Bagian 14

10.1K 1K 48
                                    

Dua orang gadis muda kini duduk bersebelahan di sofa ruang tamu. Tampak melihat kearah kiri dan kanan, seakan memastikan apakah ada perbedaan dengan yang ada diingatan mereka. Keduanya terlihat santai dan kerasan karena memang ini bukan pertama kalinya bagi mereka datang ke sini. Meski rumah yang sebelumnya dihuni seorang bujangan itu kini sudah memiliki nyonya rumah.

Anin tentu mengenali kedua gadis muda yang kini menyadari kedatangannya. Walaupun salah satu dari keduanya belum pernah bertatap muka dengannya secara langsung. Tapi Anin sering melihat wajah gadis itu di video yang dia tonton.

Gadis dengan rambut panjang yang dikucir tinggi itu adalah sepupu Yudha dari pihak keluarga ayahnya. Anin mengingat wajahnya karena saat hari pernikahan waktu itu, gadis itu cukup ramah padanya dan terlihat sangat ceria. Hanya saja Anin melupakan namanya.

Sementara gadis cantik berambut cokelat gelap yang bergelombang panjang itu adalah nona muda Gunawan, Liara Gunawan. Anin yang akhir-akhir ini sering menonton videonya tak akan ragu untuk mengenalinya disaat pertemuan pertama mereka.

"Ingat aku kan, Mbak? Sepupunya Mas Yudha. Dinar. Apa kabar, Mbak?"

Anin membalas jabatan tangan dari gadis ramah bernama Dinar itu. Merasa beruntung karena Dinar secara tidak langsung sudah membantunya. "Kabar baik. Tentu saja ingat. Kalau nggak salah kamu baru selesai wisuda kan? Selamat ya."

Dinar tersenyum lebar setelah melepaskan jabatan tangan mereka. "Makasih, Mbak." Dia menoleh ke Liara yang kini memperhatikan Anin dengan seksama. "Kamu mau duduk aja, Ra? Kakak iparmu nih, disapa dong. Baru pertama ketemu kan?"

"Aku lagi mandangin kakak iparku, Nar. Dia emang cantik banget seperti yang kamu bilang. Kalau begini Mas Yudha jadinya menang banyak." Liara berdecak, kepalanya menggeleng-geleng. "Pria yang punya banyak dosa begitu kok hidupnya bisa beruntung banget ya?"

Mendengar pujian atas kecantikan wajahnya memang hal yang biasa bagi Anin. Jadi ketika adik iparnya yang memuji, Anin merasa biasa saja. Hanya saja yang membuatnya heran, bukankah gadis ini terlalu berlebihan ketika menyinggung tentang kakak kandungnya? Memangnya sebanyak apa dosa Yudha sehingga adiknya bisa berkata seperti itu?

Setelahnya Liara berdiri, menggeser badan Dinar sehingga mereka berganti posisi. Liara menjulurkan tangannya tanpa mengalihkan tatapan dari kakak iparnya itu yang langsung disambut Anin. "Liara, Mbak. Maaf nggak bisa pulang waktu acara nikahan kalian."

"Nggak papa. Ayo duduk lagi."

Tepat ketika Anin mendudukkan badannya di sofa tunggal, Rini datang dengan membawa nampan. Ketiganya sempat terdiam memandangi Rini yang meletakkan satu per satu gelas ke atas meja sebelum beranjak kembali ke belakang.

"Kamu pulang ketika Mas Yudha masih diluar kota." Suara Anin yang membuka pembicaraan diantara mereka menarik perhatian kedua gadis muda itu. "Nanti nggak buru-buru untuk pergi lagi kan, Ra? Seharusnya kalian bisa bertemu dulu."

"Aku cuma seminggu di rumah, Mbak. Nggak lama-lama. Habis itu mau langsung balik lagi." Liara menipiskan bibirnya sebelum melanjutkan kalimatnya yang dia jeda. "Aku harus lulus tahun ini. Kalau nggak, Papa beneran murka nanti."

Dinar yang menyadari Liara yang terlihat frustasi terkekeh. Beberapa bulan yang lalu dia juga ada diposisi Liara. Ditanya terus menerus hingga didorong keluarga untuk segera lulus. "Dia terpaksa pulang karena sudah lelah terus-terusan diancam Om Arya. Kalau memang belum bisa lulus cepat, setidaknya dia harus pulang sebentar. Katanya namanya bakal dikeluarin dari KK kalau nggak pulang juga, Mbak."

Liara mendesah dramatis. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Lagian Papa ada-ada aja. Aku kan disana nggak cuma hamburin uang. Aku juga kerja sekalian nyari mood untuk selesain pendidikan yang sempat terganggu. Nggak macam-macam juga."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang