Bagian 44

9.2K 879 59
                                    

Anin tidak tahu apakah motif Yara mengajaknya berteman adalah baik atau tidak. Hanya saja ketika mengingat posisi Yara sebagai teman Yudha dan pasti akan sulit dihilangkan dari pertemanan empat orang itu membuatnya berpikir kalau tidak ada salahnya mereka berteman.

Anin tidak ingin memiliki pemikiran yang terlalu buruk terhadap niat Yara. Tapi Anin juga tidak ingin mengikuti dorongan hati nurani sehingga terlalu antusias dengan ajakan pertemanan itu. Bagaimana pun juga Yara adalah perempuan yang mengincar suaminya. Entah perempuan itu sudah berhenti sekarang atau merencanakan strategi baru, Anin tetap merasa dirinya harus berhati-hati.

Sejauh ini Yara cukup menyenangkan untuk dijadikan sebagai teman berkirim pesan. Perempuan itu menceritakan bagaimana pekerjaannya di rumah sakit, memberikan rekomendasi tempat makan yang enak hingga mengajaknya keluar ketika nanti ada kesempatan. Mungkin untuk sekedar berbelanja, makan atau ke salon bersama.

Yudha tahu tentang apa yang mulai terjalin antara Anin dan Yara. Anin sengaja memberitahu suaminya itu agar tidak ada kesalahpahaman nantinya jika hubungan ini tidak berakhir seperti yang dia pikirkan. Dan seperti yang Anin duga, Yudha tidak senang mendengarnya. Pria itu melarangnya dekat dengan Yara untuk saat ini.

Tapi karena Anin berjanji akan waspada dengan penggemar suaminya itu, Yudha hanya mengijinkannya untuk sekedar berbalas pesan. Suaminya yang posesif itu bahkan membaca semua pesan yang dikirim Yara tanpa melewatkan satu hari pun, seolah-olah dirinya sedang berkirim pesan dengan pria lain saja.

Dan setelah beberapa hari mereka saling berkirim pesan, akhirnya Yara meneleponnya langsung. "Lebih gampang bicara seperti ini dibandingkan mengetik pesan, bukan?" Itu yang dikatakan Yara padahal Anin tidak bertanya apalagi mempermasalahkan ketika perempuan itu meneleponnya.

"Mbak hari ini nggak kerja?" tanya Anin setelah mengiyakan ucapan Yara. Memang lebih gampang bicara dengan mulut dibandingkan melalui pesan.

"Aku jaga siang hari ini. Jadi gimana? Mau keluar malam minggu nanti?"

Ini ajakan yang kedua kalinya setelah minggu lalu ditolak Anin. Dan sayangnya Anin harus menolak lagi karena Yudha masih belum mengijinkannya pergi keluar bersama Yara. Suaminya itu masih bersikeras dengan pendapatnya bahwa belum ada yang berubah dari Yara.

"Hmm.... Mas Yudha belum memberiku ijin untuk keluar rumah. Maaf, Mbak. Mungkin lain kali ya?" Jawaban yang sama seperti minggu lalu.

"Kamu bilang tangan kamu sudah sembuh."

Kalau minggu lalu Yara menerima penolakannya dengan mudah, sepertinya tidak untuk sekarang. Memang tidak ada salahnya mereka pergi keluar untuk makan bersama. Hanya saja Yudha benar-benar melarangnya pergi.

"Tanganku memang sudah sembuh, Mbak. Tapi...." Anin memutar otak untuk mencari alasan yang bisa diterima. "....takutnya nggak sengaja kesenggol orang atau terbentur sesuatu sehingga kambuh lagi. Jadinya Mas Yudha nggak kasih aku ijin keluar rumah sendiri. Tunggu sampai benar-benar sembuh dulu katanya."

"Siapa yang bilang kalau kamu pergi sendiri?"

"Aku sudah bilang begitu. Nggak ada yang perlu dicemaskannya karena aku kan perginya dengan Mbak Yara. Tapi—"

"Yudha kan ikut juga, Anin."

Anin terdiam. Bukan karena Yara baru saja memotong kalimatnya melainkan ucapan perempuan itu. Tunggu dulu! Jadi apa sebelumnya dia salah mengira? Yara mengajaknya keluar bukan hanya berdua saja, melainkan bertiga dengan Yudha? Dia yang kini salah paham atau Yara hanya berniat baik agar ada yang menjaganya?

"Maksudku kalau Yudha mencemaskan kamu, dia tinggal ikut kita. Apa salahnya? Lagi pula bukan pertama kalinya dia keluar malam denganku. Dulu bahkan sering. Dia bahkan sengaja untuk menjemputku ke rumah agar bisa jalan dengannya."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang