah seharusnya aku tahu diri dengan keadaanku. Tak jarang aku merasa tidak bebas namun juga tidak terlalu dikekang. Ingin melakukan apa, seakan ada mata yang memperhatikan. Hingga situasi seperti itu pada akhirnya membuatku berharap bisa keluar dari keluarga yang membesarkan ku ini agar mereka bisa hidup lebih nyaman tanpa terkenang masa lalu lagi. Agar aku bisa menjalani hidup sesuai dengan yang aku inginkan. Tapi satu-satunya cara yang bisa membebaskan ku mungkin hanya lah sebuah pernikahan.

Ketika ada kesempatan di depan mata, aku yakin bahwa aku tidak akan melewatkannya begitu saja. Keyakinan itu yang membuatku tidak pernah memperhatikan pria berdasarkan sesuatu. Dia dan keluarganya tidak memandangku berdasarkan status kelahiranku sudah lebih dari cukup. Aku tak perduli dengan kelebihan ataupun kekurangannya.

Hanya saja aku tidak pernah menyangka bahwa ada kesempatan yang datang dengan cara yang tak diduga. Pria yang seharusnya hari ini datang bersama rombongan anggota keluarganya untuk melamar kakakku, kini beralih melamarku.

“Tidak bisa!”

Diantara belasan orang —mungkin lebih dari itu— yang duduk di ruang tamu rumah papa, aku hanya bisa terdiam dengan tubuh menegang. Kedua tangan kini bertautan diatas paha, saling meremas satu sama lain dan mulai berkeringat. Apa yang baru saja aku dengar dan bagaimana respon yang diberikan Papa begitu mengejutkan. Lebih dari sebagian anggota kedua keluarga yang ada disini tak kalah kaget dibandingkan denganku.

“Saya dan keluarga datang untuk melamar putri bungsu anda, Pak Hartono. Ijinkan saya menikahi Anindia.”

Kalimat itu kembali terngiang di telingaku. Begitu tegas, jelas dan terdengar tanpa terselip keraguan sedikit pun. Sebenarnya ada apa dengan hari ini sehingga aku bisa mendapatkan kejutan yang tidak terduga seperti ini?

“Kita sebelumnya sudah sepakat untuk menikahkan Syania dengan Yudha hingga acara lamaran ini pun akhirnya dapat dilaksanakan. Tapi dengan perubahan ini, saya tentu tidak bisa menerimanya begitu saja, Pak Gunawan.”

Papa menatap Pak Gunawan dengan gestur tubuh yang terlihat santai. Tapi sikap yang ditunjukkan Papa tak lantas membuatnya bisa menutupi kegundahan yang mungkin kini dirasakannya. Lamaran yang seharusnya ditujukan untuk putri sulungnya berubah dan digantikan dengan putri bungsunya tentu tidak akan membuat Papa merasa bahagia dihari penting ini. Meskipun Papa mungkin juga menyadari bahwa putri sulungnya yang duduk tak jauh dariku itu kini terlihat girang bukan main karena hal ini.

“Begini Pak Hartono.”

Istri Pak Gunawan yang wajahnya terlihat kesal dengan perkataan putranya tadi kini angkat suara. Mencoba untuk memperbaiki suasana yang dirasa mulai tidak menyenangkan, berbeda jauh dibandingkan beberapa saat yang lalu. Tepat dimana sebelum kalimat itu keluar.

“Saya rasa putra kami ini salah menyebutkan nama. Karena sejujurnya sebelum ini pun kami masih dengan niat yang sama seperti kesepakatan kita semula untuk menikahkan Yudha dengan Syania. Mohon maaf atas kesalahan kecil ini.”

“Saya tidak salah, Ma."

Bastian Yudha Gunawan nama lengkapnya. Pria yang terlihat sudah siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi karena perbuatannya ini segera membantah. Perkataan yang semakin menambah kekesalan yang dirasakan ibunya.

"Papa dan Pak Hartono mungkin sudah sepakat untuk menikahkan saya dengan Syania. Tapi setelah mempertimbangkan banyak hal, saya yakin dengan pilihan saya sekarang. Bukan Syania yang ingin saya nikahi tapi Anindia.”

Seluruh anggota keluarga Gunawan menatap Yudha dengan berbagai tatapan. Tapi pria bersangkutan yang hanya bisa menatap lurus ke arah depan tidak memperdulikan bagaimana tatapan yang diarahkan padanya. Wajah datar itu membuatku tidak bisa menebak hal lain selain keseriusan. Jelas pria itu sadar bahwa sebagian dari anggota keluarganya ada yang menentang keputusannya dan sebagian lainnya mungkin tidak akan perduli.

“Kalau memang Yudha ingin menikahi adik saya, saya sama sekali tidak merasa keberatan. Karena dengan begini sudah terlihat jelas bahwa saya dan Yudha tidak berjodoh. Lagi pula kami belum terlanjur memiliki rasa—“

Syania seketika menutup mulutnya rapat ketika dia menyadari tatapan yang penuh dengan kemarahan berasal dari lirikan papa. Kalimat yang belum selesai diucapkannya itu pada akhirnya dianggap sebagai angin lalu, terutama bagi Papa sendiri. Meskipun begitu, hal itu tidak mampu membuatnya menghilangkan raut senang di wajahnya.

“Saya rasa bukan hanya dari keluarga Hartono saja yang merasa keberatan dengan perubahan lamaran ini karena kami pun seperti itu. Bagaimana jika kita akhiri pertemuan ini dan membahasnya lagi di lain waktu?” Putra pertama Pak Gunawan mencoba menengahi keheningan yang seketika mendatangi dua keluarga besar ini.

“Saya sudah menyampaikan niat baik saya. Syania pun merasa tidak keberatan dengan lamaran saya pada adiknya. Bagaimana jika tanyakan pendapat Anindia terlebih dulu?”

Tubuhku gemetar ketika tatapan hampir seluruh orang yang memenuhi rumah papa kini tertuju padaku. Menjadi pusat perhatian didepan umum seperti ini tidak pernah sekalipun aku inginkan. Dibandingkan mendapat berbagai tatapan dari orang-orang, aku biasanya lebih memilih untuk menghindar. Tapi tentu saja sekarang bukan waktu yang tepat bagiku untuk beranjak pergi.

Wajah papa yang kini terlihat gusar sudah pasti menunjukkan keberatan dengan lamaran ini. Sementara Syania dan ibunya kini menatapku lekat. Menyampaikan melalui tatapan yang penuh harap itu agar aku bersedia menerima lamaran Yudha. Sedangkan kakak-kakak dan keluargaku yang lain hanya memandangku seperti biasa. Terlihat tidak senang dengan keberadaan ku hingga tidak akan perduli dengan apa yang akan terjadi padaku.

Apa yang harus aku katakan?

Aku duduk dengan gelisah setelah berpikir bahwa jawabanku mungkin sedang ditunggu-tunggu. Tapi aku tidak tahu cara menanggapi sesuatu yang sebenarnya cukup menguntungkan. Kesempatan ini lah yang aku nantikan. Lamaran untukku datang, lalu aku menikah dan bisa meninggalkan rumah ini dengan penuh suka cita. Tapi melihat ketidaksenangan di wajah papa membuat bibirku terasa enggan untuk terbuka.

“Sepertinya pertemuan ini memang harus diakhiri.” Tanpa menunggu aku memberikan jawaban yang mungkin saja sesuai dengan apa yang Yudha inginkan, papa lebih dulu berbicara. “Saya rasa Pak Gunawan dan keluarga perlu membicarakan perihal lamaran ini terlebih dulu. Saya dan keluarga juga akan membahas hal yang sama.”

“Minggu depan saya dan keluarga pasti akan kembali kesini.”

Kalimat Yudha memancing bisikan-bisikan yang mulai terdengar dari sana-sini. Perihal lamaran tak biasa ini, gadis yang ingin Yudha nikahi hingga keengganan yang dirasakan oleh kedua keluarga jelas akan menjadi perbincangan hangat. Untuk kesekian kalinya aku harus bersabar ketika aku sudah pasti akan menjadi topik pembicaraan lagi.

"Dan saya harap Pak Hartono mempertimbangkan lamaran dan keseriusan saya dengan baik. Meskipun keadaan saya masih belum membaik sepenuhnya, bukan berarti saya akan membuat putri bungsu anda menderita jika hidup bersama saya."

Papa menatap Yudha lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Akan saya pertimbangkan." Dan aku sangat yakin bahwa pertimbangan itu jelas condong ke arah penolakan.

Aku memperhatikan wajah Yudha yang kini masih belum berpaling dari saling tatap menatap bersama papa. Wajah yang tegas dan tanpa terlihat keraguan sedikitpun di rautnya. Sehingga aku berpikir bahwa pria itu serius dengan lamarannya ini

Hanya saja ada satu yang tidak aku mengerti. Kenapa harus aku yang ingin Yudha nikahi?

***

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang