Bagian 38

9.1K 890 74
                                    

Yudha menggeser duduknya hingga kini lebih merapat ke dinding. Ponsel yang ada di tangannya lebih ditekannya lagi ke telinga karena suara berisik di tempat ini membuatnya sulit untuk mendengar dengan jelas. "Kamu bilang apa tadi?" tanyanya karena benar-benar tidak bisa menangkap kalimat apa yang baru saja dikatakan istrinya. Apalagi suara perbincangan Fadiel dan Putra juga terdengar begitu jelas di telinganya.

"Aku tadi tanya, Mas beli makanannya nggak cuma dua porsi kan? Untuk ayah sama bunda jangan lupa. Keduanya juga belum makan malam."

Yudha tersenyum. Tentu saja dia tidak akan lupa hal itu. "Aku memesan lima tadi. Apa masih kurang?"

"Kenapa lima? Satu lagi untuk siapa, Mas? Bibi sudah pulang lebih awal tadi karena nggak masak untuk makan malam."

Untuk siapa lagi? "Pastinya untuk istriku."

"Istri kamu cuma satu. Kamu yang lupa atau aku yang nggak sadar kalau ternyata kamu diam-diam sudah menikah lagi? Ayo ngaku, Mas."

Yudha tertawa sambil membayangkan bagaimana raut wajah Anin ketika mengatakan kalimat itu. Pasti istrinya itu terlihat menggemaskan sekali. Dia semakin tidak sabar untuk segera sampai di rumah. "Maksud aku, satu lagi itu juga untuk kamu. Aku pikir satu porsi saja belum tentu cukup untuk kamu. Kamu akhir-akhir ini makannya lebih banyak."

"Aku nggak serakus itu."

Kepala Yudha menggeleng singkat mendengar kalimat protes istrinya. "Aku hanya bilang kamu banyak makan, bukannya rakus, Sayang. Beda itu."

"Daripada beli lima lebih baik Mas pesan empat saja. Tapi yang satu buat aku lauknya dipesan double."

Senyum di bibir Yudha semakin melebar. "Kalau begitu, sudah tepat aku pesan lima. Nanti mengobrolnya lanjut di rumah ya. Disini agak berisik."

"Iya. Hati-hati di jalan, Mas. Jangan ngebut."

"Iya, Sayang."

Tepat ketika Yudha memasukkan ponselnya ke saku celana, suara Fadiel yang tadinya sudah diam kembali terdengar. "Aku iri Yud, sumpah." Dari nada bicara pria itu tentu setengahnya berisi kekesalan. Yudha tidak tahu apa yang terjadi pada pria yang duduk disebelahnya itu.

Mobilnya dan Fadiel tadi datang bersamaan dan kini terparkir bersebelahan. Sementara Putra menyusul dalam beberapa menit setelahnya. Dan saat mereka bertiga sudah menempati meja yang kosong, Yudha tahu bahwa Fadiel dan Putra memang janjian untuk makan malam disini.

Putra yang duduk tepat diseberang Fadiel tertawa. Ternyata sulit sekali bagi Fadiel untuk berpura-pura tidak mendengar pembicaraan Yudha dengan perempuan yang sudah menaklukkan pria itu. "Karena itu kau harus cepat menikah. Jangan hanya puas celap-celup anak orang tanpa komitmen."

"Bukan iri karena dia sudah menikah. Tapi aku iri pada istrinya."

"Iri pada istrinya?" Putra tergelak. "Kenapa?"

Fadiel melirik Yudha sinis. "Selama pertemanan kami mana pernah dia bicara selembut itu padaku. Sekali saja, apa kau pernah mendengar nada bicaranya yang seperti itu padaku?" tanyanya yang dijawab Putra dengan gelengan.

"Kemaren makan bebek. Dan sekarang makan itu lagi. Kau tidak merasa bosan?"

"Lihat kan? Nada bicaranya langsung berubah ketika bicara padaku," ucap Fadiel terdengar kesal. "Harusnya kau tanyakan itu pada dirimu sendiri. Kau juga baru makan ini kemaren malam."

"Ini untuk—"

"Istrimu. Ya ya, aku tau," potong Fadiel sambil mengibaskan tangannya. "Dasar menyebalkan! Aku tau kau sudah menikah, jadi berhenti pamer padaku."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang