Bagian 19

9.8K 954 122
                                    

Tentu saja Anin mengingat siapa yang sedang duduk di sofa sambil terlihat fokus dengan ponsel di tangannya itu. Saat pertemuan terakhir mereka, perempuan itu menyalami tangan Anin dengan cukup kuat ketika memberi ucapan selamat atas pernikahannya dengan Yudha. Dan Anin juga masih ingat, perempuan itu datang bersama dengan tunangannya untuk menghadiri undangan.

"Mbak Yara?"

Merasa terpanggil, perempuan itu segera mengangkat kepala. Diletakkannya ponsel ke atas sofa, lebih tepatnya diatas tasnya yang berada diatas sofa sebelum berdiri. Dipandanginya Anin yang kini semakin mengurangi jarak diantara mereka. Meski tidak menyukai istri Yudha, setidaknya dia masih tau sopan santun ketika datang bertamu.

Yara saat ini memang menatapnya datar. Meski ditanggapi begitu, Anin sama sekali tak menyurutkan senyum di bibirnya. Senyum adalah ibadah. Kalau Yara tidak mau beribadah seperti yang dia lakukan, itu urusannya.

"Apa kabar, Mbak?" tanya Anin ramah ketika sampai di sofa, seberang Yara. "Silakan duduk lagi," ujarnya sambil menunjuk sofa sebelum mendudukkan badannya.

"Baik. Apa kedatanganku mengganggu? Kau sepertinya terlihat sibuk dengan Mas Dimas sampai harus main ke sana."

"Apa?" tanya Anin bingung. Selain agak sinis, kalimat terakhir perempuan itu sedikit tidak enak ketika didengar telinganya. "Oh, itu," serunya. "Mbak Yara sama sekali nggak mengganggu. Aku memang kebetulan kembali ketika Bu Rini bilang ada teman Mas Yudha ke rumah. Aku tadi ke rumah Mbak Gita. Keponakan Mas Yudha yang sering main ke sini sedang sakit. Jadi aku tadi pergi untuk melihat keadaannya."

Kening Yara mengkerut samar. "Ibra? Dia sakit apa?"

"Demam, Mbak," jawab Anin sambil memperbaiki posisi duduknya yang belum terasa nyaman. "Suhu tubuhnya lebih dari tiga puluh delapan derjat ketika diperiksa dokter tadi. Setelah makan dan minum obat, dia langsung tidur."

Yara mengangguk paham. "Dalam waktu dua bulan, kau ternyata sudah akrab saja dengan keluarga ini."

Anin tersenyum tipis. Tidak perlu menghitung dua, tiga hingga enam bulan atau hitungan tahun lamanya. Karena ketika dia sudah menginjakkan kaki disini, memang sudah sewajarnya dia bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Meskipun seandainya Anin tidak tinggal di lingkungan keluarga suaminya pun, sebagai orang baru memang dia yang harus mendekati orang sekitar agar bisa hidup bertetangga dengan baik.

"Bagaimana pun juga keluarga ini sudah jadi keluargaku juga kan, Mbak? Tentu saja aku harus mengakrabkan diri dengan semuanya."

Sudut bibir Yara sebelah kiri terangkat. "Jangan berusaha terlalu keras. Kalau semua tidak sesuai dengan yang kau inginkan, kau hanya akan kecewa."

Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan memang pada dasarnya akan membuat kecewa. Hal itu jelas tidak berlaku hanya dalam usaha menjalin hubungan baik. Tanpa diberitahu Yara, Anin bahkan sudah merasakannya kemarin.

"Aku tau, Mbak. Tapi nggak ada salahnya untuk tetap mencoba bukan?" Tak perlu menunggu tanggapan Yara, Anin kembali bicara. "Ngomong-ngomong, Mas Yudha sedang nggak ada di rumah, Mbak."

"Tentu saja aku tau Yudha tidak disini," ucap Yara sinis. "Dua bulan ini dia sering menghabiskan waktunya bersamaku disana. Tanpa kau katakan padaku dimana keberadaannya, aku bahkan sudah tau itu. Karena aku lebih mengenalnya daripada kau."

Anin menipiskan bibirnya kesal. Kenapa suara perempuan ini tiba-tiba naik menjadi tinggi disaat dia bicara dengan baik? Dia mau bertamu atau mengajak perang mulut coba? Aneh!

"Kalian sudah berteman dari kecil sementara aku baru mengenal Mas Yudha beberapa bulan ini, wajar saja kalau Mbak lebih tau banyak hal tentang suamiku itu dibandingkan aku." Anin sengaja menekan kata suamiku karena terlanjur terpancing oleh Yara. "Kalau bukan karena mencari suamiku, apa Mbak sengaja datang kesini untuk menemuiku?"

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang