Bagian 45

9.4K 888 92
                                    

Aku up dua,,, satu bagian lagi ntar sore yaaa....

Happy Reading 🤗

~~~

Tak sama seperti bulan kemaren, awal Desember kesibukan Yudha mulai berkurang. Karena itu diakhir pekan pada minggu pertama, Yudha dan Anin memutuskan untuk menyelesaikan beberapa agenda mereka yang sempat tertunda.

Jumat sore keduanya berangkat menuju kediaman keluarga Gunawan dan sampai disana ketika malam hari. Pakaian dan barang-barang penting lainnya masih banyak yang tertinggal disana. Meskipun sudah ada Rini yang menyiapkan semuanya lalu mengurus pengiriman ke rumah baru, tetap saja keduanya harus pulang. Anin tidak bisa mengikuti suaminya pidah begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun kepada mertuanya.

Hari sabtu pagi, Anin ditemani Yudha pergi ke makam Abrianda. Seperti yang diharapkan, beban di hatinya terasa lepas sudah setelah datang ke makan ayah kandungnya. Waktu yang sebelumnya sudah Anin lewati untuk berusaha ternyata bukan kesia-siaan belaka.

Anin kini bisa menerima fakta bahwa Abrianda, pria yang dia ketahui merupakan pamannya itu sebagai ayah kandungnya terlepas dari kesalahan yang sudah terjadi. Hatinya pun menerima Ridwan Hartono sebagai ayah yang membesarkannya dan akan tetap menjadi ayahnya untuk kedepannya. Meski tak sepenuhnya lega, Anin rasa ini sudah lebih dari cukup untuk ketenangan hatinya.

Mengenai Puspita, jika ada kesempatan di masa yang akan datang untuk mereka bertemu, Anin akan bahagia dengan itu. Tapi jika tidak, Anin hanya berharap agar ibu kandungnya itu menjalani kehidupan yang sama baik dan beruntung seperti dirinya. Dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya dan terutama lagi, mendapatkan cinta yang sangat besar dari sang suami.

Sentuhan yang terasa di telapak tangan kanannya memutus lamunan Anin. Dia segera menoleh, tersenyum kepada Yudha yang menatap lurus ke arah depan. Suaminya itu sedang mengemudi tapi masih sempat-sempatnya menyatukan telapak tangan mereka. Namun bukannya menolak, Anin segera menyelipkan jari-jarinya dan menggenggam tangan hangat itu dengan erat.

Yudha menarik tangan Anin mendekati wajahnya sebelum mencium punggung tangan istrinya itu. Mereka sedang di perjalanan setelah dari makam Abrianda. "Langsung ke rumah ayahmu atau mau jalan-jalan dulu?"

"Kesananya nanti saja, Mas," tolak Anin. Terlalu cepat kalau mereka langsung ke rumah Ridwan Hartono sekarang. Karena takutnya ayahnya dan Fatma masih sedang di perjalanan dari luar kota. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat dulu."

"Kemana?" tanya Yudha sebelum menggigit pelan ujung jari telunjuk istrinya. Tanpa perduli tangan istrinya itu tadi dibaluri hand sanitizer hingga hidungnya pun bisa mencium aromanya dengan jelas.

"Aku nggak terlalu ingat jalannya karena sudah lama nggak kesana." Anin menarik tangannya hingga lepas dari Yudha. Suaminya itu langsung berdecak tak terima karena merasa kesenangannya diganggu. "Aku mau lihat maps dulu, Mas. Ya ampun."

"Mau kemana, Sayang?" ulang Yudha untuk kedua kalinya. Jawaban Anin sama sekali tak meringankan rasa ingin tahunya.

"Rumah Om Abri yang diberikan Papa kepadaku." Tangan dan tatapan Anin tertuju kepada ponselnya. "Kamu masih bingung memikirkan tempat untuk acara tahun baru bersama teman-teman kamu kan, Mas? Gimana kalau disana saja? Tapi kita harus melihat rumahnya dulu."

Pertanyaan bernada cemas keluar begitu saja dari mulut Yudha. "Kamu yakin akan baik-baik saja menginap disana?" tanyanya sebelum menutup rapat bibirnya kemudian. Seharusnya dia tidak bertanya seperti itu disaat kondisi sudah membaik.

"Selain kenyataan kalau rumah itu milik ayah kandungku, aku nggak punya kenangan menyakitkan disana, Mas. Tentu saja aku akan baik-baik saja. Nggak masalah."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang