Bagian 49

10.5K 973 181
                                    

Rima datang sejak pagi dengan alasan ingin memastikan apakah tanaman yang ditanaminya di pekarangan rumah Yudha sudah menyesuaikan diri dan tumbuh dengan baik atau malah berakhir layu dan mati. Padahal dengan datang tanpa tujuan saja Anin sudah merasa senang. Sebab sejak keluar dari rumah Rima, dia belum sempat berkunjung kesana. Selain karena dia sedang belajar memasak dan mengurus rumah, setiap jam makan siang Yudha pulang. Dan terkadang sore hari pun Yudha kembali lebih awal karena pekerjaannya di kantor tidak banyak.

Dengan ditemani air dingin, beberapa potong bolu dan juga semangka, kedua wanita itu duduk di teras rumah. Terik matahari yang mampu menyengat kulit siang ini membuat keduanya memilih beranjak ke tempat yang teduh. Rima yang sudah terbiasa dengan sinar matahari pun menyerah karena kepanasan. Apalagi Anin yang belum lama mencoba mengikuti Rima berkebun.

"Pantas panas sekali, Nin. Sudah hampir tengah hari ternyata," gumam Rima sambil meletakkan ponselnya keatas lantai. Tangannya beralih meraih gelas. "Kalau siang Yudha biasanya pulang jam berapa?" tanyanya sebelum mendinginkan tenggorokannya lagi.

Anin menyeka bibir bawahnya ketika air dari buah semangka sedikit mengalir disana. "Kurang lebih jam setengah satu sampai di rumah kalau Mas Yudha sholat dulu baru pulang, Bunda. Bisa lebih cepat kalau naik motor," jawabnya kemudian.

"Jadi pagi tadi dia ke kantor naik apa? Motor?"

Anin mengangguk. "Katanya lebih gampang pakai motor daripada mobil. Biar lebih cepat sampai juga, Bunda."

"Kamu harus sering-sering ingatkan Yudha biar nggak ngebut, Nin." Raut khawatir tampak di wajah Rima. "Apalagi kalau sudah naik motor. Dia mungkin merasa sudah berhati-hati. Tapi lihat kecepatannya itu, kita yang merasa ngeri."

Tanpa diminta pun tentu Anin sudah melakukannya. Setiap kali suaminya berangkat, Anin tidak pernah melupakan itu. Karena suaminya memang persis seperti yang Rima khawatirkan. "Iya, Bunda."

"Gimana rasanya tinggal disini, Nin? Nyaman nggak?" tanya Rima sambil memandangi langit yang sedikit berawan.

"Lumayan nyaman, Bunda. Cuma kalau siang lingkungan terlihat sepi begini. Berasa nggak ada orang jadinya."

Beruntung Anin memiliki teman bicara di rumah selama Yudha bekerja meski tidak sepanjang hari. Walaupun terkadang Anin merasa dirinya mengganggu, untungnya Bibi yang bekerja di rumahnya tidak merasa keberatan. Wanita paruh baya itu mengajarinya dengan baik. Sementara saat sedang sendiri, Anin menyalakan televisi dan menonton drama untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sepi.

"Pasti lebih nyaman tinggal di rumah Bunda kan?"

Mendengar itu Anin hanya terkekeh, tidak mengiyakan. Jika dia menjawab jujur, Rima mungkin akan mencoba membawanya kembali tinggal disana. Dan Anin yang sulit untuk menolak Rima akan kerepotan saat menghadapinya. Apalagi tidak ada Yudha bersama mereka sekarang.

Dari sekian rumah yang pernah Anin tinggali selama beberapa waktu, rumah Rima memang yang paling nyaman. Mungkin karena keharmonisan yang terasa juga penerimaan sepasang suami istri itu terhadapnya membuat Anin merasa betah. Kalau saja dulu keluarga Hartono sudah bersikap baik padanya, mungkin rumah ayahnya menempati urutan pertama sebagai rumah ternyaman yang pernah Anin tinggali.

Hah! Memikirkan masa lalu memang tak pernah menyenangkan. Anin seharusnya tidak merusak suasana hatinya sendiri. Padahal hubungannya dengan keluarga ayahnya sudah membaik.

"Bunda dulu kan pernah muda juga. Kalau sudah menikah ya pasti ingin hidup mandiri sama suami. Tapi namanya orang tua ya, Nin. Sudah sebesar apapun anaknya, di matanya tetap terlihat masih bocah yang butuh dia urus. Jadi maaf kalau Bunda kadang rewel minta kalian balik ke rumah. Karena tinggal dengan kalian, rumah rasanya nggak sepi. Bunda ada teman juga."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang